Tanggal 26
September 2014 RUU Pilkada telah ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR dengan menetapkan pemilihan
kepala daerah melalui DPRD. Penetapan tersebut menuai penolakan dari Pihak yang
memilih Pilkada langsung, dengan langkah yang akan dilakukan untuk langsung menguji
materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun,
perlu diperhatikan dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh
FKHK, terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah
telah mengemukakan bahwa baik Pilkada Langsung maupun Pilkada melalui DPRD
adalah demokratis.
Putusan
No. 97/PUU-XI/2013, halaman 55-55-56
“[3.12.3]
Bahwa pada sisi lain, pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD
1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Menurut
Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original intent
maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik
pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat
adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah.
Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung
oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak
dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya
rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala
Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan
kondisi di setiap daerah yang bersangkutan. Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan
sistem pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala
Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem
perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara
langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika
perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh
rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan
juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap
keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang
berbeda-beda. Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan
tidak langsung oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap
dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan secara
langsung (demokrasi langsung) maupun sistem pemilihan secara tidak langsung
(demokrasi perwakilan) sama-sama masuk kategori sistem yang demokratis.
Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan kata
demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala daerah
diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan daerah adalah
tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
32/2004)mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah danpenyelesaian perselisihannya
diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah tidak menutup kemungkinan
pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri, tetapi pemilihan
kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E
UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD atau
model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan kewenangannya,
pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD
maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk
mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu membuktikan pula
bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana dimaksud
Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya walaupun pembentuk Undang-Undang
menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat,
tidak serta merta penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika demikian semakin memperoleh alasan
yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang dilakukan secara langsung oleh
rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai pemilihan umum yang penyelesaian atas
perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
Sehingga
jika RUU Pilkada yang sudah ditetapkan dalam Paripurna oleh DPR akan diajukan pengujian ke
Mahkamah konstitusi jika nanti sudah disahkan/ditanda-tangani oleh Presiden, dengan mengacu pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 maka kecil
kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan pemohon yang meminta
agar Pilkada melalui DPRD dinyatakan inkonstitusional jika mengacu pada
pendapat mahkamah konstitusi diatas.
Persoalannya
Materi muatan mekanisme penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam RUU Pilkada
melalui DPRD masih jauh dari mekanisme yang demokratis. Oleh karena itu kami
segera akan melakukan pengkajian dengan tindak lanjut melakukan pengujian
terhadap mekanisme penyelenggaraan Pilkada melalui DPRD ke Mahkamah Konstitusi. Sambil menunggu Presiden menandatanganinya.
Oleh :
Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK