Jumat, 30 Mei 2014

FKHK akan Menguji Formil KUH Perdata ke Mahkamah Konstitusi



Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam ketentuan umum pasal 1 angka 3, mengatakan bahwa undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, yang dimana undang-undang tersebut harus melalui Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut PROLEGNAS adalah instrument perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis.

Selanjutnya dalam pasal 1 angka 12 pegundangan adalah penempatan peraturan peraturan perundang-undangan dalam lembaran negara Republik Indonesia, tambahan lembaran negara Republik Indonesia, berita negara Republik Indonesia, tambahan berita negara Republik Indonesia, lembaran daerah, tambahan lembaran daerah, atau berita daerah.

Kemudian pada pasal 5, disebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang baik, yang meliputi :
a.  Kelejasan tujuan ;
b.  Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat ;
c.  Kesesuaian antara jenis hirearki, dan materi muatan ;
d.  Dapat dilaksanakan ;
e.  Kedayagunaan dan kehasilgunaan ;
f.  Kejelasan rumusan ; dan
g.  Keterbukaan.

Terakhir pasal 6 ayat (1), mengatur tentang Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas :
a.  Pengayoman ;
b.  Kemanusiaan ;
c.  kebangsaan ;
d.  Kekeluargaan ;
e.  Kenusantaraan ;
f.  Bhineka tunggal ika ;
g.  Keadilan ;
h.  Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah ;
i.   Ketertiban dan kepastian hukum ; dan/atau
j.   Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.


Menurut Bagir Manan, ada 3 dasar dalam suatu peraturan perundang-undangan, antara lain :
a. Dasar yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, harus ada keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap perturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang kalau tidak, peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum (van rechtswegenietig).
b. Dasar sosiologi (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
c. Dasar filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum. (Bagir Manan, peranan peraturan perundang-undangan dalam pembinaan hukum nasional, armico, Bandung, 1987, hal. 13)

Selanjutnya menurut Maria Farida menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila. (Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu perundang-undangan : dasar-dasar dan pembentukannya, Yogyakarta ; kanisius, 2007, hal. 197)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan produk peraturan perundang-undangan warisan masa penjajahan Belanda. Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kodifikasi hukum perdata Belanda yang isi dan bentuknya sebagaian besar serupa dengan Code Civil Prancis (kodifikasi hukum perdata Prancis) (Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia”, hlm. 5).

Karena pada saat itu Indonesia dibawah jajahan Belanda, maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini diusahakan kerajaan Belanda agar dapat diberlakukan pula di Hindia Belanda (Indonesia) pada waktu itu. Abdulkadir menjelaskan KUHPer untuk Hindia Belanda (Indonesia) disahkan sebagai undang-undang oleh Raja Belanda pada tanggal 16 Mei 1846, melalui Staatsblad 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdara adalah Undang-Undang sampai saat ini dan masih berlaku di Indonesia, selama belum digantikan oleh undang-undang baru. Hal tersebut juga dijelaskan Abdulkadir (hlm. 6).

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa KUHPer merupakan suatu undang-undang yang dikitabkan (dikodifikasikan) sehingga disebut sebagai suatu kitab undang-undang, dan sampai saat ini KUHPer tersebut masih berlaku di Indonesia.

Pada perkembangannya BW yang ada saat ini sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata isi dan materinya tidak utuh seperti pada saat di kodifikasi, ada beberapa bagian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang sudah tidak berlaku lagi hal itu dikarenakan ada suatu peraturan perundang-undangan yang baru dan putusan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi yang menggantikannya karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang sudah sangat jauh berubah dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada saat Burgelijk Wetboek yg kini menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdara dikodifikasikan.

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku dan menjadi UU yang berlaku di seluruh wilayah NKRI berdasarkan Ketentuan Peralihan pasal 1 UUD 1945. Dan hingga saat ini tidak adanya inisiatif dan keinginan dari Pemerintah maupun DPR sebagai Lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang yang baru menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang membuat Kitab Undang-undang Hukum Perdata masih ada hingga saat ini, padahal aturan-aturan tersebut merupakan suatu produk hukum  jaman kolonial Belanda yang sudah tidak relevan untuk diberlakukan pada saat ini tidak bersumber pada Pancasila, UUD NRI 1945, maupun dalam UU yang mengatur tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Oleh Karena itu kami dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) beserta para akademisi dari beberapa wilayah dan Mahasiswa Hukum yang peduli terhadap penegakan supremasi konstitusi berencana akan mengajukan Uji Formil terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang akan dimasukan pada hari Kamis, 5 Juni 2014 ke Mahkamah Konstitusi.

