Walaupun Pemilu Legislatif masih beberapa bulan lagi, namun
saat ini kita sudah melihat banyak alat peraga kampanye bertebaran disetiap
sudut, tidak ada tempat yang saat ini bersih dari alat peraga kampanye yang
sudah merusak keindahan pemandangan serta mengotori lingkungan, baik di angkutan umum,
sarana-prasarana publik, jalan-jalan protkok, taman, dan tertancap di
pohon-pohon. Bahkan ada juga yang dapat kita lihat di Rumah Sakit atau lembaga
pendidikan seperti di tembok-tembok luar sekolah banyak stiker, pamflet para
caleg.
Tindakan ini sebenarnya merupakan
pelanggaran terhadap penyelenggaraan Pemilu yang sudah diatur dalam Peraturan
KPU No. 15 Tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Peraturan KPU No. 1 Tahun
2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD pasal 17 ayat (1) huruf a yang berbunyi : Kampanye Pemilu dalam bentuk
pemasangan alat peraga di tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
d, diatur sebagai berikut : a. alat peraga kampanye tidak ditempatkan pada
tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik
pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalanjalan protokol, jalan bebas hambatan,
sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.
Persoalannya Peraturan KPU tersebut
dinilai tidak efektif karena tidak memiliki sanksi yang memberikan efek jera
bagi para peserta pemilu baik caleg maupun parpolnya. Sanksi yang diterapkan
hanya sebatas adminstratif dan teguran bagi para caleg yang melanggar. Jika
msih dilanggar juga, sanksi yang diberikan kepada peserta pemilu yang melanggar
aturan alat peraga kampanye tersebut hanya sebatas pada pencopotan alat peraga kampanye.
Jika masih tidak mempan, maka KPU
menyerahkannya kepada masyarakat untuk menilai parpol atau caleg terkait, Kalau
ada caleg yang pasang diluar dari tempat yang sudah ditetapkan dalam peraturan
KPU itu hanya dicopot, hanya sebatas itu. Tidak ada sanksi berat hingga
mendiskualifikasi peserta pemilu tersebut. Padahal jelas tindakannya jika
dilihat dari substansi pelanggarannya,
Hambatan lainnya juga terkait ketiadaan
wewenang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menindak pelanggaran. Dalam hal
ini, katanya, panitia pengawas di daerah hanya merekomendasikan pemerintah
daerah untuk mencopot alat peraga apabila melanggar aturan.
Padahal jika kita melihat salah satu
contoh di wilayah DKI Jakarta misalnya, pemerintah daerah DKI Jakarta yang menerapkan
denda 500rb bagi perseorangan warga Jakarta maupun perusahaan yang membuang
sampah sembarangan dengan denda terbesar hingga Rp. 50 juta. Seharusnya hal tersebut bisa
diberlakukan bagi alat peraga kampanye yang dipasang di luar dari tempat dan jumlah alat peraga kampanye yang sudah ditetapkan oleh
KPU dapat dianggap sebagai sampah karena merusak Pemandangan dan Kebersihan Lingkungan, sehingga yang memasangnya dapat dikenakan
perda No. 3 Tahun 2013 Pengelolaan dan Pelarangan Sampah tersebut.
Kemudian Penyelenggara Pemilu beserta
Masyarakat dapat berkordinasi dengan aparatur PEMDA untuk memberikan sanksi
kepada peserta pemilu yang melakuakan pelanggaran pemasangan alat peraga
kampanye ditempat yang dilarang sesuai dalam Peraturan KPU No. 15 Tahun 2013,
karena telah merusak pemandangan dan mengotori lingkungan.
Persoalan lain terkait Peraturan KPU
tersebut juga tidak menjamin ongkos politik pada Pemilu 2014 menjadi murah.
Pasalnya, alat peraga yang diatur hanya pada pembatasan pemasangan baliho dan
spanduk, sedangkan stiker dan kalender tetap bebas disebar oleh caleg, sehingga
salah satu misi KPU untuk menciptakan pemilu yang murah dan berkualitas masih
sangat jauh dari harapan.
Oleh karena itu dengan masih dibukanya
peluang-peluang lain terkait alat peraga kampanye, para peserta pemilu
masih tetap membutuhkan dana yang besar karena biaya politik yang begitu
tinggi, sehingga akan berpengaruh munculnya wakil rakyat yang corrupt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar