Terlepas
dari kasus ditangkapnya Kepala SKK Migas (Rudi Rusbiandini) oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus suap di SKK Migas, penulis
sengaja tidak mem-fokuskan kasus tersebut ke dalam tulisan ini, penulis justru
lebih mem-fokuskan kepada berbagai permasalahan besar yang lebih krusial dari kasus
tersebut.
Kedudukan
hukum dari keberadaan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam
sektor usaha minyak dan gas bumi nasional yang dibentuk oleh Presiden RI
(Susilo Bambang Yudhoyono) berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013
Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pasca
dibubarkannya BP Migas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
36/PUU-X/2012. Dibentuknya SKK Migas ini merupakan bentuk in-konsistensi
Pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 yang
telah membatalkan pasal-pasal mengenai keberadaan BP Migas di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebab
dibentuknya SKK Migas hampir serupa dengan BP Migas sebelumnya, bedanya saat
ini terdapat Komisi Pengawas di dalam struktur SKK Migas sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dan jika dikaji lebih
dalam, tugas dan kewenangan dari SKK Migas pun setali tiga uang atau serupa
dengan tugas dan kewenangan BP Migas sebelumnya. Artinya, kedudukan SKK Migas
saat ini ialah in-konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tidak berdasarkan kepada Undang-Undang,
karena sudah tidak ada lagi kekuatan hukum yang mengikat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi mengenai Badan Pelaksana atau Satuan Kerja Khusus yang dibentuk
khusus mengurusi sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional pasca
putusan Mahkamah Konstitusi Ri Nomor 36/PUU-X/2013. Dengan kata lain, Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2013 yang menjadi dasar dibentuknya SKK Migas tersebut
dapat diuji materil (judicial review)
ke Mahkamah Agung RI untuk diuji dan dibatalkan.
Mengenai
tugas dan kewenangan SKK Migas yang berwenang menandatangani Kontrak Karya
Migas dengan kontraktor asing maupun lokal ini justru yang berbahaya, artinya
SKK Migas yang dalam hal ini sebagai kepanjangan tangan dari Negara, status
kedudukan hukumnya menjadi setara dengan pihak kontraktor asing maupun lokal di
dalam Kontrak Karya tersebut. Bahayanya lagi, jikalau terjadi sengketa (dispute) antara SKK Migas dengan pihak
kontraktor, maka kekayaan Negara berpotensi untuk tersita, karena SKK Migas hanyalah
suatu Badan Hukum non-profit yang tidak memiliki kekayaan (asset & liability) yang terpisah. Kemudian kewenangan lain dari
SKK Migas yaitu dapat menunjuk langsung kontraktor asing maupun lokal untuk
melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tanpa harus melalui mekanisme
persaingan tender (verifikasi). Hal ini-lah yang menjadi peluang atau celah
besar terjadinya praktik suap (korupsi) di tubuh SKK Migas, karena akan banyak
kontraktor-kontraktor yang berusaha menyuap pejabat-pejabat di SKK Migas agar
dapat ditunjuk sebagai kontraktor yang sah dalam kegiatan usaha minyak dan gas
bumi.
Pasca
putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012, majelis hakim Mahkamah
Konstitusi RI dalam putusan tersebut menyarankan agar pengelolaan kegiatan
usaha minyak dan gas bumi dikembalikan kepada Pemerintah atau BUMN yang terkait
dengan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi demi kepastian hukum dan kelangsungan
kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi
RI pun menilai bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi telah membuka keran liberalisasi di sektor Minyak dan Gas Bumi Nasional
yang pro kepada investor asing sehingga berpotensi kepada kerugian Negara di
sektor sumber daya alam. Padahal Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
sudah jelas mengatur bahwa “Bumi, air,
dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Faktanya ialah bahwa sekitar 90 persen kegiatan
usaha minyak dan gas bumi di Indonesia didominasi oleh investor asing,
akibatnya sebagian besar investor lokal atau pengusaha pribumi yang menggeluti
usaha minyak dan gas bumi kalah saing, atau bahkan gigit jari. Ditambah lagi
dengan penerimaan Negara di sektor sumber daya alam yang terus menurun setiap
tahunnya, regulasi ini jelas sangat tidak pro kepada bangsa sendiri, artinya
sudah seharusnya dibentuk Undang-Undang tentang minyak dan gas bumi yang baru
dan pro terhadap rakyat Indonesia.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi membawa implikasi terhadap masa depan industri minyak dan gas bumi
nasional. Liberalisasi yang menjadi nafas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi, telah mereduksi kontrol Negara terhadap cadangan
dan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dengan merombak Pertamina sebagai
perseroan biasa, Negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur,
menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya minyak dan gas bumi,
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya
minyak dan gas bumi kepada Badan Pelaksana (BP Migas) atau saat ini SKK Migas,
yang bukan badan usaha tidak menjamin kontrol Negara terhadap kekayaan
strategis, yang menguasai hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan
Pengatur Hilir (BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir minyak dan gas bumi,
telah mengorbankan skala usaha vertikal terpadu (vertically integrated), yang terbukti dapat menjamin kepentingan
nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Implikasi yang paling mendasar
ialah karena control cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, sudah tidak
berada di tangan BUMN Migas, Negara kehilangan alat untuk menjamin keamanan pasokan
Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG). Akibatnya krisis bahan
bakar minyak dan gas, akan selalu membayangi sektor energi nasional.
Demikian tulisan ini disampaikan berdasarkan hasil pemikiran
penulis dan dari berbagai referensi yang ada terkait dengan hukum minyak dan
gas bumi, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar