Kekuatan Hukum Putusan Hakim
Putusan
hakim yang lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru, yang sebelumnya
tidak ada. Dengan putusan hakim, subyek hokum baik orang atau badan hukum yang
sebelumnya tidak berhak menjadi memiliki hak demikian juga sebaliknya yang
tadinya ia memiliki hak menjadi tidak memiliki hak. Dari segi hokum tata Negara
putusan hakim atau vonis tergolong kedalam kelompok keputusan Negara. Keputusan
Negara dalam bentuk lain, adalah keputusan Negara yang bersifat mengatur
(regeling) seperti Peraturan Pemerintah, undang-undang dan peraturan lain,
serta keputusan Negara yang bersifat penetapan adminitrasi (beschikhing) seperti Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri dan keputusan lainnya.[1].
Ketiga jenis keputusan negara
tersebut apabila dipandang tidak benar atau merugikan warga Negara, dapat
dilakukan upaya perlawanan hukum melalui mekanisme pengajuan permohonan ke
pengadilan. Untuk keputusan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dapat diajukan melalui judicial rivieu
atau pengujian melui Mahkamah Agung apabila berupa peraturan perundang-undngan
di bawah undang-undang, dan pengujian ke Mahkamah Konstitusi apabila yang diuji
berupa undang-undang. Untuk keputusan Negara yang berupa penetapan administrasi
dapat diajukan perlawanan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan untuk
vonis hakim dilakukan melalui banding, kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi
kecuali terhadap vonis hakim yang telah mempunyai kekuatan final. Dalam hal ini
dikecualikan upaya hukum luar biasa atau peninjaun kembali (PK) atas putusan
yang telah final apabila ditemukan bukti baru di lingkungan peradilan umum.
Upaya hukum peninjauan kembali ini tidak berlaku bagi putusan Mahkamah
Konstitusi.
Terkait dengan putusan pengadilan
ini, pada tahun 1984 Mahkmah Agung telah mengeluarkan norma hukum baru yang
dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung No.3201/K/Pdt/1984 (selanjutnya ditulis
Putusan MA 3201/1984) yang intinya menyatakan bahwa eksekusi hak tanggungan
tidak dapat dilaksanakan dengan serta merta harus melalui Ketua Pengadilan
Negeri. Pertimbangan dalam putusan MA ini disebutkan bahwa agar tdak ada pihak
yang dirugikan atas eksekusi hak tanggungan tersebut.
Terlepas
dari pertimbangan hukum di atas, Putusan MA mengenai eksekusi hak tanggungan
ini sebenarnya hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang mengajukan
perkara tersebut ke pengadilan (Pasal 21 AB) Ini berbeda dengan peraturan
undang-undangan yang dengan sendirinya memiliki kekuatan hokum mengikat secara
umum sejak saat diundangkan. Jadi keputusan hakim tidak berlaku sebagai
peraturan umum. Oleh karena itu, apabila ada kasus lain mengenai eksekusi hak
tanggungan tidak selalu harus mengikuti Putusan MA tersebut. Ini sesuai dengan
doktrin system hokum civil law yang
juga diikuti di Indonesia.
Di
Indonesia, putusan pengadilan (baca: putusan hakim) tidak serta merta harus
diikuti oleh hakim lain yang memutus perkara yang sama dengan alasan putusan
hakim sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Doktrin yurispurdensi tidak
dikenal di Negara yang menganut aliran hokum civil law atau Eropa
continental seperti Negara Indonesia.
Dasar pembentukan norma hokum dalam system civil
law adalah pembentukan undang-undang, tidak ada hokum kalau tidak diatur
dalam undang-undang. Namun demikian tidak berarti hakim boleh menolak perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturan perundangan yang bersangkutan
tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap (Baca Pasal 22 AB). Putusan
yang dibuat oleh putusan hakim atas perkara yang norma hukumnya tidak ada, tidak jelas atau
tidak lengkap itu merupakan penemuan hokum (rechtsvinding).
Putusan hakim yang menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang kongkrit yang
dikenal dengan istilah rechtsvinding
ini tidak sama dengan pengertian yurisprudensi yang dikenal di Negara-negara
yang menganut system hokum common law.
Arti yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang kemudian dijadikan dasar
putusan hakim lainnya dalam mengadili perkara yang serupa dan seterunya akhrnya
menjadi sumber hokum pagi pengadilan. Bagi Negara penganut system hokum common law, putusan hakim dapat menjadi
yurisprudensi yang dipandang sebagai sumber hokum yang memiliki kedudukan yang
sama dengan undang-undang.
Berdasarkan
pandangan di atas maka Putusan MA tahun 1984 tentang eksekusi hak tanggungan
tersebut apabila dijadikan dasar putusan hakim belakangan, menurut system hokum
common law, akan menjadi
yurisprudensi sehingga akan memiliki kekuatan hokum yang mengikat. Persolannya
sekarang adalah bagaimana apabila diterapkan dalam Negara dengan system hokum civil law seperti Negara Indonseia,
apakah Putusan MA no 3201/1984 memiliki kekuatan hokum yang mengikat secara
umum layaknya sebuah undang-undang?. Uraian berikut akan mencoba menjawab
pertanyaan ini.
Putusan MA dan Undang Undang
Sepuluh tahun kemudian setelah
putusan MA no 3201/1984, pada tahun 1996 Negara Indonesia mengeluarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang
hak tanggungan ini di dalam beberapa pasalnya mengatur juga perihal eksekusi
hak tanggungan yang sebelumnya pernah
menjadi obyek Putusan Mahkamah Agung No. 3201 sebagaimana disebut di atas.
Dengan demikian dalam praktek hokum terdapat dua norma hokum yang dapat
dijadikan sebagau dasar hokum dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan
tersebut. Di satu sisi mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui
Ketua Pengadilan, di sisi lain pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dapat
dilaksanakan atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Ketua Pengadilan sebagaimana
disebut dalam Pasal 6 UUHT..
Pasal 6 UUHT secara jelas menyebutkan
bahwa:
“Apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut”.
Memperhatikan bunyi Pasal 6 di atas, dapat ditarik
beberapa unsur sebagai berikut:
- debitor cedera janji;
- hak menjual obyek hak tanggungan;
- penjualan obyek melalui pelelangan;
- hak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
Dengan demikian apabila unsur a
terbukti/terpenuhi, maka pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak
tanggungan asalkan dilakukan melalui pelelangan, dan juga pemegang hak
tanggungan berhak mengambil bagian dari hasil penjualannya itu untuk memenuhi membayar
pelunsanan hutangnya pihak pemberi hak tanggungan.
Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 tersebut maka dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
dicantumkan janji sebagaimana diperintahkan dalam 11 ayat (2) e yang berbunyi:
” Dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji
bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
Pemberian kewenangan untuk menjual sendiri
atas obyek hak tanggungan melalui pelelangan ini sesuai dengan tujuan
dikeluarkannya UUHT. Penjelasan umum UUHT angka 9 menyatakan, salah satu ciri
Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah
dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji.
Walaupun secara umum ketentuan tentang
eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu
untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang
ini, yaitu yang mengatur lembaga parate
executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene
Indonesisch Reglement) dan Pasal 258
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement
tot Regeling van het Rechtswezen in de
Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak
Tanggungan, yang berfungsi sebagai
surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain itu sertifikat hak tanggungan
tersebut dinyatakan sebagai pengganti
grosse acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek atas tanah
ditetapkan sebagai syarat dalam
melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglemen di atas. Agar ada kesatuan
pengertian dan kepastian mengenai penggunaan
ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam
Undang-Undang ini, bahwa selama belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi Hypotheek yang
diatur dalam kedua Reglemen tersebut,
berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 ayat (2) e
yang cukup jelas itu, menjadi kabur apabila dikaitkan d engan Pasal 11 ayat (2)
c yang berbunyi sebagai berikut:
”Dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji
yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila
debitor sungguh-sungguh cidera janji”.
Dalam Penjelasannya disebutkan, janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak
Tanggungan dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, janji tersebut haruslah disertai
persyaratan bahwa pelaksanaannya masih
memerlukan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum mengeluarkan penetapan tersebut Ketua Pengadilan Negeri perlu
memanggil dan mendengar pihak-pihak yang
berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan
serta debitor apabila pemberi Hak
Tanggungan bukan debitor
Sungguhpun keterlibatan Ketua Pengeadilan
Negari berdasarkan bunyi Pasal 11 ayat (2) c tersebut hanya sebatas pengaturan
“pengelolaan” obyek hak tanggungan oleh kriditor, kata “pengelolaan” ini dapat
dikembangkan penafsirannya sehingga termasuk pelaksanaan eksekusi hak
tanggungan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 6 UUHT. Penafsiran demikian
dapat dianggap mengada-ngada karena dalam Penjelasan Umum UUHT angka 10 sendiri
memberikan batasan “pengelolaan” yang mencakup hal-hal penetapan yang berkaitan
dengan permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan, dan pencoretan Hak Tanggungan. Tidak ada kata-kata “eksekusi
hak tanggungan”.
Berdasarkan pembahasan di atas dan dilihat
dari tujuan UUHT tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal 6 dan. Pasal 11 ayat
(2) huruf e sudah jelas memberi hak
kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak untuk menjual
atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan, dan dalam hal Pemberi hak
(debitur) cidera janji Pemegang hak hanggungan pertama dapat melakukan parate
eksekusi, yaitu menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui
pelelangan umum tanpa persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Sebagaimana disebutkan di atas, UUHT lahir
belakangan setelah Putusan MA tentang
eksekusi hak tanggungan, maka dapat diartikan bahwa praktek eksekusi hak
tanggungan yang selama itu mengacu kepada Putusan MA tesebut, setelah berlakunya
UUHT dapat mengikuti norma hukum yang diatur dalam Pasl 6 jo Pasal 11 ayat (2)
yang telah memberikan hak eksekusi sendiri atas obyek hak tanggungan sesuai
dengan yang telah dijanjikan dalam akte hak tanggungan. Apalagi Putusan MA itu
bukan norma hukum yang bersifat umum tetapi hanya mengikat kepada para pihak
yang bersangkutan, meskipun dari segi hukum tata negara keduanya sama-sama tergolong
ke dalam Keputusan Negara. Sebagai Keputusan Negara keduanya sama-sama mengikat
warga negara hanya berbeda dalam ruang lingkup keberlakuannya. Putusan Pengadilan
mengikat para pihak yang bersangkutan, sedangkan undang-undang mengikat secara
umum.
Kedua Keputusan negara itupun tidak berada
dalam posisi hirarkhi atau berjenjang sebagaimana norma hukum dalam peraturan
perundang-undang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ditinjau dari sisi norma
hukum, antara Putusan MA dan UUHT yang mengatur hak eksekusi hak tanggungan
tidak ada persoalan. Perosalan baru muncul ketika norma hukum tersebut
berhadapan dengan praktek. Lembaga Negara yang semestinya melaksanakan eksekusi
hak tanggungan berdasarkan Pasl 6 UUHT tidak mau melaksanakannya dengan alasan
terdapat Putusan MA aquo.
Penutup dan Solusi
Oleh karena persoalannya berada dalam
praktek, pada dataran penerapan hukumnya maka ketidkapastian hukum pelaksanaan
eksekusi hak tanggungan itu bukan terjadi karena akibat adanya UUHT itu
sendiri, melainkan karena ketidak-sediaan atau keengganan dari lembaga negara
yang diberi kewenangan mengatur pelelangan untuk melaksanakan tugasnya..
Oleh karena itu apabila ingin dilakukan
judicial rivieu, pengujian UUHT ke Mahkamah Konstitusi akan dianggap salah
alamat, karena UUHT itu sendiri sebenarnya tidak merugikan pihak kriditur
bahkan jutru memudahkan pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan eksekusi
apabila Pemberi hak tanggungan cidera janji. Salah satu syarat agar sebuah
undang-undang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi adalah apabila undang-undang
atau pasal-pasal atau ayat-ayat atau rumusan anak kalimat dalam undang-undang
itu merugikan warga negara.
Namun
demikian, apabila ketentuan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 6 UUHT
ditafsirkan oleh Pengadilan (setelah UUHT diundangkan) masih sama dengan bunyi Putusan
MA No 3201/1984 terdahulu, maka dalam ini bukan lagi mengenai penerapan hukum
malainkan sudah ada penafsiran baru terhadap Pasal 6 UUHT. Artinya pelaksanaan
eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan. Jika hal demikian
terjadi maka Pasal 6 UUHT yang telah ditafsirkan tersebut dapat diajukan
pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan akan diberikan tafsir yang
berderajat konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat ini akan didapat kepastian hukum
yang mengikat semua warga negara, dan lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung.
Jakarta, Selasa 20 Januari 2009
Disampaikan dalam Seminar
Nasional “QUO VADIS HAK EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN”, diselenggarakan oleh LPSH
HILC, di Hotel Sahid Jakarta, Selasa, 20 Januari 2009.
Penulis,
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH., MH
Komisioner Komisi Yudisial RI,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Penulis Buku Hukum
Konstitusi, Jakarta: Ghalia Indonesia Tahun 1994.
Email: tsyahuri@yahoo.com / Hp 081310515825
Tidak ada komentar:
Posting Komentar