Seperti
yang kita ketahui bahwa lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan
institusi penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam pemberantasan
korupsi, sehingga sangatlah penting bagi
KPK untuk tetap terjaga independensinya agar dapat memaksimalkan KPK dalam melakukan
tugasnya memberantas korupsi.
Banyak
pakar yang beranggapan bahwa proses pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK
seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK,
dianggap sebagai upaya untuk tetap menjaga integritas para pimpinan KPK. Namun
menurut kami itu merupakan proses intervensi kekuasaan dari kekuatan politik
yang dapat memperlemah para pimpinan KPK yang sedang mengemban tugasnya.
Integritas
pimpinan KPK memang harus dijun-jung tinggi, bahkan masyarakat berharap agar
pimpinan KPK adalah benar-benar orang yang bersih, tidak bermasalah. Namun yang
perlu dipertanyakan adalah, bagaimana ingin memilih orang-orang yang bersih
jika mekanisme pemilihannya melibatkan
lembaga yang sering melakukan politik “dagang sapi”. Seharusnya DPR cukup menyetujui apa yang
sudah diajukan oleh Panitia Seleksi dimana Panitia Seleksi dipilih dari lingkup
Pendidikan yang berintegritas tinggi.
Persoalan
Integritas pimpinan KPK sebenarnya harus datang dari dalam diri para pimpinan
KPK tersebut, artinya jika memang yang bersangkutan merasa melakukan kesalahan
maka ia harus mengundurkan diri. Hal ini sejalan dengan konsep REVOLUSI MENTAL
yang selalu di dengung-dengungkan Pemerintah saat ini. Dan terkait pengaturan
pengunduran diri pimpinan KPK yang bermasalah dapat diatur dalam peraturan
internal KPK dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan tersebut.
Karena
berdasarkan pada Pasal 32 ayat (2) UU KPK, dikatakan bahwa : “Dalam hal
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”, dimana dalam ayat (3) yang
memberhentikan adalah Presiden. Jika kita mengacu pada pasal tersebut maka
proses intervensi atau bahkan pelemahan terhadap KPK dapat dengan mudah
dilakukan, karena cukup dengan menetapkannya sebagai tersangka maka Presiden
sudah dapat memberhentikan sementara pimpinan KPK tersebut. Padahal berdasarkan
asas Praduga tak bersalah, seorang yang berstatus tersangka masih harus
dianggap benar/belum bersalah sampai ada penetapan dari pengadilan bahwa ia
terbukti bersalah.
Persoalannya
adalah dalam KUHP sangat mudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, cukup
dengan dua alat bukti yang cukup dimana dua alat bukti tersebut diantaranya
adalah laporan pengaduan dan 1 alat bukti yang sah, sehingga sangat mudah
mentersangkakan seseorang. Kemudian setelah menjadi tersangka, dalam KUHAP
tidaka ada batas waktu seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sehingga dapat
memungkinkan proses penetapan tersangka itu sebagai upaya penyanderaan seperti
yang terjadi saat ini, setelah ditetapkan sebagai tersangka, kemudian pihak
kepolisian mengambil tindakan untuk melakukan penundaan perkara terhadap para
pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dimana statusnya tetap
sebagai tersangka sehingga harus tetap non aktif dalam posisinya sebagai
pimpinan KPK.
Oleh
karena itu demi terciptanya pemberantasan korupsi yang efektif maka kami
mengajukan pengujian terhadap pasal 32 ayat (2) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi,
kirannya Mahkamah Konstitusi dapat memahami esensi dari status tersangka
mengacu pada asas praduga tak bersalah, dan juga asas persamaan dimuka hukum
dimana jika kita melihat pimpinan lembaga Negara lainnya tidak diatur tentang
pemberhentian sementara terhadap para pimpinan lembaga Negara lainnya yang
ditetapkan sebagai tersangka.
Kamis, 26 Maret 2015
Ketua Umum FKHK
Victor Santoso Tandiasa, SH., MH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar