Dalam membahas Pembantukan Peraturan Perundang-undangan kita
harus melihat juga sisi filosofis dan yuridis terutama
konstitusionalitasnya, jangan hanya dari sisi sosiologis nya saja.
Mengacu pada saat proses Amandemen UUD 1945, Pembentuk UUD 1945
merumuskan tentang pemilihan kepala daerah dengan frasa "dipilih secara
demokratis" pada amandemen kedua, dan pada saat amandemen ketiga ketika
MPR membahas tentang aturan penyelenggaraan Pemilu pada Pasal 22E ayat
(1) ditegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan secara Langsung Umum
bebas Rahasia. Sementara untuk rumusan pemilihan kepala daerah tidak
ada perubahan, tetap menggunakan frasa "Dipilih secara Demokratis",
begitu pun saat melakukan amandemen keempat pun tidak ada perubahan.
Jika pembuat UUD saat itu menginginkan Pilkada secara langsung seperti pemilu seharusnya saat amandemen ketiga dan keempat pasti ada perubahan frasa terhadap pemilihan kepala daerah dengan menggunakan asas Langsung Umum Bebas Rahasia. Artinya keinginan pembuat UUD saat itu memang menginginkan adanya pembedaan proses pemilihan antara pemilu (Eksekutif dan Legislatif) dengan Pilkada.
Memaknai Pemilihan secara demokratis dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4), dapat dimaknai bahwa pembentuk UUD menginginkan adanya proses Pilkada yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang ada dimasing-masing daerah, misalnya berdasarkan musyawarah masyarakat adat yogyakarta menginginkan pemilihan gubernur jogja itu secara penetapan untuk menjaga keistimewaan yogyakarta maka itulah konsep demokrasi yogyakarta, apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa proses pemerintahan yogyakarta bersifat monarki? tidak demokratis? ya tentu tidak. Begitupula sistem noken yang dilakukan dalam pilkada di Papua dan bali, walau itu dianggap melanggar prinsip Luber (One Man One Vote) namun memang itulah nilai yang hidup dimasyarakat papua dan bali.
Selanjutnya dalam menafsirkan frasa demokratis harus melihat hierarki norma sesuai aturan UU No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1), yang dalam jenjang norma peraturan perundang-undangan ada norma yang menjadi sumber dalam membuat norma dalam UUD 1945, yaitu Pancasila, sehingga jika kita akan menafsirkan frasa demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 harus mengacu pada konsep demokrasi yang sesuai dengan Pancasila.
Kemudian jika kita melihat rumusan Norma tentang Pemilihan Presiden yang diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa : "Presiden dan Wakil Presiden DIPILIH dalam satu pasangan SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT" (rumusan amandemen ketiga Tahun 2001). Sementara Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mengatakan bahwa : "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota DIPILIH SECARA DEMOKRATIS" (rumusan amandemen kedua Tahun 2000).
Jika MPR lembaga yang mengamandemen UUD 1945 saat itu menginginkan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, saat amandemen ketiga seharusnya sudah terjadi perubahan dari Pasal 18 ayat (4), bahkan saat amandemen keempat pun seharusnya frasa "dipilih secara demokratis" sudah dirubah oleh MPR, namun faktanya Pasal 18 ayat (4) tidak ada perubahan sejak dirumuskan dari amandemen kedua hingga amandemen ke empat.
Baru pada tahun 2002 setelah selesai amandemen ke-4, MPR berdasarkan Tap MPR No. 1 Tahun 2002 membentuk Komisi Konstitusi untuk mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 yang pada saat itu diketuai oleh Prof. Sri Soemantri, dan untuk hasil evaluasi dari Komisi Konstitusi untuk pasal 18 ayat (4) direkomendasikan untuk frasa "dipilih secara Demokratis" dirubah menjadi "dipilih secara Langsung Oleh rakyat". namun hasil evaluasi amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi ini tidak ditindak lanjuti oleh MPR saat itu.
Namun usulan saya dalam melakukan pemilihan secara perwakilan, jangan hanya terpaku pada sistem pemilihan kepala daerah secara perwakilan yang dilakukan pasca reformasi dari tahun 1999 s.d 2003 dimana calon kepala daerah diusung oleh Partai Politik. karena sistem Pilkada yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan aturan Pemilihan Presiden (Pasal 6A) yang secara tegas menyatakan bahwa calon presiden diusung oleh Partai Politik/Gabungan Partai Politik. seperi aturan pemilu legislatif (DPR, DPRD).
Dalam aturan Pilkada pasal 18 ayat (4) tidak menegaskan bahwa calon kepala daerah diusung oleh partai politik/gabungan partai politik, namun hanya mengatakan dipilih secara demokratis. Jika proses pemilihan dilakukan di DPRD (Perwakilan) saya tetap beranggapan bahwa kualitas demokrasi tetap dapat terwujud dengan merubah sistem pemilihan dengan cara :
1. DPRD membentuk Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah yang terdiri dari Tokoh Masyarakat yang berintegritas dan Akademisi, dll
2. Panitia Penyelenggara Pilkada membuat aturan teknis pendaftaran diantaranya (calon yang diusung harus mendapatkan rekomendasi dari ormas, atau tokoh masyarakat dan harus memiliki dukungan dari masyarakat seperti aturan yang diberikan kepada calon independen dalam pilkada yang selama ini berjalan, agar dapat mengontrol kuantitas calon kepala daerah yang mendaftarkan diri) sehingga calon yang diusung benar-benar dari rakyat bukan dari partai politik, Setelah itu panitia penyelenggara Pilkada akan melakukan Fit and Propertest kepada Calon Kepala Daerah untuk dapat melihat kualitas calon kepala daerah. Sehingga calon yang lolos verifikasi adalah calon kepala daerah yang berkualitas
3. Setelah panitia Penyelenggara Pilkada menverifikasi dan melakukan fit and propertest calon kepala daerah, maka diserahkan kepada DPRD untuk memusyawarahkan untuk memilih Kepala Daerah yang diserahkan oleh Panitia Penyelenggara Pilkada.
4. Untuk mengontrol terjadinya Money Politik dalam proses musyawarah dan pemilihan di DPRD, bisa melibatkan KPK dan aparat Penegak Hukum didalamnya.
Demikian sedikit penjelasan singkat dari saya terkait Pemilihan Kepala Daerah, Semoga Bermanfaat.
--------------------------------------
Penulis : Victor Santoso Tandiasa
Jika pembuat UUD saat itu menginginkan Pilkada secara langsung seperti pemilu seharusnya saat amandemen ketiga dan keempat pasti ada perubahan frasa terhadap pemilihan kepala daerah dengan menggunakan asas Langsung Umum Bebas Rahasia. Artinya keinginan pembuat UUD saat itu memang menginginkan adanya pembedaan proses pemilihan antara pemilu (Eksekutif dan Legislatif) dengan Pilkada.
Memaknai Pemilihan secara demokratis dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4), dapat dimaknai bahwa pembentuk UUD menginginkan adanya proses Pilkada yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang ada dimasing-masing daerah, misalnya berdasarkan musyawarah masyarakat adat yogyakarta menginginkan pemilihan gubernur jogja itu secara penetapan untuk menjaga keistimewaan yogyakarta maka itulah konsep demokrasi yogyakarta, apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa proses pemerintahan yogyakarta bersifat monarki? tidak demokratis? ya tentu tidak. Begitupula sistem noken yang dilakukan dalam pilkada di Papua dan bali, walau itu dianggap melanggar prinsip Luber (One Man One Vote) namun memang itulah nilai yang hidup dimasyarakat papua dan bali.
Selanjutnya dalam menafsirkan frasa demokratis harus melihat hierarki norma sesuai aturan UU No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1), yang dalam jenjang norma peraturan perundang-undangan ada norma yang menjadi sumber dalam membuat norma dalam UUD 1945, yaitu Pancasila, sehingga jika kita akan menafsirkan frasa demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 harus mengacu pada konsep demokrasi yang sesuai dengan Pancasila.
Kemudian jika kita melihat rumusan Norma tentang Pemilihan Presiden yang diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa : "Presiden dan Wakil Presiden DIPILIH dalam satu pasangan SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT" (rumusan amandemen ketiga Tahun 2001). Sementara Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mengatakan bahwa : "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota DIPILIH SECARA DEMOKRATIS" (rumusan amandemen kedua Tahun 2000).
Jika MPR lembaga yang mengamandemen UUD 1945 saat itu menginginkan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, saat amandemen ketiga seharusnya sudah terjadi perubahan dari Pasal 18 ayat (4), bahkan saat amandemen keempat pun seharusnya frasa "dipilih secara demokratis" sudah dirubah oleh MPR, namun faktanya Pasal 18 ayat (4) tidak ada perubahan sejak dirumuskan dari amandemen kedua hingga amandemen ke empat.
Baru pada tahun 2002 setelah selesai amandemen ke-4, MPR berdasarkan Tap MPR No. 1 Tahun 2002 membentuk Komisi Konstitusi untuk mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 yang pada saat itu diketuai oleh Prof. Sri Soemantri, dan untuk hasil evaluasi dari Komisi Konstitusi untuk pasal 18 ayat (4) direkomendasikan untuk frasa "dipilih secara Demokratis" dirubah menjadi "dipilih secara Langsung Oleh rakyat". namun hasil evaluasi amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi ini tidak ditindak lanjuti oleh MPR saat itu.
Namun usulan saya dalam melakukan pemilihan secara perwakilan, jangan hanya terpaku pada sistem pemilihan kepala daerah secara perwakilan yang dilakukan pasca reformasi dari tahun 1999 s.d 2003 dimana calon kepala daerah diusung oleh Partai Politik. karena sistem Pilkada yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan aturan Pemilihan Presiden (Pasal 6A) yang secara tegas menyatakan bahwa calon presiden diusung oleh Partai Politik/Gabungan Partai Politik. seperi aturan pemilu legislatif (DPR, DPRD).
Dalam aturan Pilkada pasal 18 ayat (4) tidak menegaskan bahwa calon kepala daerah diusung oleh partai politik/gabungan partai politik, namun hanya mengatakan dipilih secara demokratis. Jika proses pemilihan dilakukan di DPRD (Perwakilan) saya tetap beranggapan bahwa kualitas demokrasi tetap dapat terwujud dengan merubah sistem pemilihan dengan cara :
1. DPRD membentuk Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah yang terdiri dari Tokoh Masyarakat yang berintegritas dan Akademisi, dll
2. Panitia Penyelenggara Pilkada membuat aturan teknis pendaftaran diantaranya (calon yang diusung harus mendapatkan rekomendasi dari ormas, atau tokoh masyarakat dan harus memiliki dukungan dari masyarakat seperti aturan yang diberikan kepada calon independen dalam pilkada yang selama ini berjalan, agar dapat mengontrol kuantitas calon kepala daerah yang mendaftarkan diri) sehingga calon yang diusung benar-benar dari rakyat bukan dari partai politik, Setelah itu panitia penyelenggara Pilkada akan melakukan Fit and Propertest kepada Calon Kepala Daerah untuk dapat melihat kualitas calon kepala daerah. Sehingga calon yang lolos verifikasi adalah calon kepala daerah yang berkualitas
3. Setelah panitia Penyelenggara Pilkada menverifikasi dan melakukan fit and propertest calon kepala daerah, maka diserahkan kepada DPRD untuk memusyawarahkan untuk memilih Kepala Daerah yang diserahkan oleh Panitia Penyelenggara Pilkada.
4. Untuk mengontrol terjadinya Money Politik dalam proses musyawarah dan pemilihan di DPRD, bisa melibatkan KPK dan aparat Penegak Hukum didalamnya.
Demikian sedikit penjelasan singkat dari saya terkait Pemilihan Kepala Daerah, Semoga Bermanfaat.
--------------------------------------
Penulis : Victor Santoso Tandiasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar