I.
PEMOHON
1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dalam hal ini
diwakili oleh Victor Santoso Tandiasa, SH., Ryan Muhammad, SH., dan Okta
Heriawan, SH., sebagai Pemohon I.
2. Badan Eksekutif Mahasiswa Hukum Universitas Esa
Unggul (BEM FH UEU), dalam
hal ini diwakili oleh Kurniawan, Danny Dzul Hidayat dan Landipa Nada Atmaja,
sebahai Pemohon II.
3. Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ), dalam hal ini
diwakili oleh Achmad Saifudin Firdaus dan Lintar Fauzi sebagai Pemohon III
II. OBJEK PERMOHONAN
Pengujian
Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat
(1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
III. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI
A. Norma Formil dan Materiil
Norma yang
diujikan, yaitu :
1. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
“Penanganan Segketa hasil Penghitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan”
2. Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009
“Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang” dalam
penjelasannya mengatakan bahwa “dalam
ketentuan ini termasuk memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
B. Norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Norma yang
dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu :
1. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”
2. Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”
3. Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum”
IV. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO
BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1.
Pasal
236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat
(1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 karena tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan
asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum.
2.
Pasal
236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat
(1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 karena secara limitatif
sudah membatasi ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas penanganan
pemilihan umum saja dan sengketa yang dimaksud ketentuan a quo tidak termasuk.
3.
Pasal
236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat
(1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 karena tidak mengatur dan memberikan kewajiban kepada
norma yang lebih rendah untuk memberikan kewenangan penyelesaian perselisihan
pemilihan kepala daerah pada mahkamah konstitusi karena tidak ada frasa kepala
daerah pada norma yang diatur dalam Pasal 22E ayat (2), dan Pemilihan Umum yang
dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemilihan
Umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali
V. KETERANGAN AHLI PEMOHON
1. Muhammad Mukhtasar Syamsudin, Ph.D
Bahwa
hampir semua Ahli filsafat, bahkan Ahli politik mengatakan bahwa negara adalah
bentukan dari kesepakatan bersama rakyat untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita
bersama, yaitu kalau kita dasarkan pada Pancasila, masyarakat yang sejahtera
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Maka negara hukum yang kita dirikan atau
yang kita sedang tempati sekarang ini adalah negara hukum yang dibangun dan
dikelola atas dasar Pancasila. Dengan demikian pula, maka negara Indonesia yang
kemudian dinyatakan secara konstitusional di dalam Pasal 1 ayat (3) yang
ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum adalah negara yang
dibangun atas 5 dasar atau 5 prinsip yang sesuai dengan Pancasila. Mulai dari
nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, maka negara
hukum Indonesia adalah negara yang mengakui ketuhanan dengan tidak
mengesampingkan nilai-nilai kemanusian, menjaga persatuan, dan menjalankan
kehidupan bernegara berdasarkan demokrasi untuk mewujudkan keadilan sosial
sebagai nilai kelima atau prinsip kelima dari Pancasila itu.
Bahwa
dalam pandangan ini, maka kami ingin memberikan penjelasan bahwa ada
kecenderungan di dalam praktik kehidupan bernegara sekarang ini menjadikan
dekorasi sebagai tujuan kehidupan bernegara. Padahal sesungguhnya yang menjadi
tujuan kita dalam hidup bernegara adalah membangun atau menciptakan kehidupan
masyarakat yang sejahtera, yang adil berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu
kalau kita menggunakan teori-teori filsafat politik, maka hidup bernegara kita
sekarang ini terlihat sedang mempraktikan perannya sebagai negara yang pasif di
dalam membawa aspirasi rakyat yang berdaulat di negeri ini. Oleh karena itu
sesungguhnya kita tidak hanya berhenti pada demokrasi, demokrasi bukan sebagai
tujuan, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan negara yang hakiki, yaitu
menciptakan masyarakat adil, yang sejahtera, yang dikenal di dalam teori
politik, yaitu masyarakat yang welfare state, masyarakat yang hidup di dalam
negara sejahtera. Nampaknya dalam praktik perundang-undangan yang seharusnya
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan welfare state ini
masih sangat jauh dalam kehidupan bernegara kita sekarang karena nampak
kecenderungan berhenti pada bagaimana mewujudkan demokrasi dan demokrasi itu
sendiri sayang sekali tidak mencerminkan semangat atau prinsip Pancasila.
Bahwa
oleh sebab itu berikunya kami ingin menyampaikan keterangan mengenai apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila
tentu saja bukan demokrasi yang kita adopsi dari luar negeri, dari bangsa lain.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan pada nilai-nilai yang
tumbuh dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia sendiri, yaitu nilai
religius, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan yang kita lebih
kenal dengan nilai musyawarah, dan selanjutnya nilai keadilan sosial. Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang bertumpu pada hakikat manusia yang bersifat
mono-pluraris, yaitu manusia yang tidak hanya bersifat individual, tetapi
manusia yang bersifat sosial. Dari segi ini, maka demokrasi Pancasila berbeda
dengan demokrasi liberal yang menekankan aspek individualitas. Bukan juga bahwa
demokrasi Pancasila yang tidak sama dengan demokrasi individual itu sehingga
menjauhi atau tidak melindungi hak-hak privat, tetapi demokrasi Pancasila
adalah demokrasi yang menjaga keseimbangan antara hakikat manusia sebagai individu
dan hakikat manusia sebagai masyarakat. Pada sisi lain, dalam pengertian
manusia sebagai mono-pluraris itu manusia Indonesia adalah manusia yang
bertuhan, tetapi sekaligus adalah makhluk yang mandiri sehingga di dalam upaya
untuk mencapai cita-cita tujuan kita bernegara yang kita sebut tadi masyarakat
yang sejahtera adalah masyarakat yang lahir, yang sejahtera, tapi batinnya juga
sejahtera.
Bahwa
demikian pula pada sisi yang ketiga, manusia itu terdiri atas jiwa tetapi juga
dilengkapi dengan raga. Kedua hal yang sangat berbeda ini di dalam Pancasila
menjadi dua hal yang seimbang, tidak mengutamakan aspek jasmaniah semata, dan
juga tidak mengutamakan aspek spiritual saja, tetapi aspek jasmaniah dan
rohaniah menjadi seimbang di dalam Pancasila.
Bahwa
oleh karena itu, maka demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dibangun atas
dasar hakikat manusia yang serba plural itu yang tidak monolitik hanya
individual, tapi juga sosial, tidak hanya makhluk Tuhan, tapi juga makhluk yang
mandiri, tidak hanya makhluk yang jasmaniah, tapi juga rohaniah. Inilah dalam
ilmu kami disebut sebagai ontologis negara hukum. Dasar ontologis negara hukum Indonesia
adalah manusia Indonesia yang bersifat mono-pluralistik itu tadi sehingga yang
diperhatikan di sana tidak hanya kepentingan individual, tetapi juga
kepentingan masyarakat.
Bahwa
oleh sebab itu, maka kedudukan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan
kita menjadi sangat jelas, pertama yaitu sebagai norma yang tertinggi atau juga
disebut di dalam teori ilmu hukum sebagai rechtsidee,
cita hukum yang tertinggi yang pada suatu sisi terpisah dengan batang tubuh
atau pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
karena merupakan norma yang tertinggi, namun pada sisi lain merupakan satu
kesatuan dengan seluruh pasal-pasal Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan kata lain, sebagai rechtsidee,
Pancasila memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama fungsi regulatif, yaitu
bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diimplementasikan dan dijadikan sebagai
peraturan perundangundangan untuk mencerminkan tujuan daripada upaya untuk
mencapai negara atau masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Yang
kedua, fungsi Pancasila sangat substantif, yaitu bahwa sebagai rechtsidee, undang-undang atau segala
peraturan yang ada di bawah dari pada citra hukum itu tidak akan mempunyai
makna apabila tidak disinari, tidak dilandasi oleh rechtsidee, Pancasila.
Bahwa
hal berikutnya yang ingin kami sampaikan, lalu bagaimana sistem demokrasi
Pancasila diimplementasikan di dalam kehidupan bangsa Indonesia? Kita berpijak
pada sila keempat Pancasila yang mengatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selain sila ini tidak
bersemangat individualistik, sila ini juga berdasarkan pada pernyataan hikmat kebijaksanaan,
maka demokrasi dikelola untuk memperoleh sebuah kebajikan. Ada tujuan yang jauh
lebih mendasar, jauh lebih fundamental dari sekadar demokrasi itu sendiri, dari
sekadar cara bermusyawarah, dari sekadar cara mengambil keputusan. Yaitu bahwa
demokrasi berjalan dengan suatu tujuan, yaitu untuk mewujudkan suatu kebajikan.
Bahwa
demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat rasional. Demokrasi Pancasila juga
bersifat moral. Demokrasi yang sangat menekankan rasionalitas jelas sekali
adalah demokrasi yang diadopsi dari sistem Barat, yang bersifat liberal
kapitalistik, individual. Tetapi demokrasi Pancasila yang selain memperhatikan
aspek rasionalitas, juga memperhatikan moralitas, yaitu untuk mewujudkan
kebajikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan
sistem demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di negeri ini tidak dapat
berhenti pada sila keempat, yaitu dalam proses berdemokrasi itu saja, tetapi selanjutnya
proses demokrasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan atau mencapai sila yang
kelima dari Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
2. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
A. Kewenangan MK
Bahwa Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menetapkan kewenangan MK
yaitu: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”. Pasal 24C ayat (1) ini merupakan dasar
kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya, yang sifatnya limitatif dalam arti hanya apa yang
disebut dalam pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Terhadap kewenangan dimaksud di satu pihak tidak dapat ditambahkan kewenangan
lain, dan di lain pihak tidak dapat dikurangi kecuali karena adanya perubahan
terhadap pasal dimaksud yang terjadi dengan jalan perubahan Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37 (Vervasunganderung).
Bahwa dalam perubahan ketiga UUD 1945 ditetapkan pula pengaturan terkait
dengan materi Pemilihan Umum (Pemilu), sebagaimana dituangkan dalam Pasal 22E
bahwa:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum
diatur dengan undang-undang.
Bahwa ketentuan Pasal 22E UUD NRI 1945 sama sekali
tidak menyebutkan ataupun memasukkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai
bagian dari Pemilu. Artinya secara
konstitutional Pilkada tidak dimasukkan sebagai rezim pemilu. Jika akan dimasukkan sebagai bagian dari
pemilu seharusnya dilakukan perubahan UUD pada waktu perubahan ketiga
dilakukan, karena, pengaturan mengenai Pilkada merupakan hasil perubahan kedua
UUD 1945, yang dalam Pasal 18 ayat (4)
menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Bahwa pengaturan proses Pilkada sejak Indonesia
Merdeka merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena
itu pengaturannya diderivasi ke dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 bahwa “Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.” Artinya
keseluruhan pengaturan terkait dengan ayat (1) hingga ayat (6) dari Pasal 18
UUD 1945 diderivasikan dalam UU. UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang Pemilihan Kepala
Daerah secara lengkap. Hal ini merupakan
konsekuensi pemerintahan daerah adalah sub pemerintah Pusat. Segala hal ihwal
tentang pemerintahan daerah merupakan bagian dari kekuasaan Pemerintahan, yang
dicirikan antara lain dengan kedudukan DPRD dan Kepala Daerah sama-sama sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah, serta produk hukum daerah berupa
Peraturan Daerah (Perda) dapat dibatalkan oleh Presiden melalui jalur executive review.
Bahwa UU No.22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan UU No. 15 Tahun
2011, yang memasukkan Pilkada sebagai rezim Pemilu. Ketentuan ini tidak sejalan dengan Pasal 22E
ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan Umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai implikasi
dimasukannya Pilkada ke dalam rezim Pemilu terjadi pelimpahan kewenangan
terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari Mahkamah Agung (MA) ke
MK.
Bahwa namun demikian, tidak ada
kejelasan disain konstitusional mengenai pengalihan kewenangan itu. Kewenangan MK ini hanya ditempelkan dalam Bab
Ketentuan Peralihan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah yang merupakan perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004:
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan”.
Bahwa Sumber legitimasi kewenangan MK hanya berdasarkan ketentuan peralihan
sangat tidak sejalan dengan putusan MK: “Haruslah dimengerti bahwa Mahkamah
Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan
oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang
melainkan organ Undang-Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah Konstitusi, bukan
Mahkamah undang-undang. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstutusionalnya adalah
Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan perundang-undangan
lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga
apapun sebagai subjek dalam sistem hukum nasional, segala peraturan
perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Bahwa ahli berpendapat bahwa bukan berarti “Ketentuan Peralihan” tidak penting
dalam suatu sistimatika peraturan perundang-undangan, tetapi hal ini harus
dikaitkan dengan makna Ketentuan Peralihan menurut Butir C.4 Nomor 127 Lampiran
II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
127. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian
pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang
terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.
mengatur hal-hal yang
bersifat transisional atau bersifat sementara
Bahwa dalam konteks penyelesaian hasil Pilkada tidak ada sama sekali
kekosongan hukum dengan sendirinya ada kepastian hukum karena penyelesaian
tersebut sebelumnya merupakan kewenangan MA c.q Pengadilan Tinggi (PT).
Demikian kewenangan MK yang didapat karena pengalihan dari MA hanya karena
“mengatur hal-hal yang bersifat
transisional atau bersifat sementara”. Alangkah
tidak tepatnya jika memberikan kewenangan tambahan bagi MK sebagai lembaga
negara pengawal dan penafsir konstitusi yang merupakan hukum dasar tertinggi di
negeri ini hanya melalui politik legislasi “Ketentuan Peralihan”, apalagi hal
tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan bunyi Pasal 24C ayat (1) yang secara
eksplisit mengatur batas kewenangan MK.
Bahwa jika pembentuk UU masih merasa belum jelas dengan bunyi ketentuan Pasal
24 C ayat (1) maka MK sebagai lembaga penjaga gawang dan penafsir konstitusi
perlu menafsirkan dengan jelas apa batas kewenangan MK tersebut dalam rangka
menegakkan UUD. Lebih dari itu jika merujuk pada Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014
(halaman 93) yang juga merujuk pada putusan MK
sebelumnya, MK menyatakan bahwa:
Ketentuan dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas membedakan mengenai perumusan
kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A ayat (1) dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1). Kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan
secara tidak limitatif (non–limitatif), karena sebagian masih dapat ditentukan
lebih lanjut dengan undang-undang sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi
dirumuskan tegas dan bersifat limitatif. Karena itu, pembentuk undang-undang -
dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden - diberi kewenangan
oleh Undang-Undang Dasar untuk menambah dan melengkapi ketentuan tentang
kewenangan Mahkamah Agung. Akan halnya kewenangan Mahkamah Konstitusi, Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden tidaklah berwenang menambah dan karena itu
secara a contrario juga tidak berwenang mengurangi kewenangan Mahkamah
Konstitusi itu dengan undang-undang. Karena itu, landasan hukum yang dapat
dipakai untuk menentukan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang atau tidak
berwenang untuk memeriksa sesuatu permohonan haruslah didasarkan atas ketentuan
Undang-Undang Dasar bukan undang-undang.
Bahwa pendapat MK ini menjadi dasar penguat bahwa tidak boleh menambah atau
mengurangi kewenangan MK yang sudah sangat eksplisit ditentukan dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf d UU No.
48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, jelas bertentangan dengan UUD.
Pasal 29
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat ertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undang.
Bahwa kewenangan lain yang dimaksud oleh Pasal 29 ayat (1) huruf e ini, dapat
menambah yang menyebabkan dapat menurunkan wibawa kelembagaan MK sebagai organ
konstitusi/UUD.
Bahwa akibat diberikannya kewenangan tambahan oleh UU ini , maka MK kebanjiran
perkara penyelesaian hasil Pilkada, yang kadang-kadang sampai menyentuh
sengketa Pilkada. Hingga akhir September lalu, perkara perselisihan hasil
Pemilukada masih mendominasi perkara-perkara yang ditangani MK yang jumlahnya sekitar
615 perkara. Dari jumlah itu, 593 perkara telah diputus dan 22 perkara masih
dalam proses pemeriksaan.Kondisi ini
menyebabkan MK terpaksa berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945,
terutama pengujian UU, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa
pilkada yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi. Dapat dibayangkan betapa berat dan rawannya
kedudukan MK akibat menjalankan kewenangan yang bukan bersumber pada kewenangan
pokok dalam konstitusi.
B.
Penyelesaian Hasil Pilkada
Bahwa apakah jika MK tidak menyelesaikan perkara hasil Pilkada, akan
menyebabkan terganggunya roda pemerintahan?. Proses Pilkada melibatkan
kelembagaan KPU, Bawaslu dan DKPP. Ketiga lembaga inilah yang semestinya
dioptimalkan fungsinya sesuai dengan paket UU pemilu, salah satunya UU No. 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang dengan jelas disebutkan fungsi
ketiga organ tersebut. KPU (provinsi/kabupaten/kota) sebagai penyelenggara
pemilu, Bawaslu menjalankan tugas mengawasi penyelenggaraan pemilu, dan DKPP
bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan
satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Bahwa perubahan UU No. 32 Tahun 2004 yang sedang dalam proses yang diikuti
dengan pembentukan UU Pilkada, merupakan momentum untuk merekontruksi hukum
sistem Pilkada sehingga dapat mengurangi munculnya sengketa. Artinya jika MK
tidak melanjutkan kewenangan transisional tersebut tidak akan menyebabkan Pilkada tidak
berjalan, justru akan menghasilkan putusan MK yang jauh lebih baik karena
terfokus pada kewenangan yang diberikan oleh UUD.
3. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.
Bahwa keberadaan Pasal 236C UU Pemda yang berbunyi, “Penanganan sengketa hasil penghitungan
suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan”, bukanlah diturunkan dari Pasal 29 ayat (1)
huruf e UU Kekuasaan Kehakiman. Sebab, UU Kekuasaan Kehakiman baru lahir
(diundangkan) pada tahun 2009, artinya UU Pemda lebih dahulu lahir. Karena itu
tidak mungkin undang-undang yang lahir belakangan dijadikan rujukan, apalagi
dasar hukum, bagi undang-undang yang lahir lebih dahulu.
Bahwa lahirnya Pasal 236C UU Pemda adalah berkorelasi dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(selanjutnya disebut UU Pemilu). Dalam Ketentuan Umum UU Pemilu dimaksud, yaitu
Pasal 1, dimuat ketentuan tentang pengertian pemilihan umum (pemilu), yang
memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam ruang lingkup pemilu.
Bahwa dalam Pasal 1 angka 4 UU Pemilu dikatakan, “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Bahwa dengan kata lain, pemilihan kepala daerah
dikonstruksikan sebagai bagian dari pemilu. Selanjutnya, karena yang berwenang
memutus sengketa hasil pemilu menurut UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi,
kalau terjadi sengketa hasil pemilihan kepada daerah maka yang berwenang memutus
adalah Mahkamah Konstitusi. Karena itulah lantas, oleh pembentuk undang-undang,
dibuatkan “saluran” untuk “memindahkan” kewenangan memutus sengketa pemilihan
kepala daerah itu ke Mahkamah Konstitusi (yang sebelumnya berada di tangan
Mahkamah Agung), yaitu lewat Pasal 236C UU Pemda di atas.
Bahwa dengan demikian persoalannya, pada awalnya, bukanlah
terletak pada Pasal 236C UU Pemda melainkan pada Pasal 1 angka 4 UU Pemilu.
Artinya, apakah Pasal 1 angka 4 UU Pemilu yang memasukkan pemilihan kepada daerah
ke dalam ruang lingkup Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak?
Bahwa menurut saya, jawabannya adalah “Ya”, bertentangan
dengan UUD 1945. Argumentasi saya bukan bertolak dari penafsiran original intent pembentuk UUD 1945 (yang
memang tak bermaksud memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam pengertian
pemilu) melainkan dari penafsiran sistematis dan teleologis dalam membaca Pasal
22E UUD 1945.
Bahwa secara sistematis, Pasal 22E UUD 1945 memulai
pengaturan tentang pemilu dengan terlebih dahulu memuat ketentuan umum tentang
asas dan periodisasi pemilu, sebagaimana diatur pada ayat (1)-nya yang
mengatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Sementara itu, ayat (2) dari Pasal 22E UUD 1945 itu menyatakan,
“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.” Jadi, secara sistematis, pemilu yang diselenggarakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945 itu adalah pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (2) UUD
1945. Jadi, tidak termasuk pemilihan kepala daerah.
Bahwa argumentasi yang memasukkan pemilihan kepada daerah ke
dalam pengertian pemilu juga tertolak karena alasan-alasan atau penalaran
sebagai berikut:
-
pertama, secara struktural,
pengaturan tentang kepala daerah adalah bagian dari pengaturan tentang
pemerintahan daerah sehingga ia tunduk pada ketentuan tentang pemerintahan
daerah dalam UUD 1945, dalam hal ini Bab VI (yang mencakup Pasal 18, Pasal 18A,
dan Pasal 18B), termasuk tata cara pemilihannya;
-
kedua, tentang tata cara
pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4)
menyatakan bahwa kepala daerah itu dipilih secara demokratis, yang artinya ia dapat
dipilih secara langsung ataupun secara tidak langsung;
-
ketiga, dengan demikian,
kalaupun pemilihan kepala daerah diterima sebagai bagian dari pemilu, quod non, penerimaan itu hanya berlaku
tatkala pemilihan dilakukan secara langsung. Sedangkan jika pemilihan dilakukan
melalui perwakilan, c.q. pemilihan
melalui DPRD, yang menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dibenarkan, bukanlah
pemilu, sebab salah satu asas pemilu, sebagaimana disebut dalam Pasal 22E ayat
(1), yaitu asas langsung, tidak terpenuhi, padahal seluruh asas yang terdapat
dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 itu adalah bersifat kumulatif. Selanjutnya,
untuk hal yang disebut terakhir, karena bukan pemilu, jika terjadi sengketa
dalam pemilihan kepada daerah melalui DPRD itu maka yang berwenang memutusnya
bukanlah Mahkamah Konstitusi;
-
keempat, berdasarkan
alasan-alasan di atas maka menjadi aneh jika pada suatu waktu pemilihan kepada daerah adalah pemilu, yaitu tatkala dilaksanakan melalui pemilihan
langsung (dan karena itu jika terjadi sengketa diputus oleh Mahkamah
Konstitusi) sedangkan pada lain waktu ia
bukan pemilu, yaitu manakala dilakukan tidak melalui pemilihan langsung
melainkan lewat perwakilan, c.q. DPRD
(dan karena itu jika terjadi sengketa bukan Mahkamah Konstitusi yang berwenang
memutusnya). Padahal keduanya (baik pemilihan secara langsung maupun tidak
langsung) berpegang pada landasan konstitusional yang sama, yaitu Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945.
Bahwa sementara itu, terhadap
pertanyaan apakah Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan
dengan UUD 1945 atau tidak, jawaban saya adalah “Ya”, bertentangan. Hal ini
pernah saya bahas dalam salah satu bagian dari disertasi saya, yang intinya
dalah sebagai berikut:
Bahwa di
bagian ketiga UU Kehakiman, yang
mengatur tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 29 ayat (1)-nya dikatakan:
Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a.
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c.
memutus pembubaran partai politik;
d.
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e.
kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Bahwa tampaknya ketentuan dalam huruf e dari Pasal 29 ayat
(1) UU Kehakiman di atas dimaksudkan sebagai pembenaran atau landasan hukum
pemberian “tambahan” kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi RI
untuk mengadili dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu
terbukti dari Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman tersebut yang berbunyi,
“Dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa dan memutus sengketa hasil
pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Bahwa secara teoretik, ada dua persoalan yang timbul dari
ketentuan di atas. Pertama, secara substansial, jelas bahwa Pasal 29 ayat (1)
huruf e UU Kehakiman di atas telah menambahkan kewenangan baru kepada Mahkamah
Konstitusi RI. Dikatakan “kewenangan baru” karena kewenangan itu sama sekali
bukan merupakan turunan atau derivasi dari kewenangan yang telah secara
eksplisit disebutkan dalam UUD 1945, dalam hal ini dalam Pasal 24C
ayat (1) dan (2).
Bahwa pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah
undang-undang dapat menambahkan kewenangan baru yang sama sekali tidak disebut
dalam rumusan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang secara limitatif
mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi RI? Menurut Penulis, jawaban
terhadap pertanyaan ini adalah “Tidak.” Sebab, dengan cara demikian berarti
telah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan tidak oleh lembaga
negara dan menurut prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
Bahwa Kedua, bahkan andaikata pun cara penambahan kewenangan
sebagaimana dilakukan oleh Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman di atas dapat
dibenarkan, quod non, hal itu tetap
dapat dipersoalkan karena “penambahan” kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi RI
itu, yaitu untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala
daerah, sudah dilakukan sejak tahun 2008, yakni melalui Pasal 236C Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 12/2008), sedangkan UU Kehakiman baru
diundangkan 29 Oktober 2009. Pasal 236C
UU 12/2008 menyatakan:
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan.”
Bahwa dengan demikian, sekali lagi, andaikata pun cara penambahan
kewenangan sebagaimana dilakukan oleh Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman di
atas dapat dibenarkan, quod non, maka
ketentuan tersebut hanya berfungsi menjelaskan pemberian “tambahan” kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi RI bukan sebagai dasar hukum pemberian kewenangan
itu.
Bahwa tentu sangat berbeda halnya jika frase “kewenangan lain
yang diberikan oleh undang-undang” dalam huruf e dari Pasal 29 ayat (1) UU
Kehakiman itu muncul atau menjadi bagian dari di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sehingga dengan
demikian jika suatu undang-undang, termasuk UU Kehakiman, memberi kewenangan
lain selain yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
kewenangan itu adalah derivasi atau diturunkan dari UUD 1945, bukan menambahkan
kewenangan baru.
Bahwa dengan kata lain, undang-undang hanya menjadikan
lebih eksplisit suatu kewenangan yang secara implisit sudah disebutkan dalam
undang-undang dasar. Jadi, dalam hal yang disebut terakhir ini, secara
substansial undang-undang tidak menyerobot materi muatan yang merupakan materi
muatan undang-undang dasar dan, dengan demikian, secara prosedural pun tidak
melakukan pelanggaran prosedur perubahan undang-undang dasar yang ditentukan
dalam Pasal 37 UUD 1945 dan kewenangannya ada di tangan pembuat undang-undang
dasar, yaitu MPR, bukan di tangan pembuat undang-undang.
VI. PETITUM
1. Mengabulkan
seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan para Permohon;
2. Menyatakan
bahwa Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat
(2), Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat;
3. Memerintahkan
amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap
UUD 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Atau apabila
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).