Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dalam ketentuan umum pasal 1 angka 3, mengatakan bahwa undang-undang adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden,
yang dimana undang-undang tersebut harus melalui Program Legislasi Nasional
yang selanjutnya disebut PROLEGNAS adalah instrument perencanaan program
pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis.
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 12 pegundangan adalah
penempatan peraturan peraturan perundang-undangan dalam lembaran negara
Republik Indonesia, tambahan lembaran negara Republik Indonesia, berita negara
Republik Indonesia, tambahan berita negara Republik Indonesia, lembaran daerah,
tambahan lembaran daerah, atau berita daerah.
Kemudian pada pasal 5, disebutkan bahwa dalam
membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
pembentukan perundang-undangan yang baik, yang meliputi :
a. Kelejasan tujuan ;
b. Kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat ;
c. Kesesuaian antara jenis
hirearki, dan materi muatan ;
d. Dapat dilaksanakan ;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan ;
f. Kejelasan rumusan ; dan
g. Keterbukaan.
Terakhir pasal 6 ayat (1), mengatur tentang Materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas :
a. Pengayoman ;
b. Kemanusiaan ;
c. kebangsaan ;
d. Kekeluargaan ;
e. Kenusantaraan ;
f. Bhineka tunggal ika ;
g. Keadilan ;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintah ;
i. Ketertiban dan kepastian hukum
; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Menurut Bagir Manan, ada 3 dasar dalam suatu peraturan
perundang-undangan, antara lain :
a. Dasar yuridis (juridishe
gelding), yakni pertama, harus ada keharusan adanya kewenangan dari pembuat
peraturan perundang-undangan. Setiap perturan perundang-undangan yang dibuat
oleh badan atau pejabat yang berwenang kalau tidak, peraturan
perundang-undangan tersebut batal demi hukum (van rechtswegenietig).
b. Dasar sosiologi (sociologische
gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
c. Dasar filosofis, bahwa setiap
masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka
harapkan dari hukum. (Bagir Manan, peranan peraturan perundang-undangan dalam
pembinaan hukum nasional, armico, Bandung, 1987, hal. 13)
Selanjutnya menurut Maria Farida menyatakan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang patut akan mengikuti
pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain
adalah Pancasila. (Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu perundang-undangan :
dasar-dasar dan pembentukannya, Yogyakarta ; kanisius, 2007, hal. 197)
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merupakan produk peraturan perundang-undangan
warisan masa penjajahan Belanda. Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah kodifikasi hukum perdata Belanda yang isi dan bentuknya
sebagaian besar serupa dengan Code Civil Prancis (kodifikasi hukum perdata
Prancis) (Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia”, hlm. 5).
Karena pada
saat itu Indonesia dibawah jajahan Belanda, maka Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini diusahakan kerajaan Belanda agar dapat diberlakukan pula di Hindia
Belanda (Indonesia) pada waktu itu. Abdulkadir menjelaskan KUHPer untuk Hindia
Belanda (Indonesia) disahkan sebagai undang-undang oleh Raja Belanda pada
tanggal 16 Mei 1846, melalui Staatsblad 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 1 Mei 1848.
Setelah
Indonesia merdeka pada tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut
masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Maka Kitab
Undang-Undang Hukum Perdara adalah Undang-Undang sampai saat ini dan masih
berlaku di Indonesia, selama belum digantikan oleh undang-undang baru. Hal
tersebut juga dijelaskan Abdulkadir (hlm. 6).
Dari
penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa KUHPer merupakan suatu
undang-undang yang dikitabkan (dikodifikasikan) sehingga disebut sebagai suatu
kitab undang-undang, dan sampai saat ini KUHPer tersebut masih berlaku di
Indonesia.
Pada perkembangannya BW yang ada saat ini sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata isi dan materinya tidak
utuh seperti pada saat di kodifikasi, ada beberapa bagian dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang sudah tidak berlaku lagi hal itu dikarenakan
ada suatu peraturan perundang-undangan yang baru dan putusan-putusan hakim yang
merupakan yurisprudensi yang menggantikannya karena dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang sudah sangat jauh berubah
dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada saat Burgelijk Wetboek
yg kini menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdara dikodifikasikan.
Seperti yang
dijelaskan diatas bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku dan
menjadi UU yang berlaku di seluruh wilayah NKRI berdasarkan Ketentuan Peralihan
pasal 1 UUD 1945. Dan hingga saat ini tidak adanya inisiatif dan keinginan dari Pemerintah
maupun DPR sebagai Lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang yang baru
menggantikan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Burgelijk Wetboek) yang membuat Kitab Undang-undang Hukum
Perdata masih ada hingga saat ini, padahal aturan-aturan
tersebut merupakan suatu
produk hukum jaman kolonial Belanda yang sudah
tidak relevan untuk diberlakukan pada saat ini tidak bersumber pada Pancasila, UUD NRI 1945, maupun
dalam UU yang mengatur tentang tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Oleh Karena itu kami dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) beserta para akademisi dari beberapa wilayah dan Mahasiswa Hukum yang peduli terhadap penegakan supremasi konstitusi berencana akan mengajukan Uji Formil terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang akan dimasukan pada hari Kamis, 5 Juni 2014 ke Mahkamah Konstitusi.