Penulis :
Dr. Fokky Fuad, SH., M.Hum
Dosen FH Universitas Al-Azhar Indonesia
PENDAHULUAN
Peradaban
suatu bangsa atau kaum berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
yang ada pada bangsa tersebut. Pilar perkembangan ilmu pengetauan bangsa
tersebut adalah perguruan tinggi sebagai sebuah laboratorium peradaban[1].
Perguruan tinggi menjadi sebuah tempat pembelajaran manusia-manusia, tempat
menyatunya semua pemikiran, dan tentunya tempat bernaungnya sebuah kebebasan
berfikir. Telaah atas peran perguruan tinggi sebagai penopang kemajuan suatu
bangsa menjadi penting setidaknya disebabkan oleh dua hal:
Pertama,
bahwa perguruan tinggi diyakini sebagai pusat kemajuan suatu kaum atau bangsa,
akan tetapi jika diamati secara seksama pertumbuhan jumlah perguruan tinggi
acapkali tidak diikuti tujuan-tujuan ideologis dalam perguruan tinggi kaum
tersebut. Dalam hal ini perlu dikaji mengapa terjadi perubahan paradigma
berfikir terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah pusat
ilmu pengetahuan, dimana disitulah setiap orang dituntut mencari, menggali,
hingga menemukan jantung pengetahuan. Tujuan ideologis lebih mengemuka
dibandingkan tujuan pragmatis, akan tetapi perubahan kebudayaan yang lebih
mengutamakan pasar dibanding ilmu, maka terjadi perubahan tujuan, kehendak dan
persepsi atas perguruan tinggi. Manusia pasar lebih dikehendaki dibandingkan
manusia ilmu. Tuntutan pasar menjadikan perguruan tinggi berubah dari pemusatan
ilmu kepada industri.
Kedua,
perguruan tinggi diharapkan mampu merubah kehidupan manusia-manusia sebagai
pendukung kebudayaan kaum tersebut. Jika diamati secara seksama terdapat alam
kebebasan berfikir yang terbangun dalam perguruan tinggi. Akankah kebebasan
akademik tetap bernaung dalam kehidupan perguruan tinggi saat ini. Perguruan
tinggi dalam sebuah bangsa menjadi diyakini sebagai jantung ilmu pengetahuan.
Transfer ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) terjadi tanpa dipengaruhi oleh tekanan aliran politik, aliran
agama, serta dogma ideologis tertentu. Dalam perkembangannya tampaknya terjadi
pola pemahaman yang berubah, bahwa perguruan tinggi juga menjadi sarana penekan
dogma tertentu atas pihak tertentu kepada pihak lain. Perguruan tinggi menjadi
ajang sarana menekan atau memaksakan kehendak suatu kaum.
Berdasarkan
dua hal tersebut di atas, dapat kita lihat dua permasalahan yang dihadapi oleh
perguruan tinggi: pertama, bahwa bagaimanakah universitas mampu mengemban
amanah bagi perubahan kemajuan peradaban suatu kaum sedangkan ia dituntut untuk
memenuhi kehendak pasar dalam sebuah mekanisme pasar? Kedua, bagaimanakah peran
perguruan tinggi dalam mengoptimalisasi peran mahasiswa sebagai agent of changesebuah bangsa?
A.
Perguruan
Tinggi antara Peran Ideologis dan Peran Pasar
Perguruan
tinggi merupakan mercu suar peradaban. Disebut sebagai mercu suar karena ia
menyinari suatu kaum yang sedang berlayar dalam kegelapan malam yang gelap
gulita. Perguruan tinggi menjadi pusat kesempurnaan (centre of excellent) dari perkembangan kemajuan peradaban suatu
kaum. Perguruan tinggi secara ide dan cita adalah tempat berlabuhnya para
terpelajar dan pembelajar untuk mencari, menggali, menemukan kepingan-kepingan
pengetahuan yang berserak. Ilmu adalah milik Tuhan, maka kita diminta untuk
menggali kepingan-kepingan ilmu pengetahuan yang hilang. Dalam peradaban besar
agama-agama dunia: Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, terdapat banyak perintah
untuk menggali dan menemukan ilmu pengetahuan.
Pada
masa Islam klasik abad pertengahan Islam mencapai kejayaankarena peran penting
perguruan tingginya dalam menemukan dan mencari ilmu pengetahuan yang berguna
bagi perkembangan peradaban Islam klasik (abad XII). Peradaban barat mengalami
kemajuan ketika mereka bersentuhan dengan kemajuan peradaban Islam. Terjadi
transfer pengetahuan antara dua peradaban timur dan barat. Pada abad XVI di
Eropa muncul enlightment (pencerahan)
peradaban dengan ditandai pengagungan ilmu pengetahuan yang membenamkan tahayul
ke dalam lubang kematiannya[2].
Kemajuan
peradaban masa Islam klasik dan Eropa tidak lepas dari bagaimana peran
perguruan tinggi dalam mencerahkan dan membebaskan manusia dari alam tahayul
yang menjadikan manusia tertinggal dan berada dalam jurang kebodohan. Perguruan
tinggi Islam seperti Universitas Al Azhar Kairo yang berdiri masa Kesultanan
Dinasti Syiah Fatimiyah Mesir hingga kemudian berubah menjadi Islam Sunni
hinggga kini tetap menjadi pusat kemajuan peradaban Islam bagi dunia[3].
Universitas Genoa Italia, Universitas Paris Perancis menjadi pintu bagi
terciptanya transformasi manusia Eropa yang meyakini tahayaul pada awalnya
hingga kini berada dalam alam ilmu pengetahuan. Pada masa Kerajaan Sriwijaya,
terdapat pusat perguruan tinggi agama Buddha (Nalanda) yang menjadi pusat ilmu
agama Buddha di Asia. Para pelajar dari Cina banyak belajar pada cendekiawan
Buddha pada masa itu.
Peran
ideologis perguruan tinggi begitu gemilang untuk mengarahkan sekaligus
mentransformasi masyarakat dari alam kebodohan dan kegelapan (jahiliyah) menuju alam pencerahan cerdik
pandai. Perguruan tinggi Islam Klasik: Universitas Al Azhar Kairo, Universitas
Baghdad, dan perguruan tinggi Eropa: Universitas Genoa dan Universitas Paris
menjadi sarana ide dan cita perkembangan perubahan kemajuan peradaban dunia.
Saat ini perguruan tinggi telah jauh lebih banyak secara kuantitas, Perguruan
tinggi Islam: Universitas Al Azhar Kairo, Universitas Madinah, Universitas Ibn
Saud. Perguruan Tinggi Eropa: Cambridge Unversity, Oxford University,
Universitas Paris, dan sebagainya. Di Asia: Tokyo University, Kyoto University,
University Malaya, UI, UGM, ITB, dan sebagainya. Di US: Harvard University,
Yale University, MIT, dan sebagainya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah
perguruan tinggi tersebut masih mengemban semangat enligtment ataukah cenderung memenuhi permintaan pasar dalam
masyarakat kapitalis?
Salah
satu parameter penilaian universitas terbaik di dunia adalah: seberapa banyak
alumni perguruan tersebut terserap oleh pasar tenaga kerja. Parameter lainnya
adalah: seberapa banyak pengajar yang memperoleh prize, seberapa banyak kontribusi tulisan-tulisan dosen perguruan
tinggi yang bersangkutan termuat dalam international
journal. Seberapa banyak penemuan-penemuan dalam bidang science & technology, serta seberapa banyak international students menempuh
pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Dari semua parameter, terdapat satu
parameter yaitu terserapnya alumni perguruan tinggi yang bersangkutan dalam
pasar kerja. Diterimanya alumni perguruan tinggi dalam bursa pasar kerja
menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sebuah perguruan tinggi. Disinilah kemudian terjadi proses dominasi pasar terhadap mutu kelulusan
perguruan tinggi. Banyaknya tulisan para Profesor yang termuat dalam jurnal
ilmiah internasional, tergantikan oleh seberapa besar alumni yang terserap di
bursa kerja.
Masyarakat
melihat pendidikan tidak lagi sebagai sarana pencerahan fikir akal budi
manusia, tetapi dalam bentuk masyarakat kapitalis yang pada akhirnya menuntut
terjadinya perubahan paradigma pembangunan perguruan tinggi menjadi sebuah
industri. Universitas menjadi industri pendidikan yang mementingkan pasar
permintaan dan penawaran. Perguruan tinggi berlomba-lomba untuk menawarkan
pendidikan yang berorientasi pasar. Mahasiswa dicetak siap pakai dalam bursa
kerja, tidak lagi melihat pada akal budi manusia yang tercerahkan. Dalam proses
pasar, maka jurusan Filsafat, Ilmu Budaya, Antropologi akan kalah bersaing
dengan Ilmu Ekonomi, Hukum, dan jurusan lainnya yang cenderung lebih siap
kerja. Pasarlah yang menetukan pendidikan, dan bukannya perguruan tinggi yang
mengarahkan pasar.
Dalam
pendidikan yang bercorak dan berorientasi pasar, maka perguruan tinggi menjadi
laboratorium yang mencetak mahasiswa-mahasiswa siap pakai. Perguruan tinggi
tidak lagi menjadi laboratorium ide pemikiran, serta pencerahan akal budi
manusia. Masyarakat secara tidak sadar menghendaki perubahan perguruan tinggi
menjadi sebuah industri pendidikan. Sebuah industri yang bermain dalam
mekanisme pasar. Ketika alumni perguruan tinggi ditolak dalam pasar bursa
kerja, maka masyarakat akan memilih perguruan tinggi yang lain. Kepentingan
sesaat yang mengutamakan nilai ekonomi menggantikan peran akal budi yang
tercerahkan.
Dalam
masyarakat industri, maka mahasiswa dituntut untuk siap pakai, mahasiswa adalah
bagian dari mekanisme mesin-mesin industri. Universitas sebagai laboratorium
kehidupan diarahkan untuk mencetak manusia mekanik. Mahasiswa mekanik tidak
melihat pada ide akal budi melainkan pada sejauhmana ia mampu mencetak
keuntungan ekonomi dalam pertarungan bursa kerja. Sebagai contoh kasus adalah
pendidikan tinggi hukum diarahkan pada pendidikan terapan hukum: pembuatan
kontrak bisnis, legal opinion & legal
due diligence, banking law, corporate
law, international trade law, dan semua mata kuliah yang berorientasi pada
kebutuhan dan kepentingan pasar. Secara langsung atau tidak para pemilik modal
telah menentukan arah pembangunan pendidikan hukum.
B. Perguruan
Tinggi dan Optimalisasi Peran Mahasiswa bagi Bangsa
Mahasiswa
adalah agent of change dalam sebuah
bangsa, dan dalam perubahan sosial masyarakat yang terjadi di Indonesia,
mahasiswa telah terbukti memiliki peran utama dalam merubah kondisi sosial
ekonomi dan politik negeri. Mahasiswa Angkatan ’66 telah mampu mendobrak dan
menggulingkan Orde Lama, demikian pula dengan Angkatan ’98. Terbukti bahwa
pendidikan pada perguruan tinggi telah mampu merubah paradigma berfikir
manusia-manusia Indonesia. Pendidikan tinggi menjadi sebuah bentuk dari
perubahan peradaban suatu bangsa kearah kemajuan.
Perguruan
tinggi dalam hal ini memiliki dua kutub yang saling tarik-menarik: kutub
mekanika pasar pada satu sisi, dan kutub ideologis pada sisi yang lain.
Tarik-menarik dua kutub yang tampaknya saling berseberangan ini tidak dapat
dihindari oleh perguruan tinggi. Tuntutan dunia kerja menjadikan perguruan
tinggi tidak dapat lagi tidur dalam lamunan ideologisnya, melainkan berbenah
untuk bersaing dengan banyaknya perguruan tinggi yang berorientasi pasar. Pada
sisi lain perguruan tinggi juga harus berpegang pada Tridharma Perguruan tinggi
yang mengusung nilai-nilai ideologis: pengabdian masyarakat, penelitian, dan
pendidikan.
Pembangunan
karakter manusia Indonesia berada pada pundak perguruan tingginya. Perguruan
tinggi harus mampu menjembatani dua kepentingan dari dua kutub yang tampaknya
saling bertolak belakang. Untuk itu perguruan tinggi harus mampu menciptakan
paduan dialogis antara pragmatisme permintaan pasar dan peran akal budi yang bersifat ideologis. Perguruan
tinggi tidak dapat bekerja sendiri tanpa peran aktif negara. Negara harus aktif
dalam pemberian subsidu pendidikan. Jika perguruan tinggi dilepaskan pada
mekanisme pasar, maka perguruan tinggi akan semata-mata memenuhi tuntutan
pasar. Mahasiswa akan diarahkan semata-mata pada kebutuhan pasar, pendidikan
perguruan tinggi akan diarahkan pada permintaan para pemilik modal. Negara
memiliki peran penting dalam proses pembiayaan pendidikan hingga standarisasi
pendidikan tinggi. Pendidikan tidak dapat diserahkan kepada tanggungjawab
masyarakat karena itu adalah kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Masyarakat
tidak akan memiliki dana yang cukup untuk membiayai berjalannya pendidikan
tinggi, dan itulah peran dan fungsi negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mahasiswa tidak semata-mata dibebankan pada pembiayaan dan lebih difokuskan
pada diskusi dan dialog ilmiah, penelitian yang didanai oleh lembaga donor
(Pihak III). Perguruan tinggi tidak selayaknya memposisikan dirinya sebagai
industri yang menjadikan pendidikan sebagai bisnis mencari uang bagi
pelaksana-pelaksana perguruan tinggi. Pelaksana pendidikan berfokus pada
pencarian dana Pihak III, sehingga perlu dibentuk university manager yang mengemban tugas tersebut. Dengan
terbebasnya mahasiswa dari belitan dan kesulitan pendanaan pendidikan, maka
mahasiswa dapat diarahkan pada proses-proses kajian telaah akademik, perdebatan
dan diskusi ilmiah dalam forum-forum mimbar kebebasan akademik[4].
Universitas
harus memposisikan dirinya sebagai laboratoium peradaban, dalam pengertian
bahwa miniatur kehidupan dan ruang sosial dibentuk diciptakan di dalamnya.
Mahasiswa yang memiliki peran sentral dalam kehidupan akademik, para tenaga
pengajar, para Profesor, mengarahkan mahasiswa untuk berperan aktif dalam
kehidupan internal maupun eksternal kampus. Mahasiswa tidak boleh diam dan
berpangku tangan terhadap ketidakadilan sosial masyarakat. Mahasiswa harus
menjadi corong-corong suara keadilan sosial masyarakat. Mahasiswa tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan akademik dan sekaligus dinamika sosial masyarakat.
Disinilah mahasiswa menjadi agent of
change dari terciptanya perubahan sosial.
Kesimpulan:
Pendidikan
tinggi hingga kini masih menjadi pusat pengembangan kemajuan peradaban suatu
kaum atau bangsa. Munculnya proses globalisasi juga berdampak pada proses
pembelajaran di perguruan tinggi, dalam proses ini muncul kehendak pasar yang
menuntut perguruan tinggi berperan aktif dalam memenuhi keinginan pasar. Pada
sisi lain terdapat nilai-nilai ide dasar yang menuntut perguruan tinggi
berperan dalam proses manusia-manusia yang memiliki karakter sesuai nilai-nilai
humanisme.
Kuatnya
tarik-menarik antara dua kutub ini membutuhkan peran aktif negara untuk
berperan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi dengan tidak melepas
perguruan tinggi ke alam pasar bebas.
[1]Peradaban mengandung
pengertian kemajuan kecerdasan baik dari sisi ilmu dan kebudayaan. Untuk itu
perbedaan kemajuan diantara kebudayaan berbeda-beda. Lihat:<http://www.artikata.com/arti-385257-peradaban.html>, diakses pada
tanggal 11 Pebruari 2013
[2]Semangat pencerahan dan
kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa muncul oleh semboyan Cogito ergo sum (Aku berfikir maka aku ada, I Think therefore I am)yang dikumandangkan oleh Rene Descartes.
Descartes mengumandangkan sebuah eksistensi diri manusia yang tampak dari apa
yang difikirkannya. Manusia terjalin atas apa yang tertanam dalam pikirannya
membebaskannya untuk terus mencari dan menyatakan bahwa segala yang tampak
adalah relatif dan perlu difikirkan. Lihat: <http://www.britannica.com/EBchecked/topic/124443/cogito-ergo-sum>, diakses pada
tanggal 11 Februari 2013
[3]Kemajuan Peradaban Islam
tidak lepas dari tingginya peran para ilmuwan/Profesor Islam pada masa
Kekhalifahan Islam yang mendorong terciptanya masyarakat yang berpengetahuan.
Penemuan-penemuan dan inovasi para ilmuwan seperti Ibn Khaldun, Ibn Sina,
Khawarizmi, dan lainnya memberikan sumbangsih besar pada terciptanya bangunan
peradaban Islam Klasik. Kemunduran peradaban Islam diawali oleh padamnya
pemikiran-pemikiran yang menutup pintu pemikiran ijtihad. Transfer pengetahuan
terjadi antara dunia timur kepada peradaban Barat. Lihat: SEJARAH PERKEMBANGAN
ISLAM PADA ABAD PERTENGAHAN. Lihat: <http://www.saefudin.info/2008/05/sejarah-islam-abad-pertengahan.html#.URh1-WfoP-I>, diakses pada
tanggal 11 Februari 2013
[4]Dinamika alam berfikir
menemukan tempatnya pada pendidikan tinggi. Mahasiswa sebagai agen perubah
mendapati beragam sumber ilmu dan pengetahuan yang berlimpah. Kebenaran ilmu
harus terus dicari dengan tidak menjadikan dosen semata-mata sebagai pusat dari
segala kebenaran. Bahwa dalam proses globalisasi yang juga tampak pada proses
pembelajaran di perguruan tinggi, mahasiswa menerima beragam sumber pengetahuan
yang berlimpah mulai: buku, media elektronika, jurnal online, dan lain
sebagainya. Lihat: Edhi Setiawan, Cogito
ergo sum, <http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/06/cogito-ergo-sum-477270.htm>, diakses pada
tanggal 11 Pebruari 2013