Rabu, 23 Oktober 2013
Kamis, 17 Oktober 2013
NASKAH PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH
KONSTITUSI
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakim konstitusi
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan
sebagai pejabat negara;
b. bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara
hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan
Undang-Undang Dasar, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang
tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
c. bahwa untuk mengatasi keadaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai
syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan
hakim konstitusi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Mengingat :
1. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah dan ditambah 1
(satu) angka, yakni angka 5, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya
disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Permohonan adalah permintaan yang diajukan
secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah
perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial untuk
menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.
5. Panel Ahli adalah perangkat yang dibentuk oleh
Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi
yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.
2. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf h
diubah dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf i serta ayat (3) ditambah 1
(satu) huruf, yakni huruf f, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim
konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doktor dengan dasar sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh)
tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan
tugas dan kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan;
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum
paling sedikit 15 (lima belas) tahun; dan
i. tidak menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai
calon hakim konstitusi.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi
dengan menyerahkan:
a. surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim
konstitusi;
b. daftar riwayat hidup;
c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah
dilegalisasi dengan menunjukkan ijazah asli;
d. laporan daftar harta kekayaan serta sumber
penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah
mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
e. nomor pokok wajib pajak (NPWP); dan
f. surat pernyataan tidak menjadi anggota partai
politik.
3. Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3
(tiga) pasal, yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 18A
(1) Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui
uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.
(2) Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden
mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak
3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji
kelayakan dan kepatutan.
(3) Panel Ahli menyampaikan calon hakim
konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1
(satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.
(4) Dalam hal calon hakim konstitusi yang
dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan kurang dari jumlah hakim
konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan
kembali calon hakim konstitusi lainnya paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah
hakim konstitusi yang masih dibutuhkan.
(5) Dalam hal calon hakim konstitusi yang
dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sama dengan jumlah hakim
konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden dapat
langsung mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan
tambahan paling banyak 3 (tiga) calon hakim konstitusi lainnya untuk diuji
kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli.
(6) Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden
memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang
dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya
kepada Presiden untuk ditetapkan.
Pasal 18B
Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Pasal 18C
(1) Panel Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18A ayat (1) berjumlah 7 (tujuh) orang.
(2) Panel Ahli terdiri atas:
a. 1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;
b. 1 (satu) orang diusulkan oleh DPR;
c. 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan
d. 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial
berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh
masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
(3) Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak
tercela;
b. memiliki kredibilitas dan integritas;
c. menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah magister;
e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun;
dan
f. tidak menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
(4) Anggota Panel Ahli dilarang mencalonkan diri sebagai
calon hakim konstitusi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan Panel Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan
Peraturan Komisi Yudisial.
4. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi,
pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi diatur oleh masing-masing
lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A.
(2) Ketentuan mengenai tata cara uji kelayakan dan
kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18A ayat (1) diatur oleh Komisi Yudisial.
(3) Seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim
konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan
akuntabel.
5. Ketentuan Pasal 26 ayat (3) diubah, ayat (4)
dan ayat (5) dihapus, sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada
lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengenai
hakim konstitusi yang akan diberhentikan dalam jangka waktu paling lama 6
(enam) bulan sebelum:
a. memasuki usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf c; atau
b. berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf d.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi menerima Keputusan Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), Mahkamah Konstitusi
memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang diberhentikan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau
ayat (2).
(3) Lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) mengajukan pengganti hakim konstitusi kepada
Presiden sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
6. Judul Bab IVA diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
BAB IVA
KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU
HAKIM KONSTITUSI SERTA MAJELIS KEHORMATAN HAKIM KONSTITUSI
7. Ketentuan Pasal 27A diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 27A
(1)
Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan
menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang
harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk
menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.
(2) Dalam menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial dapat mengikutsertakan pihak lain yang berkompeten.
(3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh hakim konstitusi.
(4) Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.
(5) Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berjumlah 5 (lima) orang yang
terdiri atas unsur:
a. 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi;
b. 1 (satu) orang praktisi hukum;
c. 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau
keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan
d. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
(6) Anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela;
b. adil;
c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun;
dan
d. tidak menjadi anggota partai politik dalam
jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi anggota
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(7) Masa jabatan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) selama 5 (lima) tahun dan tidak
dapat dipilih kembali.
(8) Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi mempunyai
wewenang untuk:
a. memanggil hakim konstitusi yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain
yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau
bukti lain; dan
c. memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang terbukti
melanggar kode etik.
(9) Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersidang
secara terbuka untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh hakim konstitusi.
(10) Ketentuan bersidang secara terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku terhadap pemeriksaan yang terkait
dengan perbuatan asusila dan pemeriksaan yang dapat mengganggu proses penegakkan
hukum yang sedang berjalan.
(11) Putusan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi bersifat final dan mengikat.
(12) Putusan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi.
(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, tata cara pemilihan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi, susunan organisasi dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi diatur dengan Peraturan Bersama Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial.
(14) Untuk mendukung pelaksanaan tugas
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk sekretariat yang berkedudukan di
Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.
8. Bab VII Ketentuan Peralihan ditambah 1
(satu) pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87A
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan
tugas sampai dengan terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
9. Bab VIII Ketentuan Penutup ditambah 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 87B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87B
(1) Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini mulai berlaku, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
diundangkan.
(3) Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pada tanggal 17 Oktober 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Pada tanggal 17 Oktober 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 167
Sumber : JPNN.COM
Senin, 14 Oktober 2013
KONSTITUSIONALITAS KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Runtuhnya Benteng Konstitusi kita akibat perilaku corrupt yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi harus kita jadikan momentum untuk mengevaluasi perjalanan Mahkamah Konstitusi 10 tahun terakhir. Jika kita kembali melihat
awal pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), sangat jelas bahwa yang menjadi
tugas utama MK adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di
atur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Mencermati kewenangan MK
dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU), berdasarkan amanat
Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa :
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada dalam BAB VIIB tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum soal pemilihan Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala
Daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang berbeda, yaitu BAB IV tentang
Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”.
Artinya konstitusi sendiri tidak
memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU.
Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu.
Itu sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala
Daerah dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan
kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada
kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.
Baru kemudian, setelah munculnya UU No.
22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU 22 Tahun 2007 sudah dinyatakan tidak berlaku
lagi), menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam Rezim Pemilu yang
terdapat pada pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi : “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dimasukannya Pilkada dalam rezim pemilu menjadi
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD
1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.
Implikasi dimasukannya Pilkada kedalam
rezim pemilihan umum oleh UU No. 22 Tahun 2007 adalah terjadinya pelimpahan
kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari MA cq PT ke MK.
Pengalihan kewenangan itu kemudian memaksa MK
berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian UU,
dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam UU
No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Awalnya MK Konstitusi hanya cukup
menangani sengketa pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun
sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap Penyelesaian Perselisihan
tentang Hasil Pemilihan Umum tersebut, saat ini fokus MK menjadi teralihkan oleh
penanganan penyelesaian sengketa Pilkada secara rutin terus menerus.
Selain itu permasalahan lainnya akibat
pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat
(upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat
ditempuh.
Banyaknya gugatan yang masuk, sempitnya
waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan mengikat
inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus
sengketa pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk
memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena
itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari
keadilan.
Posisi inilah yang mengakibatkan potensi
terjadinya tindakan Corupt dari hakim
Konstitusi semakin besar, di dukung dengan tidak adanya lembaga pengawas yang
mengawasi jalannya setiap persidangan perselisihan tentang hasil pemilihan umum
di MK. Akhirnya masyarakat yang kembali menjadi korban dibawah kepemimpinan
daerah dari produk putusan MK yang sudah terpengaruh dengan tindakan Corupt hakim konstitusi selama 5 (lima)
tahun. dan berpotensi menjadikan MK menjadi peradilan sesat.
Oleh karena itu perlu adanya kaji ulang mengenai
Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani penyelesaian
sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)
Selasa, 08 Oktober 2013
Konstitusi Tidak Melarang Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Konstitusi dan Putusannya
Kisruh yang
terjadi di Mahkamah Konstitusi salah satu nya disebabkan karena tidak adanya
pengawasan terhadap Hakim Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi baru
akan dibentuk ketika ada laporan dugaan penyimpangan kode etik serta perilaku
hakim konstitusi dan itupun dibentuk dan ditunjuk oleh Hakim Konstitusi itu
sendiri. Sehingga dengan kekusasaan yang begitu besar yang dimiliki, yaitu menjadi
penentu pertama dan terakhir dalam menguji UU Terhadap UUD 1945, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Kekuasaan yang besar tanpa pengawasan inilah yang menyebabkan Lembaga Penjaga Konstitusi itu akhirnya membuktikan sendiri istilah yang sering kita dengar “Power Tends to Corrupt” yang langsung di duga dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam oprasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK.
Pertanyaannya adalah apakah Konstitusi tidak menghendaki lembaga Komisi Yudisial dapat mengawasi Mahkamah Konstitusi? Dan apakah Konstitusi menghendaki kewenangan Komisi Yudisial hanya sebatas Kode Etik dan Perilaku Hakim?
Kekuasaan yang besar tanpa pengawasan inilah yang menyebabkan Lembaga Penjaga Konstitusi itu akhirnya membuktikan sendiri istilah yang sering kita dengar “Power Tends to Corrupt” yang langsung di duga dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam oprasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK.
Pertanyaannya adalah apakah Konstitusi tidak menghendaki lembaga Komisi Yudisial dapat mengawasi Mahkamah Konstitusi? Dan apakah Konstitusi menghendaki kewenangan Komisi Yudisial hanya sebatas Kode Etik dan Perilaku Hakim?
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dalam pasal ini secara tegas bahwa konstitusi mengamanatkan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakan Kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.
Kehormatan hakim itu tidak hanya pada perilaku tapi yang terutama pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur.
Artinya dalam menjaga, menegakan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, Komisi Yudisial seharusnya dimungkinkan untuk mengawasi setiap putusan hakim disetiap tingkat tanpa terkecuali Hakim Konstitusi. Karena Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 dikatakan bahwa : “Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Jadi sebenarnya Konstitusi memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial tidak hanya terbatas pada Kode etik dan Perilaku Hakim saja. Namun dimungkinkan juga diberikannya wewenang oleh UU untuk mengawasi putusan hakim peradilan dibawah Mahkamah Agung hingga Hakim Agung dan juga terhadap Hakim Konstitusi. Hanya saja turunan dari UUD 1945 lah yang mempersempit kewenangan Komisi Yudisial dikarenakan adanya Ego antar Lembaga Tinggi Negara serta Political Will para pembentuk UU yang menyebabkan Komisi Yudisial terpenjara pada pemahaman frasa kehormatan dan keluhuran martabat yang kemudian diartikan hanya untuk mengawasi kode etik dan perilaku hakim tanpa bisa menyentuh dan mengawasi setiap putusan Hakim Konstitusi. Oleh karena itu sudah selayaknya DPR bersama Presiden segera melakukan harmonisasi UU terkait dengan sistem pengawasan badan peradilan di Indonesia.
Kalaupun Presiden ingin mengeluarkan perppu, lebih tepatnya ditujukan pada dua hal :
Kedua : Memaksimalkan wewenang Komisi Yudisial, agar tidak hanya terbatas pada Kode Etik dan Perilaku Hakim namun juga pengawasan terhadap putusan yang bermasalah karena suap. Demi menjaga kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim dan Badan Peradilan di Indonesia. Sehingga cita-cita untuk dapat menegakan hukum dapat terwujud.
Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)
Langganan:
Postingan (Atom)