Salah
satu
bentuk tuntutan reformasi adalah menciptakan sistem pemerintahan yang
demokratis, baik ditingkat pusat (Presiden) hingga daerah (Kepala
Daerah).
Bentuk perwujudan semangat demokratis kepemimpinan ditingkat daerah yang
diamanatkan dalam UUD 1945 (amandemen ke IV) adalah pemilihan kepala
daerah
secara langsung yang kemudian diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebelum tahun 2005, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
(DPRD). Namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
Pengaturan dalam
UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah terjadi perubahan kedua oleh UU No. 12
Tahun 2008 yaitu pada Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi :
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarka asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”
Kemudian penguatan
terhadap penyelenggaraan Pemilihan kepala Pilkada Langsung adalah dengan
masuknya Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah
diubah oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pada
pasal 1 angka 4 yang berbunyi :
“Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
sehingga secara resmi bernama Pemilihan
umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada
Namun ternyata dalam
penyelenggaraaannya ternyata tidak seperti yang harapkan, polemik terus terjadi
dalam proses penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah seakan tidak
memiliki akhir, Konflik Horizontal massa antar
pendukung, massa dengan Aparat kepolisian, Massa dengan KPUD,
Money Politic yang tidak terkontrol dan besarnya biaya politik (cost politic) yang mengakibatkan kepala
daerah terpilih menjadi corrupt, hingga alokasi anggaran
daerah yang cukup besar untuk penyelenggaraan Pilkada.
Sesungguhnya
jika kita mengacu pada Konstitusi sebagai Aturan Dasar Negara (Grundnorm)
aturan tentang Pilkada diatur pada BAB IV tentang Perintaah Daerah pasal 18
ayat (4) yang berbunyi:
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”.
Pemaknaan frasa
dipilih secara demokratis inilah yang kemudian dimaknai berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang kemudian menjadi dasar
masuknya pilkada kedalam rezim Pemilihan Umum yang diatur dalam UU Pemilu.
Sementara dalam
pengaturan tentang pemilihan Umum yang ada pada UUD NRI Tahun 1945, BAB VIIB
tentang Pemilihan Umum, pasal 22E ayat (1)
berbunyi :
“Pemilihan Umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima
tahun sekali”.
dan pada ayat (2) berbunyi :
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”,
dalam hal ini berdasarkan ayat (1) penyelenggaraan
pemilu yang dilaksanakan secara langsung umum bebas, rahasia, jujur dan adil
adalah dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan serentak (mengacu kepada Putusan MK No.14/PUU-XI/2013). Kemudian pada ayat
(2) tidak terdapat frasa untuk memilih Kepala Daerah.
Jika kita
melihat salah satu prinsip umum pembentukan peraturan perundang-undangan, atau
yang dikenal konsepsi tentang hierarki peraturan perundang-undangan, dimana
aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum
yang lebih tinggi tingkatannya.
Perlu diingat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). (Maria Farida
Indarti, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarta, 2007).
Hierarki
peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya UU No. 1 Tahun
1950 yaitu Peraturan tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Ferbruari 1950.
Oleh karena itu
perlu diingat bahwa, walaupun pasca amandemen Batang Tubuh dalam UUD NRI 1945
banyak mengalami perubahan namun Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan bagian
yang tidak bisa dipisahkan, tidak mengalami perubahan dan masih tetap
berdasarkan Pancasila. Jadi jika kita mengacu pada hierarki peraturan
perundang-undangan menjadi jelas bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari
segala sumber hukum yang kemudian di derivasikan menjadi Konstitusi Negara yang
tewujud dalam pasal-pasal dalam Batang Tubuh yang menjadi aturan dasar Negara
(grundnorm) dalam membentuk peraturan perundang-undangan dibawahnya.
Sehingga pemaknaan
terhadap frasa “dipilih secara demokratis” yang terdapat pada pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 seharusnya dimaknai “pemilihan yang demokratis” yang berdasarkan pada Pancasila,
seperti yang termaktub pada sila ke 4 (empat) yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”.
Menurut Palguna, secara sistematis, Pasal 22E UUD 1945 memulai pengaturan tentang pemilu
dengan terlebih dahulu memuat ketentuan umum tentang asas dan periodisasi
pemilu, sebagaimana diatur pada ayat (1)-nya yang mengatakan, “Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali.” Sementara itu, ayat (2)
dari Pasal 22E UUD 1945 itu menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Jadi, secara sistematis,
pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 itu adalah pemilihan umum untuk
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana dimaksud pada Pasal
22E ayat (2) UUD 1945. Jadi, tidak termasuk pemilihan kepala daerah.
(Keterangan tertulis I Dewa Gede Palguna, dalam perkara 97/PUU-XI/2013 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Menangani Sengketa Pilkada, Rabu, 05
Maret 2014, Mahkamah Konstitusi)
Selanjutnya Palguna mengatakan bahwa argumentasi yang memasukkan pemilihan kepada daerah ke dalam pengertian
pemilu juga tertolak karena alasan-alasan atau penalaran sebagai berikut:
1. pertama, secara struktural, pengaturan tentang
kepala daerah adalah bagian dari pengaturan tentang pemerintahan daerah
sehingga ia tunduk pada ketentuan tentang pemerintahan daerah dalam UUD 1945,
dalam hal ini Bab VI (yang mencakup Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B),
termasuk tata cara pemilihannya;
2. kedua, tentang tata cara pemilihan kepala daerah
(gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa kepala daerah
itu dipilih secara demokratis, yang artinya ia dapat dipilih secara langsung
ataupun secara tidak langsung;
3. ketiga, dengan demikian, kalaupun pemilihan kepala
daerah diterima sebagai bagian dari pemilu, quod non, penerimaan itu hanya
berlaku tatkala pemilihan dilakukan secara langsung. Sedangkan jika pemilihan
dilakukan melalui perwakilan, c.q. pemilihan melalui DPRD, yang menurut Pasal
18 ayat (4) UUD 1945 dibenarkan, bukanlah pemilu, sebab salah satu asas pemilu,
sebagaimana disebut dalam Pasal 22E ayat (1), yaitu asas langsung, tidak
terpenuhi, padahal seluruh asas yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
itu adalah bersifat kumulatif. Selanjutnya, untuk hal yang disebut terakhir,
karena bukan pemilu, jika terjadi sengketa dalam pemilihan kepada daerah
melalui DPRD itu maka yang berwenang memutusnya bukanlah Mahkamah Konstitusi;
4. keempat, berdasarkan alasan-alasan di atas maka
menjadi aneh jika pada suatu waktu pemilihan kepada daerah adalah pemilu, yaitu
tatkala dilaksanakan melalui pemilihan langsung (dan karena itu jika terjadi
sengketa diputus oleh Mahkamah Konstitusi) sedangkan pada lain waktu ia bukan
pemilu, yaitu manakala dilakukan tidak melalui pemilihan langsung melainkan
lewat perwakilan, c.q. DPRD (dan karena itu jika terjadi sengketa bukan
Mahkamah Konstitusi yang berwenang memutusnya). Padahal keduanya (baik pemilihan secara langsung maupun tidak langsung)
berpegang pada landasan konstitusional yang sama, yaitu Pasal 18 ayat (4) UUD
1945.
Argumentasi yang menyatakan bahwa Pilkada adalah bagian dari Rezim pemilu kemudian dipatahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menguji tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani sengketa Pilkada dengan dikabulkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan bahwa Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Artinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang lagi menangani sengketa Pilkada karena Pilkada bukan merupakan Rezim Pemilu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". Sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang menangani sengketa Pilkada oleh karena Pilkada bukanlah merupakan Rezim Pemilu.
Kiranya Penegakan Supremasi Konstitusi dapat terus diperjuangkan demi terciptanya NKRI yang berdasarkan pada Pancasila demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum FKHK
285544BA
Artinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang lagi menangani sengketa Pilkada karena Pilkada bukan merupakan Rezim Pemilu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". Sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang menangani sengketa Pilkada oleh karena Pilkada bukanlah merupakan Rezim Pemilu.
Kiranya Penegakan Supremasi Konstitusi dapat terus diperjuangkan demi terciptanya NKRI yang berdasarkan pada Pancasila demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum FKHK
285544BA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar