Runtuhnya Benteng Konstitusi kita akibat perilaku corrupt yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi harus kita jadikan momentum untuk mengevaluasi perjalanan Mahkamah Konstitusi 10 tahun terakhir. Jika kita kembali melihat
awal pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), sangat jelas bahwa yang menjadi
tugas utama MK adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di
atur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Mencermati kewenangan MK
dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU), berdasarkan amanat
Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa :
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada dalam BAB VIIB tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum soal pemilihan Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala
Daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang berbeda, yaitu BAB IV tentang
Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”.
Artinya konstitusi sendiri tidak
memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU.
Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu.
Itu sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala
Daerah dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan
kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada
kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.
Baru kemudian, setelah munculnya UU No.
22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU 22 Tahun 2007 sudah dinyatakan tidak berlaku
lagi), menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam Rezim Pemilu yang
terdapat pada pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi : “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dimasukannya Pilkada dalam rezim pemilu menjadi
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD
1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.
Implikasi dimasukannya Pilkada kedalam
rezim pemilihan umum oleh UU No. 22 Tahun 2007 adalah terjadinya pelimpahan
kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari MA cq PT ke MK.
Pengalihan kewenangan itu kemudian memaksa MK
berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian UU,
dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam UU
No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Awalnya MK Konstitusi hanya cukup
menangani sengketa pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun
sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap Penyelesaian Perselisihan
tentang Hasil Pemilihan Umum tersebut, saat ini fokus MK menjadi teralihkan oleh
penanganan penyelesaian sengketa Pilkada secara rutin terus menerus.
Selain itu permasalahan lainnya akibat
pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat
(upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat
ditempuh.
Banyaknya gugatan yang masuk, sempitnya
waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan mengikat
inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus
sengketa pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk
memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena
itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari
keadilan.
Posisi inilah yang mengakibatkan potensi
terjadinya tindakan Corupt dari hakim
Konstitusi semakin besar, di dukung dengan tidak adanya lembaga pengawas yang
mengawasi jalannya setiap persidangan perselisihan tentang hasil pemilihan umum
di MK. Akhirnya masyarakat yang kembali menjadi korban dibawah kepemimpinan
daerah dari produk putusan MK yang sudah terpengaruh dengan tindakan Corupt hakim konstitusi selama 5 (lima)
tahun. dan berpotensi menjadikan MK menjadi peradilan sesat.
Oleh karena itu perlu adanya kaji ulang mengenai
Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani penyelesaian
sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar