Minggu, 28 September 2014

RENCANA PENGUJIAN UU PILKADA VIA DPRD KE MAHKAMAH KONSTITUSI HARUS MENGACU PADA PUTUSAN 97/PUU-XI/2013



Tanggal 26 September 2014 RUU Pilkada telah ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR dengan menetapkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Penetapan tersebut menuai penolakan dari Pihak yang memilih Pilkada langsung, dengan langkah yang akan dilakukan untuk langsung menguji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, perlu diperhatikan dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh FKHK, terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah telah mengemukakan bahwa baik Pilkada Langsung maupun Pilkada melalui DPRD adalah demokratis.

Putusan No. 97/PUU-XI/2013, halaman 55-55-56
“[3.12.3] Bahwa pada sisi lain, pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan. Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) maupun sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama masuk kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan daerah adalah tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004)mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah danpenyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah tidak menutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri, tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD atau model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan kewenangannya, pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai pemilihan umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”

Sehingga jika RUU Pilkada yang sudah ditetapkan dalam Paripurna oleh DPR akan diajukan pengujian ke Mahkamah konstitusi jika nanti sudah disahkan/ditanda-tangani oleh Presiden, dengan mengacu pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 maka kecil kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan pemohon yang meminta agar Pilkada melalui DPRD dinyatakan inkonstitusional jika mengacu pada pendapat mahkamah konstitusi diatas.

Persoalannya Materi muatan mekanisme penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam RUU Pilkada melalui DPRD masih jauh dari mekanisme yang demokratis. Oleh karena itu kami segera akan melakukan pengkajian dengan tindak lanjut melakukan pengujian terhadap mekanisme penyelenggaraan Pilkada melalui DPRD ke Mahkamah Konstitusi. Sambil menunggu Presiden menandatanganinya.

Oleh :
Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK

Minggu, 14 September 2014

IMPLEMENTASI DEMOKRASI PANCASILA DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA



Dibawah ini adalah keterangan ahli tentang "DEMOKRASI PANCASILA" dan bagaimana implementasinya dalam peraturan perundang-undangan, yang disampaikan oleh Muhammad Muktasar Syamsudin, Ph.D selaku Pakar Filsafat Universitas Gadjah Mada, pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Perkara No. 97/PUU-XI/2013 tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah :

Bahwa hampir semua ahli filsafat, bahkan ahli politik mengatakan Negara adalah bentukan dari kesepakatan bersama rakyat untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita bersama, yaitu kalau kita dasarkan pada Pancasila, masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Maka negara hukum yang kita dirikan atau yang kita sedang tempati sekarang ini adalah negara hukum yang dibangun dan dikelola atas dasar Pancasila. Dengan demikian maka negara Indonesia yang kemudian dinyatakan secara konstitusional di dalam Pasal 1 ayat (3) yang ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum adalah negara yang dibangun atas 5 dasar atau 5 prinsip yang sesuai dengan Pancasila. Mulai dari nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, maka Negara hukum Indonesia adalah negara yang mengakui ketuhanan dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai kemanusian, menjaga persatuan, dan menjalankan kehidupan bernegara berdasarkan demokrasi untuk mewujudkan keadilan sosial sebagai nilai kelima atau prinsip kelima dari Pancasila itu
Dalam pandangan ini, bahwa ada kecenderungan di dalam praktik kehidupan bernegara sekarang ini menjadikan dekorasi sebagai tujuan kehidupan bernegara. Padahal sesungguhnya yang menjadi tujuan kita dalam hidup bernegara adalah membangun atau menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, yang adil berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu kalau kita menggunakan teori-teori filsafat politik, maka hidup bernegara kita sekarang ini terlihat sedang mempraktikan perannya sebagai Negara yang pasif di dalam membawa aspirasi rakyat yang berdaulat di negeri ini. Oleh karena itu sesungguhnya kita tidak hanya berhenti pada demokrasi, demokrasi bukan sebagai tujuan, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan negara yang hakiki, yaitu menciptakan masyarakat adil, yang sejahtera, yang dikenal di dalam teori politik, yaitu masyarakat yang welfare state, masyarakat yang hidup di dalam negara sejahtera. Nampaknya dalam praktik perundang-undangan yang seharusnya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan welfare state ini masih sangat jauh dalam kehidupan bernegara kita sekarang karena nampak kecenderungan berhenti pada bagaimana mewujudkan demokrasi dan demokrasi itu sendiri sayang sekali tidak mencerminkan semangat atau prinsip Pancasila.
Demokrasi Pancasila tentu saja bukan demokrasi yang kita adopsi dari luar negeri, atau dari bangsa lain. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia sendiri, yaitu nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan yang kita lebih kenal dengan nilai musyawarah, dan selanjutnya nilai keadilan sosial. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bertumpu pada hakikat manusia yang bersifat mono-pluraris, yaitu manusia yang tidak hanya bersifat individual, tetapi manusia yang bersifat sosial. Dari segi ini, maka demokrasi Pancasila berbeda dengan demokrasi liberal yang menekankan aspek individualitas. Bukan juga bahwa demokrasi Pancasila yang tidak sama dengan demokrasi individual itu sehingga menjauhi atau tidak melindungi hak-hak privat, tetapi demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menjaga keseimbangan antara hakikat manusia sebagai individu dan hakikat manusia sebagai masyarakat. Pada sisi lain, dalam pengertian manusia sebagai mono-pluraris itu manusia Indonesia adalah manusia yang bertuhan, tetapi sekaligus adalah makhluk yang mandiri sehingga di dalam upaya untuk mencapai cita-cita tujuan kita bernegara yang kita sebut tadi masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang lahir, yang sejahtera, tetapi batinnya juga sejahtera.
Demikian pula pada sisi yang ketiga, manusia itu terdiri atas jiwa tetapi juga dilengkapi dengan raga. Kedua hal yang sangat berbeda ini di dalam Pancasila menjadi dua hal yang seimbang, tidak mengutamakan aspek jasmaniah semata, dan juga tidak mengutamakan aspek spiritual saja, tetapi aspek jasmaniah dan rohaniah menjadi seimbang di dalam Pancasila. Oleh karena itu, maka demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dibangun atas dasar hakikat manusia yang serba plural itu yang tidak monolitik hanya individual, tapi juga sosial, tidak hanya makhluk Tuhan, tapi juga makhluk yang mandiri, tidak hanya makhluk yang jasmaniah, tapi juga rohaniah. Inilah dalam ilmu kami disebut sebagai ontologis negara hukum.
Bahwa dasar ontologis Negara hukum Indonesia adalah manusia Indonesia yang bersifat mono-pluralistik sehingga yang diperhatikan di sana tidak hanya kepentingan individual, tetapi juga kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kedudukan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan kita menjadi sangat jelas, yaitu sebagai norma yang tertinggi atau juga disebut di dalam teori ilmu hukum sebagai rechtsidee, cita hukum yang tertinggi yang pada suatu sisi terpisah dengan batang tubuh atau Pasal-Pasal UUD 1945 karena merupakan norma yang tertinggi, namun pada sisi lain merupakan satu kesatuan dengan seluruh pasal-pasal UUD 1945. Dengan kata lain, sebagai rechtsidee, Pancasila memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama fungsi regulatif, yaitu bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diimplementasikan dan dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan untuk mencerminkan tujuan daripada upaya untuk mencapai negara atau masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Yang kedua, fungsi Pancasila sangat substantif, yaitu bahwa sebagai rechtsidee, undang-undang atau segala peraturan yang ada di bawah dari pada cita hukum itu tidak akan mempunyai makna apabila tidak disinari, tidak dilandasi oleh rechtsidee, yaitu Pancasila.
Bagaimanakah sistem demokrasi Pancasila diimplementasikan di dalam kehidupan bangsa Indonesia? Kita berpijak pada sila keempat Pancasila yang mengatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selain sila ini tidak bersemangat individualistik, sila ini juga berdasarkan pada pernyataan hikmat kebijaksanaan, maka demokrasi dikelola untuk memperoleh sebuah kebajikan. Ada tujuan yang jauh lebih mendasar, jauh lebih fundamental dari sekadar demokrasi itu sendiri, dari sekadar cara bermusyawarah, dari sekadar cara mengambil keputusan. Yaitu bahwa demokrasi berjalan dengan suatu tujuan, yaitu untuk mewujudkan suatu kebajikan. Maka, Demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat rasional. Demokrasi Pancasila juga bersifat moral. Demokrasi yang sangat menekankan rasionalitas jelas sekali adalah demokrasi yang diadopsi dari sistem Barat, yang bersifat liberal kapitalistik, individual. Tetapi demokrasi Pancasila yang selain memperhatikan aspek rasionalitas, juga memperhatikan moralitas, yaitu untuk mewujudkan kebajikan dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan sistem Demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di negeri ini tidak dapat berhenti pada sila keempat, yaitu dalam proses berdemokrasi itu saja, tetapi selanjutnya proses demokrasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan atau mencapai sila yang kelima dari Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa tujuan negara sebagaimana yang tercantum sebagai satu kesatuan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila, khususnya pada paragraf ke empat pembukaan yang menyebutkan, dasar negara Pancasila di sana, maka seluruh peraturan perundang-undangan yang ada itu harus dilandaskan pada cita-cita hukum yang dirumuskan atau ditegaskan oleh Pancasila sebagai dasar negara ini dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Yang pertama, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, itu adalah aspek formal dari implementasi dari setiap peraturan perundang-undangan. Dan yang kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa sampai kepada mencapai tujuan keadilan sosial, ini adalah tujuan material daripada undang-undang. Oleh karena itu, kami memberikan tanggapan terhadap permohonan yang diajukan oleh para Pemohon bahwa keterangan ini untuk menguatkan bahwa apa yang dilakukan sekarang dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan atau menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, itu harus ditempatkan pada struktur peraturan perundang-undangan yang terendah, yang mencerminkan sila-sila Pancasila yang ada pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan struktur pembuatan dan pemberlakuan Undang-Undang, masih tidak dapat dikatakan sudah konsisten dalam mengamalkan atau menjadikan Pancasila sebagai rechtsidee tersebut.

Selasa, 09 September 2014

Konstitusionalitas Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang Demokratis

Dalam membahas Pembantukan Peraturan Perundang-undangan kita harus melihat juga sisi filosofis dan yuridis terutama konstitusionalitasnya, jangan hanya dari sisi sosiologis nya saja. Mengacu pada saat proses Amandemen UUD 1945, Pembentuk UUD 1945 merumuskan tentang pemilihan kepala daerah dengan frasa "dipilih secara demokratis" pada amandemen kedua, dan pada saat amandemen ketiga ketika MPR membahas tentang aturan penyelenggaraan Pemilu pada Pasal 22E ayat (1) ditegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan secara Langsung Umum bebas Rahasia. Sementara untuk rumusan pemilihan kepala daerah tidak ada perubahan, tetap menggunakan frasa "Dipilih secara Demokratis", begitu pun saat melakukan amandemen keempat pun tidak ada perubahan.

Jika pembuat UUD saat itu menginginkan Pilkada secara langsung seperti pemilu seharusnya saat amandemen ketiga dan keempat pasti ada perubahan frasa terhadap pemilihan kepala daerah dengan menggunakan asas Langsung Umum Bebas Rahasia. Artinya keinginan pembuat UUD saat itu memang menginginkan adanya pembedaan proses pemilihan antara pemilu (Eksekutif dan Legislatif) dengan Pilkada.

Memaknai Pemilihan secara demokratis dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4), dapat dimaknai bahwa pembentuk UUD menginginkan adanya proses Pilkada yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang ada dimasing-masing daerah, misalnya berdasarkan musyawarah masyarakat adat yogyakarta menginginkan pemilihan gubernur jogja itu secara penetapan untuk menjaga keistimewaan yogyakarta maka itulah konsep demokrasi yogyakarta, apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa proses pemerintahan yogyakarta bersifat monarki? tidak demokratis? ya tentu tidak. Begitupula sistem noken yang dilakukan dalam pilkada di Papua dan bali, walau itu dianggap melanggar prinsip Luber (One Man One Vote) namun memang itulah nilai yang hidup dimasyarakat papua dan bali.

Selanjutnya dalam menafsirkan frasa demokratis harus melihat hierarki norma sesuai aturan UU No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1), yang dalam jenjang norma peraturan perundang-undangan ada norma yang menjadi sumber dalam membuat norma dalam UUD 1945, yaitu Pancasila, sehingga jika kita akan menafsirkan frasa demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 harus mengacu pada konsep demokrasi yang sesuai dengan Pancasila.

Kemudian jika kita melihat rumusan Norma tentang Pemilihan Presiden yang diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa : "Presiden dan Wakil Presiden DIPILIH dalam satu pasangan SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT" (rumusan amandemen ketiga Tahun 2001). Sementara Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mengatakan bahwa : "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota DIPILIH SECARA DEMOKRATIS" (rumusan amandemen kedua Tahun 2000).

Jika MPR lembaga yang mengamandemen UUD 1945 saat itu menginginkan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, saat amandemen ketiga seharusnya sudah terjadi perubahan dari Pasal 18 ayat (4), bahkan saat amandemen keempat pun seharusnya frasa "dipilih secara demokratis" sudah dirubah oleh MPR, namun faktanya Pasal 18 ayat (4) tidak ada perubahan sejak dirumuskan dari amandemen kedua hingga amandemen ke empat.

Baru pada tahun 2002 setelah selesai amandemen ke-4, MPR berdasarkan Tap MPR No. 1 Tahun 2002 membentuk Komisi Konstitusi untuk mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 yang pada saat itu diketuai oleh Prof. Sri Soemantri, dan untuk hasil evaluasi dari Komisi Konstitusi untuk pasal 18 ayat (4) direkomendasikan untuk frasa "dipilih secara Demokratis" dirubah menjadi "dipilih secara Langsung Oleh rakyat". namun hasil evaluasi amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi ini tidak ditindak lanjuti oleh MPR saat itu.

Namun usulan saya dalam melakukan pemilihan secara perwakilan, jangan hanya terpaku pada sistem pemilihan kepala daerah secara perwakilan yang dilakukan pasca reformasi dari tahun 1999 s.d 2003 dimana calon kepala daerah diusung oleh Partai Politik. karena sistem Pilkada yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan aturan Pemilihan Presiden (Pasal 6A) yang secara tegas menyatakan bahwa calon presiden diusung oleh Partai Politik/Gabungan Partai Politik. seperi aturan pemilu legislatif (DPR, DPRD).

Dalam aturan Pilkada pasal 18 ayat (4) tidak menegaskan bahwa calon kepala daerah diusung oleh partai politik/gabungan partai politik, namun hanya mengatakan dipilih secara demokratis. Jika proses pemilihan dilakukan di DPRD (Perwakilan) saya tetap beranggapan bahwa kualitas demokrasi tetap dapat terwujud dengan merubah sistem pemilihan dengan cara :

1. DPRD membentuk Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah yang terdiri dari Tokoh Masyarakat yang berintegritas dan Akademisi, dll

2. Panitia Penyelenggara Pilkada membuat aturan teknis pendaftaran diantaranya (calon yang diusung harus mendapatkan rekomendasi dari ormas, atau tokoh masyarakat dan harus memiliki dukungan dari masyarakat seperti aturan yang diberikan kepada calon independen dalam pilkada yang selama ini berjalan, agar dapat mengontrol kuantitas calon kepala daerah yang mendaftarkan diri) sehingga calon yang diusung benar-benar dari rakyat bukan dari partai politik,  Setelah itu panitia penyelenggara Pilkada akan melakukan Fit and Propertest kepada Calon Kepala Daerah untuk dapat melihat kualitas calon kepala daerah. Sehingga calon yang lolos verifikasi adalah calon kepala daerah yang berkualitas

3. Setelah panitia Penyelenggara Pilkada menverifikasi dan melakukan fit and propertest calon kepala daerah, maka diserahkan kepada DPRD untuk memusyawarahkan untuk memilih Kepala Daerah yang diserahkan oleh Panitia Penyelenggara Pilkada.

4. Untuk mengontrol terjadinya Money Politik dalam proses musyawarah dan pemilihan di DPRD, bisa melibatkan KPK dan aparat Penegak Hukum didalamnya.

Demikian sedikit penjelasan singkat dari saya terkait Pemilihan Kepala Daerah, Semoga Bermanfaat.

--------------------------------------
Penulis : Victor Santoso Tandiasa

Sabtu, 06 September 2014

DPR DIDESAK TUNDA PENGESAHAN RUU PILKADA


"IMPLIKASI DARI PERKARA 97/PUU-XI/2013 TERSEBUT JUGA TERKAIT DENGAN KONSTITUSIONALITAS KEWENANGAN KPU PROVINSI, KPU KABUPATEN/KOTA DALAM MENYELENGGARAKAN PILKADA"



Selasa, 17 Juni 2014

Kedudukan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya berdasarkan Perda DKI Jakarta No. 11 TAhun 1993 dalam Prespektif UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UUD NRI Tahun 1945


Air merupakan sumber kebutuhan pokok mannusia yang di karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pemanfaatan air haruslah digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu, maka air, bumi, dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya sudah seharusnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil, guna memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Negara harus berperan dalam memenuhi kebutuhan air bagi rakyatnya secara adil. Karena Negara memiliki kewenangan dalam hal menguasai air, bumi, dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Negara Kesatuan republic Indonesia merupakan Negara yang terdiri darai ribuan puau-pulau yang terbesar didunia. Limpahan air yang berlimpah dirasa sangatlah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya baik kini dan masa yang akan datang. Tetapi untuk memenuhi kebutuhan air , khususnya air minum untuk jangka waktu yang sangat panjang dibutuhkan manajemen pengelolaan air yang layak dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.

Belakangan ini persoalan mengenai air di DKI Jakarta menjadi isu yang sangat menarik kita cermati. Persoalan kualitas air yang buruk, tarif air yang relative mahal, dan persoalan-persoalan lainnya. Pengelolaan air minum di DKI Jakarta dikelola oleh pihak swasta sebagai mitra PAM Jaya dalam memenuhi kebutuhan air minum di DKI Jakarta Bahkan Sementara itu, penandatanganan kontrak dilakukan pada 6 Juni 1997 untuk masa konsesi 25 tahun, mulai 1 Februari 1998 hingga 31 Januari 2023. Dua operator asing tersebut adalah PT. Palyja dan PT. Aetra. Mereka ditunjuk langsung untuk menyediakan air minum bagi warga Jakarta. Namun, hasil kerja sama itu justru telah merugikan PAM Jaya. Pasalnya, kerja sama ini diperkirakan akan menimbulkan utang sebesar Rp 18,2 triliun kepada dua operator. Kerugian tersebut tentunya tidak sebanding dengan apa yang didapatkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air minum. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan, Bagaimana Kedudukan PAM Jaya dalam pengelolaan air  minum di DKI Jakarta guna memenuhi kebutuhan masyarakat sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum dan apakah kedudukan PAM Jaya yang diatur oleh Peraturan nomor 11 tahun 1993 tentang Pelayanan Air minum sudah sesuai dengan Perturan Perundang-undangan yang berlaku ? pembahasan ini dimaksudkan untuk memahami kedudukan PAM Jaya dalam pengelolaan air minum guna memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan mengetahui apakah kedudukan PAM Jaya yang di atur oleh Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum sesuai dengan Peraturan perundang-Undangan yang berlaku.

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum. Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).

Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:

1.  Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.

2.  Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.

Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.

Pada ketentuan Pasal 15 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
h. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;

sedangkan pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum Wilayah DKI Jakarta yang menyatakan:

(1) Gubernur Kepala Daerah menunjuk PAM JAYA sebagai pelaksanadalam pengusahaan, penyediaan, dan pendistribusian air minum.

Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa kedudukan PAM Jaya sebagai perusahaan daerah DKI Jakarta yang diberikan kewenangan secara atributif oleh Peraturan Daerah tersebut, maka PAM Jaya sangatlah berperan dan memiliki kedudukan yang cukup kuat dalam upaya menjalankan fungsinya guna memberikan pelayanan air minum kepada masyarakat DKI Jakarta. Dalam hal ini pemerintah provinsi DKI Jakarta yang diwakili oleh Kepala Daerah menunjuk PAM Jaya sebagai perusahaan daerah yang menjalankan pengusahaan, penyediaan, dan pendistribusian air minum secara adil untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apabila kita korelasikan dengan teori Negara kesejahteraan menurut W. Friedman bahwa hak menguasai Negara bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam tingkatan pelaksanaannya. Masyarakat wilayah DKI Jakarta kesulitan mendapatkan kualitas air yang bersih, air sering tidak mengalir dan tarif air yang dirasakan relative mahal oleh sebagian masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dirugikan atas buruknya mitra usaha dari PAM Jaya yaitu PT. Palyja dan PT. Aetra.  Artinya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dimungkinkan mendesak PAM Jaya untuk memutus hubungan kerja dalam bidang pelayanan air minum dengan kedua perusahaan swasta tersebut. Karena PAM Jaya sebagai mandataris Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pelaksana pelayanan air minum kepada masyarakat memiliki kewenangan dan hak menguasai atas air. oleh karena pelayanan air minum dirasakan oleh sebagian masyarakat DKI Jakarta belum merata dan secara adil dan tujuan pemanfaatan penggunaan air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi sulit tercapai. Namun persoalan pemutusan kerjasama tersebut harus diadakan re-negosiasi.

Pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air yang menyatakan bahwa “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara yang memiliki hak menguasa atas air dan sumber daya alam menjamin kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Tidak ada Norma  yang menjamin masyarakat Provinsi DKI Jakarta untuk mendapatkan air dengan kualitas bersih. Sehingga Negara seolah tidak ada ketika masyarakat mengalami persoalan pada tingkatan implementasi. Kemudian dalam konsideran Peraturan Daerah tersebut dalam kerangka filosofis tidak terdapat semangat “Dikuasai oleh Negara” yang diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945. Bahkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sendiripun tidak memasukkan frasa “Dikuasai Oleh Negara”. Hal ini menjadi sangat penting karena kerangka filosofis dalam sebuah perturan perundang-undangan adalah roh dari peraturan tersebut dibuat dan memahami semangat peraturan tersebut dibuat dan agar tidak ada pergeseran makna dalam pasal-pasalnya. Karena pasal-pasal tersebut akan mencerminkan nilai filosofis dari landasan filosofis dalam konsideran suatu peraturan serta agar sesuai dengan cita hokum dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dapat disimpulkan bahwa PAM Jaya memiliki kedudukan yang cukup sentral yang diberikan oleh Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam kaitannya pengelolaan air di wilayah DKI Jakarta guna memberikan pelayanan air kepada masyarakat secara adil dan demi kemakmuran rakyat. Apabila terjadi permasalahan ditingkatan implementasi yang diakibatkan oleh mitra usaha PAM Jaya yang teidak dapat memberikan pelayanan masyarakat di wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan maksimal dan merugikan kepentingan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat pada umumnya, maka PAM Jaya sudah seharusnya mengambilalih secara hokum peran pengolahan dan pendistribusian air minum dari swasta demi kepentingan masyarakat dan Negara.

Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum diWilayah Provinsi DKI Jakarta dalam perumusannya tidak sesuai dengan filosofis yang diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945. Karena peran Negara yang memiliki hak menguasai atas air dan kekayaan alam seolah terabaikan oleh karena dalam konsideran tidak memasukkan frasa “ Dikuasai oleh Negara”. sehingga seolah tidak merepresentasikan bahwa Negara hadir ketika terjadi persoalan pada tingkatan implementasi. Bahkan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air dalam kerangka filosofis semangat kedaulatan Negara yang di jawantahkan dengan frasa “Dikuasai Oleh Negara” tidak dapati. Berbeda dengan undang-undang sebelum perubahan. Hal ini berdampak serius, oleh karena kerangfka filosofis akan diderivasikan kedalam pasal-pasal yang kemudian menjadi norma hokum yang harus ditaati. Maka dari persoalan tersebut sudah selayaknya ada revisi terhadap Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum Di Wilayah DKI Jakarta dan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Alternative jangka pendek yang dapat di tempuh adalah mencoba untuk re- negosiasi terkait kontrak yang telah di sepakati. Kemudian alternative jangka panjang adalah ketika membuat kesepakatan dalam kontrak dengan pihak swasta, sebaiknya memberikan tambahan klausul yang menyatakan pembatalan kontrak secara sepihak oleh pihak PAM Jaya apabila dikemudian hari pihak swasta tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam memenuhi pelayanan public disektor pengairan dan merugikan kepentingan umum serta keuangan Pemerintah Daerah. Klausul tersebut juga sebenarnya dapat di masukkan dikemudian hari pada peraturan daerah guna memperkuat kedudukan perusahaan-perusahaan daerah khususnya PAM Jaya. Dengan demikian apabila terjadi persoalan ditingkatan implementasi, maka pemerintah daerah yang diwakili oleh perusahaan daerah dapat mengambil langkah dengan cepat tanpa harus tersangkut masalah hukum.


Penulis :
Kurniawan
Ketua BEM FH Universitas Esa Unggul (Periode 2013-2014)
Kordum Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) Periode 2014-2016
PLT. Korwil ISMAHI Jakarta
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul


----------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Soehino. 2005. Ilmu Negara. Liberti Yogyakarta: Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan keempat.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum Di Wilayah DKI Jakarta.
http://www.lensaindonesia.com/2013/03/06/ahok-kerja-sama-pam-jaya-dan-pt-palyja-merugikan.html
http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/penafsiran-konsep-penguasaan-negara.html