Oleh : Victor Santoso Tandiasa
Polemik
mengenai pembahasan RUU ORMAS semakin menguat, arus penolakan semakin besar,
demontrasi maupun diskusi-diskusi yang membahas tentang pasal-pasal yang dianggap
berpotensi mengekang Organisasi Kemasyarakatan terus bergulir seakan tanpa
terputus. Traumatis kelompok kontra terhadap RUU ORMAS yang menganggap
pengesahan RUU ORMAS akan mengembalikan kembali kepada masa Orde Baru.
Namun jika
kita mencermati dengan seksama bahwa tahun 1985 Pemerintahan Orde Baru juga
telah mengeluarkan Undang-undang yang mengatur Organisasi Kemasyarakatan yaitu
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dan Undang-Undang itu
jika dikaji secara komperhensif, cenderung lebih banyak terdapat pasal-pasal
karet yang berpotensi terjadinya pengekangan terhadap kemerdekaan dan kebebasan
masyarakat untuk berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat dimuka umum.
Dengan Dasar itulah Pemerintah dan DPR merumuskan agar lebih merigitkan
pasal-pasal karet tersebut.
Kekhawatiran
kelompok-kelompok yang menolak RUU ORMAS mengatakan dengan disahkannya RUU
ORMAS, akan mengembalikan kita kepada Rezim Orde Baru, dan akan kembali
terjadinya pengekangan-pengekangan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengemukakan pendapat yang dijamin oleh Konstitusi pasal 28 serta 28C, semakin
besar. Sehingga melakukan upaya-upaya penolakan dengan berbagaimacam cara yang
cenderung Inkonstitusional dan berpotensi menimbulkan konflik Horizontal.
Kemungkinan-kemungkinan/traumatis yang dirasakan kelompok-kelompok yang
melakukan penolakan tersebut dengan menarik masa lalu (Orde Baru) sangat
berlebihan, karena pasca Reformasi sudah banyak perubahan yang sangat
signifikan terhadap proses Demokrasi dan HAM di Indonesia, seperti :
1. Masa Orde Baru control Media sangat lemah
(Dikontrol kuat oleh pemerintah) dibanding dengan pasca reformasi yang begitu
bebas memberitakan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Masa Orde Baru belum
ada Mahkamah Konstitusi yang dapat menguji Undang-Undang yang melanggar hak
individu yang dijamin oleh Konstitusi, namun sekarang kita telah memiliki
Mahkamah Konstitusi.
3. Masa Orde Baru secara Fakta setiap
orang/mahasiswa yang berbicara menjatuhkan wibawa pemerintah langsung di
tangkap, namun Pasca Reformasi tindakan Menghina Presiden, Membakar Photo
presiden dan Wakil Presiden, bahkan ada yang membakar lambang negara Garuda
Pancasila pun tidak langsung ditangkap (menunggu adanya aduan dari Presiden/wakil
Presiden) ditambah lagi dengan dicabutnya pasal penghinaan terhadap kepala
negara dalam KUHP.
Jika kita
melihat secara obyektif, Jelas Warga Negara Memiliki Hak berserikat, berkumpul
dan mengemukakan pendapat yang dijamin dalam konstitusi (UUD 1945)Namun Negara juga
memiliki Kewenangan serta Kewajiban untuk Melindungi, Menjaga, serta Mengayomi
Warga Negaranya dengan Instrumen yang berupa Regulasi (Peraturan
Perundang-Undangan) yang diatur dalam Konstitusi (UUD’1945) Pasal 28J ayat 1
dan 2, yang secara tegas mengatakan :
(1)Setiap Orang Wajib Menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2)Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang yang dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Alangkah lebih bijaksana, jika kita
mempercepat agar RUU Ormas tersebut untuk segera di Sahkan dan jika memang ada
pelanggaran baik terhadap HAK ASASI MANUSIA, DEMOKRASI yang sudah diatur dalam
Konstitusi (UUD’1945) langkah yang dilakukan adalah melakukan langkah yang
konstitusional (mengajukan Uji Materil/Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi
sehingga dapat meminimalisir potensi terjadinya Konflik Vertikal maupun
Horizontal. Mahkamah Konstitusi tidak hanya bisa membatalkan pasal-perpasal
dalam undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, bahkan Mahkamah
Konstitusi dapat Membatalkan Undang-undangnya sekaligus jika memang secara
keseluruhan pengaturannya bertentangan dengan Demokrasi dan HAM yg diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (Konstitusi RI).
Sementara dengan
kita terus-menerus melakukan penolakan terhadap pembahasan RUU tersebut, akan
semakin meningkatnya penambahan anggaran “Uang Rakyat” yang dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan dalam proses penyelesaian RUU Ormas tersebut. Dan itu secara
tidak langsung telah menguntungkan anggota DPR untuk mendapatkan anggaran ekstra
dari yang dianggarkan, yang notabene adalah uang rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar