TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
-Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan dari UU
Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
sejak Agustus 2011 silam.
Namun yang menjadi kekhawatiran banyak
pihak adalah dengan masuknya kembali Tap MPR dalam Hirarki
Perundang-undangan di tengah perubahan konsep ketatanegaraan dimana MPR
sudah diposisikan sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya.
Kekhawatiran
ini sudah lama berjalan, dan terbukti pada tanggal 4 Maret 2013
Mahkamah Konstitusi Menggelar sidang pengujian Ketetapan MPR terhadap
UUD NRI 1945, dengan pemohon Rachmawati Soekarnoputri, Universitas Bung
Karno dan Partai Pelopor dengan No. Perkara 24/PUU-XI/2013. Namun
pada 10 September 2013, MK menolak permohonan tersebut dengan dasar
pertimbangan permohonan para pemohon tidak termasuk dalam ruang lingkup
kewenangan MK, sehingga MK tidak perlu mempertimbangkan segala
pertimbangan para pemohon.
"Dari permasalahan ini kerugian
konstitusional yang dialami para pemohon mengalami kebuntuan terhadap
kewenangan pengujiannya," kata Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan
Konstitusi Victor Santoso Tandiasa, dalam keterangannya persnya diterima
Tribunnews.com, Minggu (22/9/2013). Penerapan dalam UU No. 12
Tahun 2011 yang meletakan Tap MPR dibawah UUD dan di atas UU, kata
Victor menimbulkan kekosongan hukum terhadap kewenangan pengujiannya.
Menurutnya,
apabila kewenangan pengujian tersebut tidak dilaksanakan dengan
maksimal, maka akan berdampak diterapkannya peraturan perundang-undangan
yang jauh dari semangat konstitusionalisme. "Yang menyimpang dari
nilai-nilai konstitusionalisme tentu saja akan merugikan warga Negara
yang telah menyerahkan amanat kepada lembaga-lembaga Negara untuk
menjalankan pemerintahan yang baik (good governance)," ujarnya.
Jika
demikian adanya, lanjut dia, maka tujuan pembentukan Negara untuk
melindungi hak-hak warganya tidak tercapai. Karena sejatinya Negara itu
dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, supaya mereka itu dapat
hidup baik dan bahagia.
Senada dengan pendapat Prof. Jimly
Asshiddiqie, TAP MPR seharusnya disetarakan dengan UU. Karena TAP Nomor I
MPR Tahun 2003 sebagai TAP terakhir sudah menundukkan sendiri kedudukan
TAP tersisa dapat diubah oleh UU, sehingga kedudukannya setara dengan
UU. Karena itu, UU No. 12 Tahun 2011 yg menempatkan TAP tersisa
berada di atas UU, adalah Kesalahan Fatal, sebab hal itu berakibat
keberadaan TAP MPR tersebut akan berlaku sampai kiamat karena tidak ada
lembaga manapun yang berwenang mencabut atau mengubahnya lagi. MPR
menurut mantan Ketua MK tersebut, hanya berwenang mengubah UUD, DPR dan
Presiden hanya berwenang mengubah UU, MK juga hanya berwenang menguji
UU.
"Oleh karena itu, kami dari Forum kajian dan Konstitusi (FKHK)
sebagai organisasi yang berperan aktif dalam menegakan
konstitusionalisme yang mana sebagai perwujudan upaya, baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat,
bangsa dan Negaranya dalam penegakkan nilai-nilai konstitusionalisme
memandang memiliki kedudukan hukum untuk dapat mengajukan Judicial
Review terhadap UU No. 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (1) huruf b yang
dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)," kata Victor.
Dalam
permohonan gugatan, FKHK menginginkan agar kedudukan ketetapan MPR
dalam hierarki peraturan perundang-undangan disejajarkan dengan UU.
Sehingga, jika ada yang bertentangan dengan konstitusi dapat menjadi
kewenangan MK untuk melakukan pengujian. Kemudian, imbuhnya tidak
menjadikan TAP MPR menjadi batu uji terhadap UU yang dianggap
bertentangan dengan TAP MPR tersebut, karena sudah sejajar dalam
kedudukannya.
"Senin, 23 September 2013 FKHK akan mendaftarkan
Gugatannya ke Mahkamah Konstitusi, dan kami berharap dukungan kepada
masyarakat secara umum maupun kepada para pakar Hukum Tata Negara secara
khusus dalam perjalanannya nanti," imbuhnya.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Budi Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar