Oleh : Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Pasca putusan Mahkamah konstitusi No.
14/PUU-XI/2013 tentang penyelenggaraan pemilu serentak telah menyatakan bahwa
pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan pasal 112
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terlepas dari pertimbangan persiapan
penyelenggaraan pemilu 2014 yang sudah
dekat yang menjadi alas an hakim konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan
bahwa putusan tersebut berlaku untuk pemilu 2019, Namum perlu diingat bahwa
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah menyatakan norma dalam pasal
tersebut bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Artinya, saat Mahkamah Konstitusi memutus, saat itu
juga putusannya berlaku dan mengikat, sesuai dengan putusan Mahkamah
Konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang
MK adalah Final dan Mengikat.
Konsekwensinya adalah legitimasi
terhadap penyelenggaraan pemilu yang menggunakan payung hukum UU No. 42/2008 adalah
inkonstitusional. Artinya, pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang diputus
sebelum penyelenggaraan pemilu menjadikan proses pemilu kehilangan
legitimasinya.
Persoalannya adalah, mengapa mahkamah
konstitusi menunda sidang pengucapan putusan hingga 10 bulan kemudian mendekati
proses penyelenggaraan pemilu. Dimana jika kita melihat bahwa 14 januari 2013
permohonan perkara tersebut sudah diperiksa, pertengahan maret sidang-sidang
ditutup dan pada tanggal 26 maret telah diadakan Rapat Permusyawaratan Hakim
(RPH) dan dalam RPH perkara tersebut sudah diputus. Seandainya setelah diputus
dalam RPH, Mahkamah Konstitusi tidak menunda pengucapan putusannya maka
penyelenggara pemilu masih memiliki waktu yang cukup untuk merubah proses
pemilu menjadi serentak.
Namun dengan terjadinya pengunduran
pengucapan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi hingga 10 bulan (januari
2014) pasca diputus dalam RPH, dimana
sudah mendekati penyelenggaraan pemilu 2014 yaitu tanggal 9 April 2014 (pileg)
dan 6 Juni 2014 (pilpres), maka implikasinya adalah ketidaksiapan penyelenggara
pemilu untuk dapat menjalankan putusan mahkamah Konstitusi tersebut. Sehingga
dengan pertimbangan inilah hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut
untuk pemilu 2019.
Disinilah yang menjadi permasalahan
besar dimana terjadi penyesatan opini yang dilakukan oleh hakim konstitusi yang
memutuskan untuk mengucapkan putusan sebelum pemilu 2014 namun mengatakan bahwa
putusan tersebut berlaku untuk pemilu 2019. Jika putusan pemilu serentak itu
diberlakukan untuk pemilu 2019 mengapa Mahkamah Konstitusi tidak ditunda saja
setelah selesai pemilu 2014 agar tidak mengganggu legalitas penyelenggaraan
pemilu 2014, seperti yang terjadi saat ini penyelenggaraan pemilu 2014 tidak
memiliki legalitas akibat putusan Mahkamah Konstitusi, karena telah dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pertanyaannya adalah : Apakah hakim konstitusi tidak memahami maksud dari sifat
putusannya yang Final dan Mengikat? Apakah Hakim Konstitusi Lalai? Atau hakim
konstitusi telah terintervensi oleh kepentingan politik dibalik dari penundaan
putusan yang mengakibatkan hilangnya legalitas pemilu 2014 khususnya
penyelenggaraan pemilu presiden yang berpotensi menyebabkan terjadinya
kekosongan Kekuasaan dan mengarahkan NKRI semakin cepat menjadi Negara gagal? Jika
ini terjadi maka hakim Konstitusilah yang paling bertanggungjawab dalam persoalan
ini.