Dalam
badan-badan peradilan modern saat ini. prinsip-prinsip keterbukaan menjadi
suatu keharusan yang harus dipatuhi. Prinsip keterbukaan ini biasa dikenal
dengan istilah “terbuka untuk umum”.
Kepatuhan terhadap prinsip sidang terbuka untuk umum merupakan konsekuensi
logis dari perkembangan tuntutan pemenuhan hak-hak asasi untuk mendapatkan
suatu informasi dan rational choice
dari prinsip good judiciary guna
mewujudkan badan peradilan yang bersih dan tidak corrupt. Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman menjunjung tinggi prinsip sidang terbuka untuk umum dalam putusannya
sebagaimana yang diatur pada Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Bahwa konsekuensi apabila prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka Putusan
MA tersebut batal menurut hukum sebagaimana penjelasan Pasal 40 ayat (2)
tersebut. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa semua putusan
pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
Pertanyaannya
apakah persidangan yang tidak memenuhi prinsip sidang terbuka untuk umum batal
menurut hukum ? tentu tidak, karena dalam konteks persidangan ada beberapa perkara
yang dikecualikan oleh undang-undang untuk persidangan tertutup, misalnya
perkara perceraian atau pidana anak, namun putusannya diwajibkan untuk
diucapkan terbuka untuk umum agar sah dan memiliki kekuatan hukum. Dalam
perspektif Mahkamah Agung tentu prinsip sidang terbuka untuk umum dalam
persidangan tidak berlaku, karena Mahkamah Agung sebagai judex juris yang memeriksa penerapan hukumnya saja dan tidak
menggelar persidangan layaknya pengadilan tingkat pertama. Namun Mahkamah Agung
diwajibkan dalam pengucapan putusan dilakukan terbuka untuk umum, apabila tidak
terpenuhi, maka putusan Mahkamah Agung tidak sah dan tidak memiliki kekuatan
hukum.
Namun
permasalahannya adalah terletak pada tidak ada kewajiban Mahkamah Agung untuk
mengumumkan jadwal sidang putusan. Sehingga masyarakat umum tidak mengetahui
jadwal pengucapan putusan dan putusan tidak dihadiri para pihak yang memiliki
kepentingan. Hal demikian tetap dianggap konstitusional menurut Mahkamah
Konstitusi oleh karena perbedaan karakteristik hukum acara pada pengadilan
tingkat pertama dengan Mahkamah Agung dan hak informasi para pihak yang
berkepentingan tetap terpenuhi oleh karena salinan putusan tetap diberikan
(vide, [3.11.2.] Putusan MK No.78/PUU-X/2012). Permasalahan demikian terjadi
dalam contoh kasus uji materiil Perpres 26 Tahun 2015 tentang keberadaan staf
kepresidenan. Para pemohon tidak mengetahui jadwal pengucapan putusan, sehingga
pemohon tidak hadir dan hanya mengetahui dari media.
Dalam
Putusan MK No.78/PUU-X/2012 persoalannya lebih kepada konteks banding, kasasi,
dan peninjauan kembali yang karakteristik hukum acaranya berbeda dengan
pengadilan tingkat pertama, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat lain
dengan pemohon. Namun persoalannya, bagaimana dengan perkara uji materill di
Mahkamah Agung yang karakteristik perkaranya berbeda dengan perkara pidana,
perdata, dan tata usaha negara, namun disamakan proses hukum acaranya.
Karakteristik
pengujian peraturan perundang-undangan tentu berbeda dengan perkara-perkara
seperti pidana, perdata, dan tata usaha negara. ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya sebagai berikut:
1.
Keterbatasan
Sumber Daya Hakim Mahkamah Agung
Mahkamah Agung yang
memiliki jumlah maksimal jumlah hakim agung dan hanya memiliki 4 (empat) kamar
badan peradilan tentu memiliki keterbatasan sumber daya. Mengingat jumlah
perkara yang melimpah dan hal yang harus dicermati adalah peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang yang bersifat (regeling) memiliki substansi yang beragam. Sehingga dengan jumlah
hakim agung yang jumlahnya kurang lebih 60 (enam puluh) hakim agung tentu tidak
semua memiliki kompetensi terhadap perkara pengujian peraturan
perundang-undangan. Karena setiap hakim agung memiliki spesialisasi yang
berbeda, maka hal ini menjadi problematik. Pertanyaannya adalah bagaimana
hakim-hakim agung memutus perkara yang bukan kompetensinya, sehingga
menimbulkan rasa ragu terhadap hakim-hakim yang memutus perkara tersebut dan
akan mempengaruhi kualitas putusan. Apabila kita bercermin pada hukum acara di
Mahkamah Konstitusi yang memberikan kesempatan pemohon dan pihak-pihak yang
berkpentingan untuk mengahadirkan ahli yang memiliki relevansi dengan perkara
tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi yang hanya memiliki 9 (Sembilan) hakim
tugasnya menjadi terbantu dan memiliki keyakinan dalam memutus suatu perkara.
2.
Terlanggarnya
Asas Dominus Litis
Asas
dominus litis merupakan asas yang
menuntut keaktifan hakim. Hal demikian tentu berbeda dengan karakteristik hukum
acara perdata yang mana hakim bersifat pasif. Asas dominus litis merupakan karakteristik dari hukum acara tata usaha
negara dan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, apa tujuan dari asas dominus
litis ? tujuannya jelas, bahwa agar terjadi keseimbangan antara penggugat
dengan pejabat negara dalam perpspektif peradilan tata usaha negara dan pemohon
dengan pembuat undang-undang yaitu DPR dan Presiden dalam peradilan di Mahkamah
Konstitusi. (Titik Wulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2011, hlm. 571).
Pertanyaannya adalah,
mengapa persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung melanggar asas dominus
litis ? bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang ditangani oleh hakim-hakim agung yang
berada di kamar Tata Usaha Negara. Walaupun pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang bukan merupakan objek TUN, tetapi
sebagai konsekuensi logis dan rational
choice dari ditanganinya oleh hakim-hakim agung agung dikamar TUN, membawa
implikasi berlakunya asas dominus litis.
Hal demikian bukan didasarkan semata-mata oleh konsekuensi logis dan rational choice saja, melainkan marwah
dan karakteristik dari pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat
terbuka dan menyeimbangkan kedudukan pemohon yang cenderung lemah dengan
pembuat peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Hal ini ini
tercermin apabila merujuk kepada hukum acara Mahkamah Konstitusi yang menganut
asas dominus litis dalam pengujian
undang-undang dengan memberikan nasihat-nasihat yang positif guna
menyeimbangkan posisi pemohon yang cenderung lemah dan hak konstitusionalnya
terlanggar.
3.
Peraturan
Perundang-Undangan Bersifat Universal dan Mengikat
Peraturan
perundang-undangan merupakan produk hukum yang dibuat oleh cabang kekuasaan
legislatif dan eksekutif dalam perspektif trias
politika. Peruntukan peraturan perundang-undangan tentu diperuntukan dan
mengikat untuk publik atau masyarakat umum. Sehingga peraturan
perundang-undangan dapat dikatakan merupakan milik warga negara/masyarakat
umum. Karena peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh wakil-wakil
rakyat yang diberikan legitimasi untuk membentuknya guna menciptakan ketertiban
dan mengakomodir kepentingan umum. Namun tidak jarang peraturan
perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat umum,
sehingga membawa kerugian.
Bahwa apabila dipahami
hakekat dari peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat
umum, maka seharusnya hal demikian membawa implikasi kepada khususnya dalam
konteks persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung bersifat terbuka untuk
umum seperti di Mahkamah Konstitusi. Karena objek perkaranya adalah peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan milik masyarakat umum
karena diperuntukan untuk masyarakat umum. Sehingga menjadi aneh apabila
persidangannya dilakukan secara tertutup.
4.
Putusan
Bersifat Erga Omnes
Dalam pengujian
peraturan perundang-undangan baik di Mahkamah Konstitusi maupun di Mahkamah
Agung, memiliki implikasi hukum yang sama dalam hal sifat putusannya yang
bersifat erga omnes. Hal demikian
disebabkan oleh sifat peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk
masyarakat umum, sehingga memiliki implikasi hukum bukan hanya para pihak,
tetapi berdampakjuga kepada masyarakat umum. Sehingga hal demikian menutup
celah kepada masyarakat luas yang menginginkan terlibat sebagai pihak
terkait/berkepentingan karena merasa dirugikan dengan eksisnya peraturan
perundang-undangan tersebut. Hal demikian disebabkan oleh persidangan yang
tertutup dan tidak ada persidangan. Tentu hal ini menjadi kontradiksi dengan
putusannya yang bersifat erga omnes yang membawa dampak luas kepada masyrakat
luas.
Dengan demikian,
berdasarkan beberapa uraian mengenai karakteristik hukum acara pengujian
peraturan perundang-undangan yang berbeda dengan perkara-perkara lainnya, maka
sudah seharusnya digelar persidangan dan bersifat terbuka, bukan menyamakan
dengan perkara-perkara yang implikasi hukumnya bersifat konkret untuk subjek
tertentu. Karena dengan tidak digelarnya persidangan dalam pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang dibawah undang-undang dalam perspektif
kewenangan Mahkamah Agung, maka menghilangkan marwah dari hakekat peraturan
perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat luas dan karakteristik
hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan.
__________________
Penulis : Kurniawan, SH
Ketua Bidang Kajian Strategis
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)
CP : 081291279141