Kamis, 08 Mei 2014

Penerapan Aturan Presidential Thrashold "Inkonstitusional"



Pengaturan mengenai ambang batas Partai politik mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Thrashold) dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 adalah menggunakan dasar hukum Pasal 9, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi :

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Jika kita mengacu pada UUD 1945, pasal 6A ayat (2) berbunyi :

Pasangan calon presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum

Sementara pengertian Pemilihan Umum dalam UUD 1945, pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :

“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

ayat (2) berbunyi :

“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah”.

Artinya, jika mengacu para Konstitusi Republik Indonesia, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pasal 6A ayat (2) dapat diusulkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum, dimana pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional berdasarkan pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) adalah diselenggarakan lima tahun sekali, yang kemudian ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Pelaksanaannya pemilu diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.

Oleh karena pelaksanaan Pemilihan Umum diselenggarakan secara serentak, baik Legislatif maupun Eksekutif, maka otomatis seharusnya penerapan pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 sudah tidak relevan lagi diterapkan, sehingga seharusnya MK pun membatalkan Pengujian Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres walaupun pemberlakuannya akan diberlakukan mulai tahun 2019 dan untuk seterusnya agar selaras dengan putusan MK tentang pemilu Serentak.

Terlepas dari perdebatan penundaan pemberlakuan putusan MK tentang Pemilu Serentak ditahun 2019, secara Konstitusional MK telah memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah diselengarakan secara serentak, artinya saat ini kita memaklumi dan bertahan tetap menyelenggarakan pemilu (Legislatif dan Eksekutif) yang tidak serentak, walaupun itu adalah proses yang Inkonstitusional.

Terkait dengan pendapat mahkamah yang menyatakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah secara serentak dengan mendasarkan pada pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, artinya penerapan pasal mengenai Presidential Thrashold yang diatur pada pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang pilpres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena konstitusi mengamanatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusilkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu.


Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum FKHK

Kamis, 20 Maret 2014

Kepala Daerah Maju Capres Tidak Perlu Mengundurkan Diri, Benarkah..???


Polemik majunya Kepala Daerah menjadi Calon Presiden / Calon Wakil Presiden telah menjadi pembahasan hangat disemua kalangan, baik ditingkat elite maupun ditingkat masyarakat. Perdebatan lebih banyak melihat dari sisi Etika Politik maupun secara sosiologis. Namun bagaimanakah pandangan dari sisi Yuridis?

Jika kita melihat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA yang dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden  harus mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara dalam Pasal 7 mengatakan bahwa Kepala Daerah yang dicalonkan Partai Politik tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, namun meminta untuk di nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti), yang pengaturannya diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009.

Namun pada pasal 1 angka 4 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA adalah Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan PEJABAT NEGARA yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Kemudian dalam Pasal 11 kembali dipertegas tentang klasifikasi PEJABAT NEGARA terdiri atas :
a.  Presiden dan Wakil Presiden;
b.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;
d.  Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
g.  Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h.  Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.   Gubernur dan Wakil Gubernur;
j.    Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k.  Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang

Jadi bisa dikatakan bahwa ada norma yang saling berbenturan antara norma yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dengan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian karena telah memisahkan Kepala Daerah dari bagian PEJABAT NEGARA.

Namun semenjak munculnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti dari UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dalam pengaturannya, tidak lagi memasukan definisi PEJABAT NEGARA dalam Ketentuan Umumya dan juga menghapus klasifikasi PEJABAT NEGARA, sehingga memperkuat aturan dalam Pasal 7 yang memisahkan Kepala Daerah dengan Pejabat Negara, sehingga inlah yang menjadi dasar hukum para Kepala Daerah yang mencalonkan diri menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak perlu mundur dari Jabatannya dan cukup meminta Ijin kepada Presiden untuk mendapatkan ijin Non aktif Sementara (Cuti) dengan dasar Keputusan Presiden (Keppres).

Jika dilihat dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini tidak Konsisten karena dalam konsideran menimbang huruf d, dikatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional tantangan global sehingga perlu diganti.

Namun pada Ketentuan Penutup, pasal 139 mengatakan bahwa, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No,or 3041) sebagaimana diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.  
               
Jadi secara yuridis, sudah tidak ada lagi aturan yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya, hanya yang dapat dipersoalkan selanjutnya adalah apakah Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan oleh Presiden dalam memberikan izin cuti kepada Kepala Daerah sudah sesuai dengan Asas-asas atau Kepatutan yang ada dengan mengujinya ke PTUN. Atau menguji Norma pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden ke Mahkamah Konstitusi jika dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

                                                                                    Salam Hormat,
                                                                               Ketua Umum FKHK

                                                                            Victor Santoso Tandiasa