Polemik
majunya Kepala Daerah menjadi Calon Presiden / Calon Wakil Presiden telah
menjadi pembahasan hangat disemua kalangan, baik ditingkat elite maupun
ditingkat masyarakat. Perdebatan lebih banyak melihat dari sisi Etika Politik
maupun secara sosiologis. Namun bagaimanakah pandangan dari sisi Yuridis?
Jika
kita melihat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Pasal 6 mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA yang dicalonkan sebagai calon
presiden atau calon wakil presiden harus
mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara dalam Pasal 7 mengatakan bahwa
Kepala Daerah yang dicalonkan Partai Politik tidak perlu mengundurkan diri dari
jabatannya, namun meminta untuk di nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti),
yang pengaturannya diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009.
Namun
pada pasal 1 angka 4 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA adalah Pimpinan dan anggota lembaga
tertinggi/tinggi negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan PEJABAT NEGARA
yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Kemudian
dalam Pasal 11 kembali dipertegas tentang klasifikasi PEJABAT NEGARA terdiri
atas :
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan
Perwakilan;
d.
Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan
Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua
Badan Peradilan;
e.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan
Pertimbangan Agung;
f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan
Pemeriksa Keuangan;
g.
Menteri dan jabatan yang setingkat
Menteri;
h.
Kepala Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.
Gubernur dan Wakil Gubernur;
j.
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil
Walikota; dan
k. Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh
Undang- undang
Jadi
bisa dikatakan bahwa ada norma yang saling berbenturan antara norma yang diatur
dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dengan Pasal 1
angka 4 dan Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
karena telah memisahkan Kepala Daerah dari bagian PEJABAT NEGARA.
Namun
semenjak munculnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai
pengganti dari UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dalam pengaturannya,
tidak lagi memasukan definisi PEJABAT NEGARA dalam Ketentuan Umumya dan juga
menghapus klasifikasi PEJABAT NEGARA, sehingga memperkuat aturan dalam Pasal 7
yang memisahkan Kepala Daerah dengan Pejabat Negara, sehingga inlah yang
menjadi dasar hukum para Kepala Daerah yang mencalonkan diri menjadi Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak perlu mundur dari Jabatannya dan cukup
meminta Ijin kepada Presiden untuk mendapatkan ijin Non aktif Sementara (Cuti)
dengan dasar Keputusan Presiden (Keppres).
Jika
dilihat dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap UU No. 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini tidak Konsisten karena dalam
konsideran menimbang huruf d, dikatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional tantangan global sehingga perlu
diganti.
Namun
pada Ketentuan Penutup, pasal 139 mengatakan bahwa, pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksana dari UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 55, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No,or 3041) sebagaimana diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Jadi
secara yuridis, sudah tidak ada lagi aturan yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus
mengundurkan diri dari jabatannya, hanya yang dapat dipersoalkan selanjutnya
adalah apakah Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan oleh Presiden dalam
memberikan izin cuti kepada Kepala Daerah sudah sesuai dengan Asas-asas atau Kepatutan
yang ada dengan mengujinya ke PTUN. Atau menguji Norma pasal 7 UU No. 42 Tahun
2008 tentang Pemilu Presiden ke Mahkamah Konstitusi jika dianggap bertentangan
dengan Konstitusi.
Salam Hormat,
Ketua Umum FKHK
Victor Santoso Tandiasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar