Seperti yang kita
ketahui bahwa Pasal Penghinaan terhadap Presiden sudah diputus oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) yang dalam putusannya menyatakan bahwa pasal 134, 136 bis, dan
137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap
Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan menyatakan permohonan
para pemohon, yaitu praktisi hukum Eggi Sudjana dan aktivis Pandopotan Lubis,
dikabulkan untuk seluruhnya.
Pasal 134, pasal
136 bis, dan pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat
rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran
merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden. "Hal dimaksud secara
konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Ketiga pasal itu
berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan,
tulisan, dan ekspresi sikap, apabila ketiga pasal itu selalu digunakan aparat
hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan, sehingga dinilai
bertentangan dengan pasal 28, 28E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
Sementara untuk
delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberlakukan
pasal 310 sampai 312 KUHP apabila penghinaan ditujukan kepada kualitas pribadi,
dan pasal 207 KUHP apabila penghinaan ditujukan selaku pejabat.
Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan pasal tentang penghinaan terhadap presiden tersebut dengan
alasan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. normanya itulah yang
bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak boleh dihidupkan lagi. Terkecuali
ada perubahan/amandemen Konstitusi (UUD 1945) terhadap pasal yang menjadi batu
uji dari pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut. Sehingga dimungkinkan pasal
tersebut dimunculkan kembali.
Contohnya : jika
dimungkinkan kembali ke UUD 1945 (naskah asli), maka secara otomatis pasal 28
secara keseluruhan yang mengatur tentang HAM yang menjadi dasar batu uji dari
pasal penghinaan terhadap presiden tidak ada lagi, baru itu dimungkinkan
dimunculkan kembali.
Karena dinegara
manapun, tidakada yang pernah menghidupkan kembali norma yang ada dalam pasal
dalam suatu perundang-undangan yang telah dianggap bertentangan dengan
konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi, karena itu akan dianggap tidak konsisten.
Dan seperti yang
kita ketahui bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis,
berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti
yang diatur dalam UUD 1945. Maka sudah tidak relevan lagi untuk memuat pasal
134, 136 bis dan 137 dalam KUHPnya yang menegasi prinsip persamaan di depan
hukum.
Pemberlakuan ketiga
pasal itu, juga berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan
pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum. Sehingga,
dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaruan KUHP warisan kolonial, seharusnya
tidak lagi memuat pasal-pasal yang normanya sama atau mirip dengan pasal 134,
pasal 136 bis, dan pasal 137.