Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pilkada bukan termasuk Rezim Pemilu
oleh karenanya bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menanganinya,
kemudian dipandang memiliki implikasi terhadap Konstitusionalitas kewenangan
Komisi Pemilihan Umum bersama KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dalam
menyelenggarakan Pilkada.
Pengaturan tentang Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dalam Konstitusi terdapat pada Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi :
“Pemilihan Umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah”
Selanjutnya pada ayat (5) dikatakan
bahwa :
“Pemilihan Umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri”.
Jika kita melihat pada Pasal 22E ayat
(5) dan dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) dapat dikatakan bahwa
KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri, dibentuk untuk menyelenggarakan
Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan
wakil Presiden, dan DPRD.
Terkait dengan sifat KPU yang Nasional,
tetap dan mandiri, diatur pada UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 15 tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan
umum yang permanen.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 15 Tahun
2011 dikatakan bahwa “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat
hierarkis.” Dan pada ayat (2) dikatakan bahwa “KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tetap”.
Maka jika kita mengacu pada aturan dalam
Konstitusi dan UU tentang Pemilihan Umum dapat disimpulkan bahwa Keberadaan
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten Kota adalah merupakan organ Pemilu yang
bersifat hirarkis, nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan Pemilu.
Kesimpulan diatas sejalan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 telah menyatakan bahwa
pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi
dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga berdasarkan
putusan ini menjadikan istilah KPUD tidak lagi digunakan dan diganti dengan KPU
Provinsi, KPU Kabupaten dan Kota, dan menjadikan posisi KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota murni sebagai organ Pemilu yang Nasional, Mandiri dan Tetap.
Tercabutnya legal standing KPU dalam
menyelenggarakan Pilkada semakin diperkuat dengan disahkannya UU No. 22 Tahun
2014 tentang Pilkada Perwakilan pada tanggal 26 september 2014. Pada Pasal 70
dikatakan :
“Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan mengenai tugas, wewenang dan
kewajiban penyelenggara pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.”
Dengan dicabutnya semua ketentuan
pengaturan tentang penyelenggaraan pilkada dari UU No. 15 Tahun 2011 tentang
pemilu, semakin menegaskan legal standing KPU hanya untuk menyelenggarakan
Pemilihan Umum yang hanya untuk menyelenggarakan pemilihan DPR, DPD, Presiden
danWakil Presiden serta DPRD.
Walaupun kemudian UU No. 22 Tahun 2014
ini dicabut oleh Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada langsung, tidak
berarti apa yang telah dicabut oleh Pasal 70 UU No. 22 Tahun 2014 hidup
kembali, karena dalam Lampiran kedua UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan dikatakan bahwa :
“Peraturan
Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku,
meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut
pula.”
Berdasarkan penjelasan diatas, diperkuat
dengan Putusan 97/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pilkada
bukan merupakan bagian “Rezim” Pemilihan Umum, maka oleh karenanya
penyelenggaraan Pilkada yang masih menggunakan KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota
(Organ Pemilu) dalam menyelenggarakannya adalah bertentangan dengan Konstitusi.
Berbeda dengan kewenangan Mahkamah Agung
yang diatur dalam Konstitusi, Pasal 24A ayat (1) dikatakan bahwa :
“Mahkamah Agung
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh Undang-Undang”
Dalam hal ini secara tegas konstitusi
memberikan kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk dapat memberikan
wewenang lainnya kepada Mahkamah Agung. Berbeda dengan pengaturan kewenangan
terhadap Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum.
Sementara dalam rumusan Pasal 22E ayat
(6) UUD 1945 menyatakan bahwa :
“Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang”
Artinya ketentuan yang dimaksud dalam
konstitusi adalah hal-hal yang menyangkut tentang pemilihan umum bukan Pilkada.
Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014, Paragraf [3.20] alinea
kedua mahkamah menyatakan :
“Selain
itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut hubungan antar
lembaga Negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, Mahkamah
harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara
jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah
terpaksa harus menerapkan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah
lembaga Negara maka Mahkmah harus menerapkan penafsiran original intent,
tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa
yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang
kewenangan lembaga Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945. Apabila Mahkamah tidak
membatasi dirinyadengan penafsiran rigid tetapi melakukan penafsiran yang
sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur lembaga Negara dalam UUD 1945,
sama artinya Mahkamah telah membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil
peran pembentuk UUD 1945 dan akan menjadi sangat rawan terjadi penyalahgunaan
kekuasaan manakala Presiden didukung oleh kekuatan mayoritas DPR, atau bahkan
Mahkamah sendiri yang mengambil alih fungsi Pembentuk UUD 1945 untuk mengubah
UUD 1945 melalui putusan-putusannya”
Dasar pertimbangan ini pula yang membuat
Mahkamah dalam memutus Perkara No.97/PUU-XI/2013 dengan mengabulkan seluruhnya
permohonan para pemohon.
Dalam hal kewenangan KPU dalam menyelenggarakan
Pilkada telah melangggar prinsip dari apa yang telah dimaksud dalam Putusan MK
No. 1-2/PUU-XII/2014, karena konstitusi telah mengatur secara limitatif bahwa
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota hanya untuk menyelenggarakan Pemilu
untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Artinya jika Perppu Pilkada nanti
disetujui oleh DPR tetap akan menimbulkan persoalan dalam penyelenggaraannya,
dimana KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota telah kehilangan legal standing
dalam menyelenggarakan Pilkada, dan bersifat mutatis mutandis kepada kewenangan
BAWASLU dan DKPP. Karena KPU, BAWASLU, DKPP adalah lembaga penyelenggara Pemilu
bukan Pilkada.
-------------------------------
Oleh : Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar