Pemilu 2014 sedikit lagi akan kita
hadapi, berbagai masalah terkait penyelenggaraan pemilu 2014 semakin muncul
kepermukaan, semua permasalahan itu akan berujung pada penyelesiaan yang akan
diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, atas amanat yang telah diberikan oleh
Konstitusi. Namun dibutuhkan kepercayaan besar dari masyarakat terhadap lembaga
tersebut, agar putusannya dihargai, dihormati dan dipatuhi
Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang
berada di ujung tanduk, krisis kepercayaan yang sudah sangat memuncak sedang
melanda Mahkamah Konstitusi. Mulai dari tahun 2010, percikan persoalan yang
menyangkut tentang penyelesaian pilkada sudah berlangsung, mulai dari
diungkapnya dugaan suap yang menyebabkan mundurnya Hakim Konstitusi Arsyad
Sanusi. Kemudian 2013 baru terbongkar Perilaku corrupt yang diduga dilakukan
oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang sempat mengguncang kewibawaan
dan merusak kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi rupanya
bukan menjadi peristiwa pertama dan terakhir bagi benteng terakhir Konstitusi
kita, peristiwa memalukan selanjutnya terjadi lagi, kamis 14 November 2013
dimana saat pengucapan putusan penyelesaian sengketa pilkada Maluku tengah
menjadi kacau karena sebagian pendukung dari pemohon yang merasa kecewa atas
putusan hakim konstitusi. Peristiwa ini jelas memalukan bukan hanya secara
Nasional namun menjadi tontonan dunia, bahwa benteng terakhir Penjaga
Konstitusi Indonesia sudah tidak mendapat kepercayaan oleh masyarakat.
Semua peristiwa memalukan yang
terjadi beberapa kali ini bisa dikatakan semuanya menyangkut perkara
penyelesaian sengketa pilkada. dan jika ini tetap dipertahankan kami kawatir MK
tidak akan sanggup menghadapi tugas yang paling besar dan menjadi amanat
konstitusi yaitu pemilu 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi akan kita hadapi.
Sebagaimana kita cermati bahwa
kewenangan MK secara Konstitusional yang diberikan oleh Konstitusi 24C ayat (1)
UUD 1945 adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Pemilihan umum yang dimaksud oleh
konstitusi adalah pemilu yang diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali, seperti
yang diatur dalam BAB VIIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E ayat (2) UUD 1945
dikatakan bahwa : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Daerah”. Bukan pemilihan kepala daerah, karena secara
konstitusional, pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah diatur secara
terpisah dalam BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada pasal 18 ayat (4)
yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Artinya konstitusi sendiri tidak
memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU.
Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu. Itu
sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala Daerah
dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan kepada
Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada
kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.
Pelimpahan kewenangan penyelesaian
sengketa pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi terjadi ketika
munculnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 236C yang mengatakan : “Penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Dasar dari pasal 236C tersebut
adalah mendasarkan pada terminologi yang diberikan oleh pasal 1 ayat (4) UU No.
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (yang sekarang sudah dirubah
menjadi UU No. 15 Tahun 2011 ttg Penyelengaraan Pemilu) yang mengatakan :
“Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Melalui pasal inilah kemudian
menjadi interpretasi bahwa Pilkada merupakan rezim pemilu, dan terjadi
perubahan penyebutan dari Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) menjadi Pemilihan
Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA). Padahal jika dikatakan harus berdasarkan
Pancasila, konsep kepemimpinan ala Pancasila yang ditegaskan dalam sila ke-4
mengatakan : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”. Artinya amanat dalam kepemimpinan lokal yang
diinginkan oleh Pancasila dan UUD 1945 adalah kepemimpinan yang dipilih secara
perwakilan dengan cara musyawarah dan tetap mengedepankan semangat demokratis.
Itulah mengapa UUD 1945 tidak memasukan Pilkada dalam BAB VIIIB tentang Pemilu.
Kemudian dasar kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam menangani penyelesaian sengketa Pilkada kembali diperkuat
dalam pasal 29 ayat 1 huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatakan : “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”. dan kemudian
dipertegas dalam penjelasannya mengatakan bahwa : “dalam ketentuan ini termasuk
kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Jadi secara konstitusional bahwa
penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam pasal 236C UU No.
12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU N0. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 22E ayat (2) dan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
Jika
mengacu pada atribusi kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 tidak dimungkinkan mendapatkan penambahan kewenangan lain selain
yang diberikan oleh konstitusi tidak seperti lembaga Mahkamah Agung yang
dimungkinkan adanya penambahan kewenangan pada pasal 24A ayat (1) dengan adanya
frasa “dan mempunyai wewenangan lainnya
yang diberikan oleh Undang-undang”.
Kemudian terlepas dari kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang digugat, kami juga melihat keberadaan norma Pasal 1
ayat (4) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2009
Tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menjadi sebab dimasukannya Pilkada menjadi
Rezim Pemilu adalah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dan
Pancasila Sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan” sebagai sumber norma yang ada dalam batang
tubuh UUD 1945, dan akan kami menggugat dengan mengajukan gugatan khusus pasal
1 ayat (4) tersebut, dalam waktu dekat.
Oleh karena itu kami meminta, Demi
dapat terciptanya Pemulihan Wibawa Mahkamah Konstitusi dan tetap terjaganya
Kehormatan para Hakim Konstitusi, serta untuk memulihkan kepercayaan masyarakat
kepada Mahkamah Konstitusi, kiranya Mahkamah Konstitusi mau legowo melepaskan
kewenangannya tersebut, jika Mahkamah Konstitusi tetap masih memaksakan
kewenangan ini, maka Mahkamah Konstitus telah melakukan pelanggaran konstitusi.
Forum Masyarakat Hukum Penegak Konstitusi
(FORMAKUMGASI)
Kordinator Tim : Victor Santoso Tandiasa, SH
Tim Humas : Ryan Muhammad, SH - 0817770894;
Kurniawan - 081291279141;
Achmad Saifudin Firdaus – 081314244955
Tidak ada komentar:
Posting Komentar