Putusan
Mahkamah Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, menetapkan tiga
syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat
(1) UUD 1945 yaitu:
1.
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi
tidak memadai;
3.
kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
Dengan
demikian, meskipun kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan Presiden untuk
menafsirkannya, yang artinya diserahkan pada subjektifitas Presiden, namun
subjektifitas itu harus ada dasar objektifitasnya, dan pembatasan tersebut
disyaratkan oleh konstitusi. Pembentukan PERPU tidak boleh disalahgunakan,
mengingat sebenarnya materi PERPU adalah materi Undang-Undang yang tidak dapat
diputuskan sendiri oleh Presiden tanpa persetujuan DPR. Ketiga syarat
konstitusionalitas sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai indikasi
kegentingan yang memaksa, atau dengan kata lain, karena adanya keadaan tertentu
yang harus diatasi segera supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum. Hal
tersebut dilakukan dengan pembentukan hukum, dalam hal ini PERPU;
PERPU
harus mempunyai akibat prompt immediatelyyaitu “sontak segera” untuk memecahkan permasalahan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar