Kewenangan
penyelesaian sengketa pemilu dan pemilukada (pasca masuknya pemilukada kedalam
rezim pemilu) diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada pasal 24C
ayat (1) dikatakan bahwa :
”Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Kemudian pengaturan
kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih rinci diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan
mengadili terhadap penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur pada pasal 10
ayat (1) huruf d, dan untuk pengaturan terkait sifat putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 pada pasal 79 ayat (3) yang
mengatakan :
“Putusan
Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final
dan Mengikat”.
Sifat putusan
Mahkamah Konstitusi inilah yang kemudian menjadi permasalahan dalam
pelaksanaannya. Sudah terjadi beberapa diantaranya putusan terhadap
perselisihan hasil pemilihan umum yang merugikan hak konstitusional warga
negara karena menimbulkan kebuntuan dalam upaya mencari keadilan secara
konstitusional yang dirampas akibat “human error” hakim konstitusi dalam
membuat keputusannya.
Contoh yang baru
saja terjadi dalam perkara perselisihan hasil pemilu yang terjadi di Kabupaten
Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perkara PHPU No.
103/PHPU.D.XI/2013, Dimana KPU Sumba Barat Daya menetapkan pasangan
Markus-Ndara sebagai pemenang. Namun, pasangan Kornelius Kodi Mete - Daud
Lende Umbu Moto yang tak terima dengan putusan KPU itu mengajukan gugatan ke
MK. Selain itu, Kornelius juga melaporkan dugaan kecurangan yang dilakukan KPU
Sumba Barat Daya dan sejumlah PPK karena merasa perolehan suaranya berkurang,
sementara suara untuk Markus Dairo Talu - Ndara Tanggu Kaha justru bertambah.
Dalam persidangan, Pemohon sudah meminta kepada Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
melakukan penghitungan ulang terhadap kotak suara yang diduga terjadi
penggelembungan, namun Majelis Hakim tidak melakukan penghitungan ulang suara
dari dua kecamatan itu, dan memutus sengketa Pemilukada Sumba Barat Daya pada
29 Agustus lalu dengan isi amar putusannya adalah menolak permohonan pasangan
Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto, sekaligus menguatkan penetapan
perolehan suara KPU yang memenangkan Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha.
Namun setelah itu
untuk menelusuri bukti penggelembungan suara Polres Sumba Barat dilakukan
penghitungan ulang kotak suara dari dua kecamatan. Hasilnya ada perubahan
perolehan suara yang berpengaruh pada pasangan yang ditetapkan sebagai pemenang
Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha. Ternyata peraih suara terbanyaknya adalah
Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi
telah ditolak permohonannya.
Akibat dari sifat
putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dalam penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan umum, artinya tidak ada upaya konstitusional
lainnya yang dapat memberikan kesempatan bagi pihak yang dirugikan oleh putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut untuk dapat mengajukan upaya hukum selanjutnya.
Karena terjadi kebuntuan upaya hukum secara konstitusional akhirnya ketua KPUD
Sumba Barat Daya mengambil keputusan untuk mengabaikan putusan Mahkamah
Konstitusi dan menganulir keputusan penetapan rekapitulasi perolehan suara
pasangan calon serta penetapan bupati dan wakil bupati SBD terpilih. Padahal
jelas, keputusan KPUD Sumba Barat Daya tersebut melanggar konstitusi, dan dapat
di permasalahkan oleh pihak Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha ke PTUN, dan
pasti akan menjadi masalah yang sulit diselesaikan dan berpotensi besar
menimbulkan konflik horizontal antar para pendukung. Bahkan kami menduga
penolakan Majelis hakim untuk menghitung kotak suara yang sudah di dibawa ke
jakarta itu pun kemungkinan Mahkamah Konstitusi sudah kemasukan angin.
Peristiwa yang
terjadi dalam penyelenggaraan penyelesaian perselisihan hasil pemilu di
Kabupaten Sumba Barat Daya ini hanya merupakan contoh dari banyak kasus
pemilukada yang menjadi preseden buruk dalam perkembangan konstitusionalisme di
Indonesia, jaminan perlindungan serta kepastian hukum dalam melakukan upaya
mencari keadilan telah terampas oleh sifat yang final dan mengikat tersebut.
Kami membayangkan jika nanti peristiwa yang dialami masyarakat Sumba Barat Daya
terjadi dalam Pemilihan Presiden (pilpres) konflik horizontal dalam skala
nasional dipastikan akan terjadi.
Selain itu, sifat
putusan yang final dan mengikat ini kemudian menjadi harapan terakhir para
calon kepala daerah yang ambisius
merebut jabatan yang penuh dengan kekuasaan untuk dapat menjadi raja kecil di
daerah. Sehingga potensi untuk melakukan upaya apapun untuk menang, seperti
yang baru saja terjadi rabu, 02 Oktober 2013, sekitar pukul 22.00 KPK melakukan
oprasi tangkap tangan terhadap ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait
persoalan pemilukada di Kalimantan.
Oleh karena itu
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang merupakan organisasi yang konsen
dalam penegakan Konstitusionalisme di Indonesia mengajukan permohonan
(gugatan) ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi
pasal 79 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.24 Tahun
2003 dalam penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar