Selasa, 17 September 2013

QUARTA POLITICA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN ALA INDONESIA

Memang masih terdengar asing di telinga publik mengenai istilah Quarta Politica. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI yang dibangun berdasarkan UUD 1945 oleh founding fathers membuktikan adanya suatu sistem pemerintahan yang unik dan belum ada di Negara manapun dan teori ketatanegaraan apapun. Lazimnya kita senantiasa mendengar istilah Trias Politica yang dipopulerkan oleh filsuf Perancis bernama Montesque. Dalam pemerintahan Trias Politica dikenal adanya pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menghindari adanya kekuasaan mutlak dari salah satu lembaga atau orang (diktatur). Hal itu tertuang dalam karyanya yang termuat dalam Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748 “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil”.

Ada hukum kausalitas yang menyebabkan mengapa Montesque menulis konsep tersebut. Perjalanan pemerintahan pada masa itu acap kali menimbulkan kekuasaan absolut di tangan seorang raja. Hal itu sudah pernah digagas oleh seorang Negarawan asal Inggris yang bernama John Locke kurang dari seabad sebelumnya. John Locke juga mengemukakan gagasan Trias Politica dengan format Eksekitif, Legislatif, dan Federatif dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dengan maksud untuk menghindari kekuasaan absolut atau mencapai suatu tujuan check and balances dalam pemerintahan, kedua filsuf itu mengemukakan gagasan yang sama namun berbeda format, yaitu Trias Politica. Akan tetapi ada yang mereka lupa bahwa ternyata baik Trias Politica menurut John Locke maupun menurut Montesque yang banyak digunakan oleh Negara-negara di dunia saat ini, kekuasaan absolut masih tetap saja terjadi. Hanya saja bedanya bukan lagi di tangan satu orang tetapi di tangan satu golongan (Partai Politik/faksi).

Kesalahan itu bukan saja terjadi pada pelaksanaan dari konsep tersebut, tetapi karena konsep tersebut membuka peluang terjadinya kekuasaan absolut dari suatu golongan melalui ajang demokrasi. Ini membuktikan bahwa konsep Trias Politica yang kemudian melekat pada system demokrasi belum tuntas dibahas dan masih banyak kekurangan. 

Partai Politik pemenang pemilu cenderung bercorak absolut saat menentukan jalannya pemerintahan melalui orang-orangnya yang duduk baik di eksekutif maupun legislatif. Sehingga jika kedua lembaga ini dapat dipegang sudah pasti yudikatif pun tidak akan berkutik dan tetap mengeluarkan keputusan hukum dalam tinjauan politik. Supaya menimbulkan kesan check and balances di lingkup partai politik dibangunlah metode koalisi dan oposisi seperti yang terjadi pertama kali pada Majelis Konstituante Nasional pasca revolusi Perancis. Istilah koalisi dan oposisi saat itu dikenal dengan sebutan sayap kanan dan sayap kiri.

Seiring berjalannya waktu pasca munculnya gagasan Trias Politica di berbagai Negara manapun, check and balances secara murni tidak pernah ditemui. Dalam pelaksanaannya tetap ada lembaga yang dominan atau lebih kuat. Sebagai contoh Negara yang menerapkan sistem perlementer memiliki kekuasaan legislatif yang lebih menonjol dalam menentukan jalannya pemerintahan daripada lembaga lainnya. Sedangkan dalam Negara yang menerapkan sistem presidensil memiliki kekuasaan eksekutif yang lebih menonjol.

Melihat gejala-gejala tersebut founding fahers kita tidak terjebak dengan pemikiran yang berkembang di dunia saat itu. Meskipun banyak aliran pemikiran dunia yang menjadi dasar berfikir founding fathers saat merumuskan konstitusi. Pemikiran barat yang berkembang pada trend dunia saat itu tidak serta merta menjadi rujukan mutlak dalam menyusun sistem pemerintahan untuk NKRI. Melainkan dengan menonjolkan sisi originalitas bangsa Indonesia yang berangkat dari sistem pemerintahan adat asli Indonesia.

Dari rumusan itu, terlihat jelas bahwa NKRI bukanlah Negara demokrasi yang menganut konsep Trias Politica melainkan Negara kebangsaan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Dengan adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai cerminan lembaga permusyawaratan dari pemerintahan adat dari setiap daerah di Indonesia. Contohnya seperti sistem penghulu di Minangkabau, joglo di Jawa, baruga di Bugis, honai di Irian dan masih banyak lagi di daerah Indonesia lainnya. Sistem pemerintahan adat yang tunduk pada lembaga permusyawaratan rakyat banyak merupakan hakikat dari sistem pemertintahan Quarta Politica. Jadi pemerintahan tidak dikendalikan oleh partai akan tetapi oleh rakyat banyak melalui lembaga permusyawaratan.

Keberanian founding fathers yang melihat bergeraknya zaman cukup kita berikan apresiasi yang tinggi. Meskipun sangat disayangkan gagasan itu masih bersifat abstrak karena sampai dengan NKRI terbentuk dan berjalan sampai dengan hari ini, konsep tersebut belum pernah berjalan. Justru salah seorang founding fathers yang tidak pernah duduk di pemerintahan pada beberapa bulan setelah kemerdekaan mengusulkan untuk menerapkan sistem pemerintahan rakyat dengan suatu badan permusyawaratan yang benar-benar berasal dari rakyat. Dan disitulah terdapat makna merdeka 100% ketika badan permusyawaratan rakyat dengan nama MPR terbentuk dan berfungsi untuk menjalankan kedaulatan rakyat sepenuhnya (sesuai UUD 1945 pasal 1 ayat 2). Upaya yang dilakukan oleh salah seorang founding fathers yang dikemudian hari dikenal dengan nama Tan Malaka  tersebut adalah pernyataan yang menunjukan bahwa NKRI berbeda dengan Negara lain. Perbedaan itu merupakan bentuk keunikan dari system pemerintahan yang berdasarkan musyawarah mufakat.  

Kita sebagai generasi sekarang juga selayaknya memiliki keberanian untuk melakukan “penamaan” terhadap sistem asli kita. Sehingga dari hasil “urun rembug” antara elemen-elemen masyarakat bulan Juni yang lalu di Jakarta, yang terdiri dari pakar hukum, tokoh agama, aktivis, politisi, veteran, dan elemen masyarakat lainnya telah mensepakati istilah Quarta Politica sebagai sistem pemerintahan ala Indonesia yang berdasarkan UUD 1945.

Lalu apakah yang dimaksud pemerintahan Quarta Politica? Secara definisi Quarta Politica adalah suatu sistem pemerintahan yang dibentuk dari kebenaran sejarah bangsanya yang akan menghasilkan hukum yang menguasai kehidupan manusia yang dijadikan pedoman bagi pemimpin untuk menjadikan dirinya semakin lebih arif dan bijak di dalam mewujudkan visi dan misi negara yang telah ditetapkan oleh Pembukaan UUD 1945 dan akan dicapai melalui proses musyawarah untuk mufakat berjenjang keatas secara bersama, bertahap, dan berkesinambungan dengan azas kekeluargaan yang terukur di dalam ukuran-ukuran dimensi Pancasila sebagai hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dengan benar dan baik.

Pemerintahan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berangkat dari keluarga, RT/RW, lembaga adat, Lumbung, MPR sampai dengan lembaga Negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan metode musyawarah mufakat. Disitulah yang menjadi pembeda antara Quarta Politica dengan Trias Politica yang cenderung menggunakan pemilu dan partai politik sebagai perangkatnya.

Setidaknya gagasan ini menjadi solusi untuk mengakhiri adanya bad governance saat ini. Terutama pada saat UUD 1945 dirubah menjadi UUD 2002. Karena dengan dasar landasan UUD 2002 itu kita menjadi Negara penganut Trias Politica murni yang cenderung dengan kekuasaan mutlak dari golongan pemenang pemilu. Dan segala bentuk kebijakannya berdasarkan tinjauan kepentingan kelompok bukan berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia.


Penulis : Adityo Nugroho
Penulis adalah analisis di Media Center Kebangsaan

Senin, 16 September 2013

KRISIS KONSTITUSIONAL

Isu mengenai terjadinya krisis Konstitusional sempat santer terdengar saat dinyatakan oleh seorang ahli hukum tata Negara Indonesia, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pada pertengahan bulan Februari yang lalu. Namun seiring dengan perkembangan politik terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai verifikasi partai politik peserta Pemilu 2014, isu itu hilang bak ditelan bumi. Ada indikasi kuat bahwa pernyataan tersebut keluar karena kekhawatirannya melihat kinerja KPU selaku lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam Pemilu akan gagal dalam menyelenggarakan Pemilu 2014. Berikut pesan Yusril yang disampaikan kepada aktual.co pada tanggal 17 Februari :

 “ Sebelumnya, saya telah menulis bahwa jika KPU gagal menyelenggarakan Pemilu maka potensi terjadinya krisis konstitusional di Negara ini sangat besar. Jika terjadi krisis konstitusional yang hebat maka Presiden berdasarkan noodstaatsrech yakni Presiden menggunakan hukum dalam keadaan darurat. Presiden bisa mengeluarkan dekrit perpanjangan masa jabatannya….itulah revolusi hukum yang berawal dari staatnoodrechts dan noodstaatsreecht.” Dari pernyataan itu sangat jelas bahwa adanya krisis konstitusional hanya akan terjadi pasca pemilu 2014 pada saat KPU gagal menyelenggarakan pemilu sedangkan masa jabatan Presiden hanyalah dua periode (Pasal 7 UUD Amandemen).

Dari kondisi itu maka Presiden berhak mengeluarkan dekrit dan berbuat apa saja dengan alasan untuk menyelamatkan bangsa dan Negara. Lanjut Yusril dalam pernyataannya “ MPR yang mengamandemen UUD 1945 tidak memikirkan bahwa perubahan yang mereka lakukan, bisa menimbulkan krisis konstitusional. Saya cintai negeri ini dengan sepenuh hati. Saya tahu akan ada masalah besar seperti krisis konstitusional yang tidak banyak orang memikirkannya.”

Sebagai warga Negara tentunya kita menginginkan yang terbaik buat kehidupan berbangsa dan bernegara kita berdasarkan jalurnya konstitusi. Setidaknya guru besar ilmu Hukum Universitas Indonesia itu telah mengingatkan kepada seluruh anak negeri ini untuk merenungkan adanya krisis konstitusional pasca amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali oleh MPR. Terlepas pernyataan tersebut merupakan pernyataan politik untuk menegur kinerja KPU yang dinilai banyak kekurangan. Tanpa disadari negeri kita saat ini memang sedang dilanda oleh badai krisis konstitusional.

Memang tidak objektif bilamana kita melihat krisis konstitusional itu dalam sudut pandang politik. Tetapi akan objektif jika kita melihat krisis konstitusional itu dalam sudut pandang hukum itu sendiri. Dan dengan berat hati kita harus mengakui bahwa akar dari pada krisis konstitusional itu tepat berada pada saat MPR RI periode 1999-2004 melakukan amandemen sebanyak empat kali (1999-2002). Meskipun tuntutan amandemen itu merupakan agenda Reformasi yang harus dijalankan, namun kita dalam melakukannya tidak dapat meninggalkan dan terlepas dari adanya Pancasila sebagai   Philosofische Grondslag di bangsa ini. Nilai-nilai Pancasila adalah sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis dalam kehidupan bernegara.

Dalam pengertian itu, maka Pancasila merupakan das sollen bagi bangsa Indonesia sehingga seluruh derivasi normative dan praksis berbasis pada nilai-nilai Pancasila (Kaelan, 2007:10). Dalam hubungan ini Pancasila merupakan sumber nilai bagi pembaharuan hukum yaitu sebagai cita hukum, yang menurut Notonegoro berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia (Notonegoro, 1975). 

Staatsfundamentalnorm atau grundnorm yang merupakan suatu cita hukum menurut Custaf Radbru
sh (1878-1949), seorang ahli filsafat hukum mahzab baden, memiliki fungsi regulative dan fungsi konstitutif. Cita hukum memiliki fungsi Regulative adalah berfungsi sebagai tolak ukur, yaitu untuk menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak. Adapun fungsi konstitutif yaitu menentukan bahwa tanpa suatu cita hukum, maka hukum akan kehilangan maknanya sebagai suatu hukum (Attamimi, 1990:68).

Secara pengertian, konstitusi menurut Prof.Dr. Slamet Prajudi Atmosudirjo, S.H adalah hasil atau produk dari pada sejarah dan proses perjuangan bangsa yang bersangkutan (begitu sejarah perjuangannya begitu juga sejarah konstitusinya). Konstitusi suatu negara juga merupakan rumusan dari pada filsafat, cita-cita, kehendak, dan program perjuangan suatu bangsa. Oleh karena itu jika terjadi perubahan yang cukup besar didalam situasi maka konstitusi akan mengalami perubahan dalam rangka daya dan upaya bangsa tersebut untuk mempertahankan kehidupannya secara seefisien-efisiennya. Konstitusi adalah cermin daripada jiwa, jalan pikiran, mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa. Dari konstitusinya dapat diketahui bagaimana suatu bangsa memandang terhadap berbagai permasalahan hidup didunia serta disekelilingnya (Atmosudirjo, 1988).

Secara teoritis dari pendapat para pakar hukum diatas sangat jelas menerangkan bahwa UUD 1945 (teks asli) merupakan konstitusi yang mengandung nilai sejarah dan cita hukum yang tertuang di dalam pembukaannya (Preambule UUD 1945). Penjabaran rinci dari Preambule itu kemudian tertuang sepenuhnya di pasal-pasal dalam batang tubuhnya. 
 
Mutlak adanya jika UUD 1945 itu merupakan manivestasi dari Pancasila sebagaimana hirarki hukum di suatu Negara. Tetapi hal itu dapat terbatalkan kemudian melalui suatu peristiwa politik yang penuh dengan nuansa kepentingan individu dan kelompok. Batang tubuh UUD 1945 yang diamandemen sebanyak empat kali oleh MPR secara tidak langsung telah menghilangkan Pancasila sebagai cita hukum yang melekat di dalam UUD 1945 (teks asli). Namun, apakah masih layak dikatakan UUD amandemen itu merupakan UUD 1945?. Secara teoritis perubahan suatu konstitusi menurut Prof Soeharjo Sastrosoehardjo S.H merupakan perubahan makna atau penafsiran ketentuan dalam konstitusi bahkan juga penambahan-penambahan yang tidak menyimpan dari pokok-pokok pikiran, asas-asas, serta pemerintahan yang terkandung didalamnya. Ketentuan itu diatur di dalam pasal 37 UUD 1945.
 
Jika kita lihat lebih mendalam tentang adanya tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945 karena adanya pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Yang dinilai oleh banyak kalangan pasal ini melegitimasi adanya kediktatoran seperti yang terjadi pada masa Orde baru. Memang sudah selayaknya, pasal itu harus diamandemen paling tidak dijelaskan secara terperinci pada bab penjelasnya atau aturan dibawahnya. Akan tetapi perubahan yang dilakukan dengan amandemen sebanyak empat kali itu terjadi pada setiap pasal (terkecuali pasal 1 ayat 1) beserta penambahan menjadi total keseluruhan 199 butir (pasal dan ayat). Sedangkan sebelumnya hanya berjumlah 73 butir.
 
Proses amandemen yang tidak meletakan Pancasila sebagai koridor itu sejatinya telah meruntuhkan bangunan hukum di NKRI yang terbangun dari tahun 1945. Perjalanan sejarah bangsa yang terangkum dalam Preambule mengisyaratkan bahwa NKRI merupakan bangsa yang memebentuk Negara. Maka dari itu alur di dalam batang tubuhnya mengatur tentang adanya lembaga bangsa yaitu MPR (Pasal 1 ayat 2) dan lembaga Negara (Pasal 4 s/d 25).
 
Dengan dirubahnya pasal-pasal krusial yang berpengaruh pada hilangnya substansi cita hukum dan nilai sejarah telah memperkuat bergantinya UUD 1945 menjadi UUD 2002 (tahun keempat amandemen). Misalnya seperti yang terjadi pada pasal 1 ayat 2, dimana bunyi pada teks asli adalah “kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dirubah menjadi “Kedaulatan ialah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut UUD”. Dengan dirubahnya klausul ini maka Kedaulatan rakyat yang seharusnya dijalankan oleh lembaga yang terdiri dari para wakil rakyat di seluruh Indonesia menjadi dilakukan sepenuhnya menurut UUD (baca: UUD 2002). Berarti atas legitimasi pasal ini memaknakan bahwa UUD 2002 yang sangat multitafsir menjadi absolut dalam tatanan hukum di NKRI. Sehingga peng-absolutan tersebut otomatis menegasikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum serta falsafah bangsa Indonesia. 
 
Para pakar hukum bersepakat bahwa setiap konstitusi dalam setiap Negara memiliki nilai historis yang erat dengan prinsip yang dipegang oleh para pendiri negaranya. Sehingga konstitusi itu memiliki keunikan tersendiri yang membedakan suatu Negara dengan Negara lainnya. Jelaslah dengan adanya MPR di sistem pemerintahan Indonesia merupakan keunikan dari sistem pemerintahan kita yang memang berbeda dengan Negara lain. Prototipe MPR tidak dapat kita ketemukan referensinya dari Negara lain. Dan MPR sendiri berbeda dengan istilah perlemen di Inggris dan Belanda atau house representative di Amerika Serikat sebagaimana banyak para pakar hukum, politisi, dan akademisi mengambil rujukan.
 
Dapat kita ketahui secara prinsip dan filosofi (Sila keempat Pancasila) bahwa MPR merupakan sistem asli bangsa Indonesia yang berdasarkan permusyawaratan perwakilan. Maka dari itu ada istilah bahwa MPR merupakan lembaga bangsa dan tertinggi Negara yang memberi mandat kepada lembaga Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan ketetapannya yaitu UUD dan GBHN (Pasal 3 UUD 1945).
 
Di dalam amandemen UUD 1945, fungsi-fungsi itu ditiadakan sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara. Semua lembaga memiliki peranan yang sejajar dan masing-masing dapat menafsirkan konstitusi. Sehingga kedaulatan rakyat yang dilakukan menurut UUD sering terjadi multi penafsiran yang dijalankan oleh masing-masing lembaga. Dan seakan-akan hukum dari UUD amandemen itu bersifat absolute termasuk dari orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaan itu. Hal itu berakibat pada  semakin semunya kedaulatan rakyat itu sendiri. Dimana, perlahan-lahan kedaulatannya rakyat dikikis habis oleh elit-elit partai yang duduk di pemerintahan beradasarkan legitimasi pemilu. Sistem dan pemerintahan seperti ini merupakan sistem terburuk yang pernah ada dalam sejarah perjalanan Negara kita, bahkan dunia.

Kebanggaan rakyat hari ini mencerminkan keterbelakangannya. Kelompok mayoritas yang saat ini senang ketika Negara ini menjadi Negara demokrasi sebenarnya menindas dirinya sendiri. Melalui legitimasi UUD 2002, penindasan itu semakin terjadi dan bersifat massif. Sekarang apakah kita ingin mempertahankan kondisi ini atau berupaya untuk keluar dari lubang jarum yang penuh simalakama ini? Dan memang semuanya butuh pengorbanan untuk mencapai suatu keadilan. Tinggal kita menghitung pengorbanan mana yang lebih besar.

UUD 2002 sebagai krisis konstitusional memang saat ini terlihat bak bangunan megah dan menjanjikan. Namun, kacamata filosofi sebagai warisan sejarah lebih jeli melihat bangunan itu yang ternyata hanyalah fatamorgana. Bukan berarti orde-orde sebelumnya yang mengklaim menggunakan UUD 1945 kondisinya baik. Tetap masih banyak kekurangan dan masih perlu diperbaiki serta disempurnakan.

Apapun caranya kita harus berupaya untuk keluar dari krisis konstitusional ini yang membawa kehidupan berbangsa dan bernegara kita berada di simpang jalan. Dan jalan itu lebih menuju pada terpelosoknya ke dalam jurang kenistaan dan rendahnya peradaban manusia. Itu menjadi bukti bahwa NKRI dalam keadaan darurat dan berada diujung tanduk. Maka dari itu sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada pakar hukum tata Negara kita yang telah membuka wacana mengenai krisis konstitusional ini dan mengajaknya untuk berfikir dan merenungkannya. Jika memang tidak ada jalan lain selain kembali kepada UUD 1945 maka dengan menghimbau kepada seluruh kaum akademisi, pakar hukum, dan elit politik untuk melihat secara terang dan bijaksana guna kepentingan bangsa dan negara kita kembali kepada UUD 1945, serta mengamandemen pasal-pasal yang memang perlu diamandemen selama masih dikoridor Pancasila. Dari keseluruhan tindakan, sikap, serta keputusan kita yang terpenting adalah mencintai negeri ini dengan ikhlas dan sepenuh hati.  


Penulis : Adityo Nugroho
Penulis adalah Analis di Media Center Kebangsaan

Senin, 26 Agustus 2013

PELANGGARAN TERHADAP PENGGUNAAN SIMBOL NEGARA BENDERA MERAH PUTIH DALAM KONSER METALLICA

Baru-baru ini Indonesia baru saja disajikan hiburan ala barat yang banyak menghipnotis rakyat Indonesia, yaitu konser Metallica yang merupakan grup band American heavy metal  legendaris yang berasal dari Los Angeles, Amerika Serikat. Namun sangat disayangkan ketidakcermatan panita penyelenggara terhadap hal-hal/tindakan yang menjadi penghinaan terhadap Simbol Negara Bendera Merah Putih. 


Kejadian tersebut terjadi di akhir konser yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta, pada tanggal 23 Agustus 2013 (25/8/2013) malam WIB. Bendera bendera merah putih bertuliskan “Metallica Solo-Indonesia” itu didapatkan oleh para personel Metallica dari fans yang menyaksikan konser dari barisan depan. Sungguh sangat disayangkan panitia penyelenggara membiarkan saja hal itu terjadi.

 
Jika kita mengacu pada tindakan tersebut jelas menulisi Bendera Merah Putih dengan Tulisan Metallica melanggar Undang-Undang  Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 24 huruf d dikatakan :
“Setiap orang dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara”.

Kemudian Sanksi pidana pada pasal 67 huruf c dikatakan :
“Dipidana  dengan pidana penjara paling lama 1 tahun (satu) tahun atau denda paling banyak RP.100.000.000,- (seratus juta rupiah), setiap orang yang : (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d” 

Mengibarkan bendera Merah Putih dalam moment konser dan lain-lain memang adalah wujud ekspresi kecintaan kita terhadap NKRI, namun jika Bendera tersebut ditulisi oleh huruf/tulisan seperti yang dilakukan oleh fans Metallica tersebut, jelas sudah merupakan suatu tindakan PELANGGARAN terhadap penggunaan Simbol Negara Bendera Merah Putih.

Melihat kejadian yang terjadi dalam konser tersebut, kami sangat menyayangkan panitia penyelenggara yang membiarkan terjadinya yang dilarang oleh Undang-Undang karena dianggap sebagai Pelanggaran terhadap Penggunaan Simbol Negara Bendera Merah Putih.

Jika bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga kehormatan Bangsa dan Negara kita tercinta.

Salam Bhinneka Tunggal Ika
-VST-

Minggu, 25 Agustus 2013

Kesalahan Terminologi Gagasan 4 Pilar Kebangsaan MPR RI



 Dalam satu periode (2009-2014) ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) gencar melakukan sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika), dengan berbagai macam upaya, mulai dari Seminar, aneka Lomba (cerdas cermat, membuat lagu, orasi ilmiah, dsb), bahkan membuat siaran khusus 4 Pilar Kebangsaan di Media Electronik yang kita ketahui untuk melaksanakan semuanya itu membutuhakan anggaran yang tidak sedikit. Namun apakah gagasan 4 pilar itu merupakan suatu gagasan dengan terminologi yang benar, atau sebaliknya merupakan suatu penyimpangan yang merubah kedudukan Pancasila yang merupakan dasar pondasi bangsa yang diatasnya berdiri bangunan Megah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar diatas adalah 4 Pilar yang dibangun di dalam gedung MPR RI, sebagai wujud grafis/gambaran dari gagasan 4 Pilar kebangsaan MPR RI (periode 2009-2014). Jika kita melihat gambar tersebut, sangat jelas bahwa MPR menggunakan kata Pilar dalam Terminologi Bangunan yang merupakan tiang penyangga bangunan, bukan “Pilar” dalam perumpamaan dasar atau Pondasi bangunan seperti yang dipaparkan dalam setiap sosialisasinya. Kesalahan dalam penggunaan kata dapat membuyarkan substansi makna dari kata tersebut.


Gambar : Ilustrasi 4 Pilar


Mengutip pidato Bung Karno, dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka, pada tanggal 1 Juni 1945 yang kita kenal sebagai hari Lahirnya Pancasila. Dalam pidatonya Bung Karno mengemukakan bahwa Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,dan tercetuslah 5 prinsip dasar oleh Bung Karno, yang kita kenal dengan nama Pancasila yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan hingga akhirnya ditetapkan rumusan Pancasila yang hingga dimasukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian mengalami perubahan Konstitusi hingga munculnya Dekrit 5 Juli 1959 yang menetapkan kembali ke UUD 1945.

Selanjutnya berbicara Undang-Undang Dasar 1945, mari kita melihat Pembukaan (Preambule) dalam paragraf ke-4 (terakhir) dikatakan :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kenijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Berdasarkan aninea ke-4 ini secara jelas menegaskan bahwa UUD 1945 berdasar pada kelima prinsip yaitu Pancasila. Artinya batang tubuh yang terdapat dalam UUD 1945 adalah merupakan turunan dari Pancasila. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari sumber hukum yaitu UUD 1945 yang menjadi Konstitusi Republik Indonesia adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Sementara, pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 adalah merupakan suatu aturan dasar terhadap penyelenggaraan Negara, sehingga dapat disimpulkan bahwa NKRI ada perwujudan dari Batang Tubuh yang terdapat dalam UUD 1945 yang di dalamnya mengatur tentang Negara, dan UUD 1945 adalah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan / perwujudan dari 5 (lima) Prinsip yang ada dalam Pancasila.

Demikian kami jelaskan secara singkat dasar penolakan kami terhadap gagasan MPR RI yang kami anggap mencoba merubah kedudukan Pancasila yang dapat mempengaruhi pengkaburan pemaknaannya terhadap fungsi dari Pancasila yang terminologikan sebagai Pilar Bangunan sesuai dengan Gambar diatas yang diambil di dalam aula MPR RI seperti pada gambar diatas.


Penulis : VST

Minggu, 18 Agustus 2013

MENINJAU KEDUDUKAN SATUAN KERJA KHUSUS (SKK) MIGAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM



Oleh :

Ryan Muhammad, SH
Pengamat Ketahanan Nasional
 
Terlepas dari kasus ditangkapnya Kepala SKK Migas (Rudi Rusbiandini) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus suap di SKK Migas, penulis sengaja tidak mem-fokuskan kasus tersebut ke dalam tulisan ini, penulis justru lebih mem-fokuskan kepada berbagai permasalahan besar yang lebih krusial dari kasus tersebut.

Kedudukan hukum dari keberadaan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam sektor usaha minyak dan gas bumi nasional yang dibentuk oleh Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pasca dibubarkannya BP Migas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012. Dibentuknya SKK Migas ini merupakan bentuk in-konsistensi Pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 yang telah membatalkan pasal-pasal mengenai keberadaan BP Migas di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebab dibentuknya SKK Migas hampir serupa dengan BP Migas sebelumnya, bedanya saat ini terdapat Komisi Pengawas di dalam struktur SKK Migas sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dan jika dikaji lebih dalam, tugas dan kewenangan dari SKK Migas pun setali tiga uang atau serupa dengan tugas dan kewenangan BP Migas sebelumnya. Artinya, kedudukan SKK Migas saat ini ialah in-konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tidak berdasarkan kepada Undang-Undang, karena sudah tidak ada lagi kekuatan hukum yang mengikat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi mengenai Badan Pelaksana atau Satuan Kerja Khusus yang dibentuk khusus mengurusi sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional pasca putusan Mahkamah Konstitusi Ri Nomor 36/PUU-X/2013. Dengan kata lain, Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 yang menjadi dasar dibentuknya SKK Migas tersebut dapat diuji materil (judicial review) ke Mahkamah Agung RI untuk diuji dan dibatalkan.

Mengenai tugas dan kewenangan SKK Migas yang berwenang menandatangani Kontrak Karya Migas dengan kontraktor asing maupun lokal ini justru yang berbahaya, artinya SKK Migas yang dalam hal ini sebagai kepanjangan tangan dari Negara, status kedudukan hukumnya menjadi setara dengan pihak kontraktor asing maupun lokal di dalam Kontrak Karya tersebut. Bahayanya lagi, jikalau terjadi sengketa (dispute) antara SKK Migas dengan pihak kontraktor, maka kekayaan Negara berpotensi untuk tersita, karena SKK Migas hanyalah suatu Badan Hukum non-profit yang tidak memiliki kekayaan (asset & liability) yang terpisah. Kemudian kewenangan lain dari SKK Migas yaitu dapat menunjuk langsung kontraktor asing maupun lokal untuk melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tanpa harus melalui mekanisme persaingan tender (verifikasi). Hal ini-lah yang menjadi peluang atau celah besar terjadinya praktik suap (korupsi) di tubuh SKK Migas, karena akan banyak kontraktor-kontraktor yang berusaha menyuap pejabat-pejabat di SKK Migas agar dapat ditunjuk sebagai kontraktor yang sah dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.    

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012, majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan tersebut menyarankan agar pengelolaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi dikembalikan kepada Pemerintah atau BUMN yang terkait dengan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi demi kepastian hukum dan kelangsungan kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI pun menilai bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi telah membuka keran liberalisasi di sektor Minyak dan Gas Bumi Nasional yang pro kepada investor asing sehingga berpotensi kepada kerugian Negara di sektor sumber daya alam. Padahal Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas mengatur bahwa “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Faktanya ialah bahwa sekitar 90 persen kegiatan usaha minyak dan gas bumi di Indonesia didominasi oleh investor asing, akibatnya sebagian besar investor lokal atau pengusaha pribumi yang menggeluti usaha minyak dan gas bumi kalah saing, atau bahkan gigit jari. Ditambah lagi dengan penerimaan Negara di sektor sumber daya alam yang terus menurun setiap tahunnya, regulasi ini jelas sangat tidak pro kepada bangsa sendiri, artinya sudah seharusnya dibentuk Undang-Undang tentang minyak dan gas bumi yang baru dan pro terhadap rakyat Indonesia.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi membawa implikasi terhadap masa depan industri minyak dan gas bumi nasional. Liberalisasi yang menjadi nafas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, telah mereduksi kontrol Negara terhadap cadangan dan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dengan merombak Pertamina sebagai perseroan biasa, Negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya minyak dan gas bumi, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi kepada Badan Pelaksana (BP Migas) atau saat ini SKK Migas, yang bukan badan usaha tidak menjamin kontrol Negara terhadap kekayaan strategis, yang menguasai hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan Pengatur Hilir (BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir minyak dan gas bumi, telah mengorbankan skala usaha vertikal terpadu (vertically integrated), yang terbukti dapat menjamin kepentingan nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Implikasi yang paling mendasar ialah karena control cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, sudah tidak berada di tangan BUMN Migas, Negara kehilangan alat untuk menjamin keamanan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG). Akibatnya krisis bahan bakar minyak dan gas, akan selalu membayangi sektor energi nasional.

Demikian tulisan ini disampaikan berdasarkan hasil pemikiran penulis dan dari berbagai referensi yang ada terkait dengan hukum minyak dan gas bumi, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kamis, 27 Juni 2013

STUDI PERMASALAHAN KETAHANAN ENERGI MINYAK DAN GAS BUMI NASIONAL



Oleh :
Ryan Muhammad, SH.
Ketua Bidang Kajian Strategis - Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK)


Minyak dan Gas Bumi merupakan kekayaan alam tak-terbarukan yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia, terutama dalam sektor perindustrian.  Atas dasar itulah Minyak dan Gas Bumi dinilai sebagai sumber energi yang bersifat strategis dalam upaya pembangunan suatu Negara.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, dan lain-lain. Sesuai dengan ketentuan pada Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau biasa disingkat dengan UUD RI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam Tanah Air Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Hak penguasaan negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakannya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pengusahaan bahan galian (tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor (badan usaha) apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.

Energi sumber daya alam Minyak dan Gas, sangat memegang peran penting dalam perekonomian global, maupun nasional. Hal demikian sangat berarti untuk pertumbuhan ekonomi nasional, karena keterkaitannya dengan penerimaan negara, ekspor Minyak dan Gas serta seluruh neraca pembayarannya. Keterkaitan itu sebenarnya dapat dilihat secara signifikan dan empiris dari peristiwa-peristiwa krisis ekonomi global dalam beberapa tahun yang lalu dan berlangsung hingga kini, karena krisis energi dunia. Pembuat kebijakan, maupun para legislator, meski merancang suatu bentuk hukum baru, tentang wilayah kerja, sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Minyak dan Gas, dengan suatu model, yakni kemungkinan pemberian izin prinsip oleh pemerintah, atau pun terhadap pemerintahan daerah, keterkaitannya dengan sistem pemerintahan otonomi daerah, dengan suatu izin. Sehingga akan mudah dilakukan pemantauan, terhadap kemanfaatan dari perspektif perekonomian dan penghasilan devisa negara, terlebih negara dapat mengontrol, karena pemberi izin dapat sewaktu-waktu mencabutnya, bilamana tidak bersesuaian dengan penggunaannya. Hal demikian sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD RI Tahun 1945, yang sangat berfungsi sosial, dalam upaya percepatan negara kesejahteraan, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Negeri ini kaya akan sumber minyak, mineral dan batubara, hasil hutan dan sumber daya laut. Minyak Indonesia berada diurutan ketiga setelah Arab Saudi dan Iran, yaitu setara 4,17 juta barrel per-hari. Indonesia termasuk urutan ke tujuh eksportir gas terbesar di dunia dari 10 negara penghasil gas terbesar di dunia, setelah Australia. Meskipun mempunyai kekayaan alam yang lengkap dan banyak, Pemerintah Indonesia dinilai gagal menggunakannya untuk kepentingan nasional dan rakyatnya sendiri. Sebagian besar kekayaan minyak dan gas bumi dikuasai dan dikelola oleh pihak asing. Lebih dari 85 persen, produksi minyak mentah Indonesia, dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari Amerika Serikat, China, Jepang, dan Eropa. Selanjutnya Pemerintah membeli minyak dari perusahaan-perusahaan asing pada tingkat harga pasar.

Sebelumnya Pemerintah mengeluarkan cost recovery untuk menggantikan seluruh ongkos yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan asing, selama melakukan eksplorasi minyak dan gas bumi. Sebagian hasil minyak Indonesia, juga di-ekspor ke luar negeri, seperti ke Singapura untuk diolah oleh kilang-kilang minyak disana. Singapura memperoleh keuntungan yang berlipat ganda dari surplus yang dihasilkan oleh kekayaan minyak Indonesia. Karena masyarakat Indonesia harus membeli minyaknya sendiri, pada tahap harga pasar yang mahal. Demikian juga dengan gas, sebagian besar perusahaan penghasil gas, adalah perusahaan-perusahaan asing, yang sama dengan perusahaan penghasil minyak. Investasinya dibiayai oleh bank-bank pemerintah Negara industri. Sehingga kegiatan eksploitasi gas dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Negara-negara industri.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi membawa implikasi terhadap masa depan industri minyak dan gas bumi nasional. Liberalisasi yang menjadi nafas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, telah mereduksi kontrol Negara terhadap cadangan dan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dengan merombak Pertamina sebagai perseroan biasa, Negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya minyak dan gas bumi, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi kepada Badan Pelaksana (BP Migas), yang bukan badan usaha tidak menjamin kontrol Negara terhadap kekayaan strategis, yang menguasai hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan Pengatur Hilir (BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir minyak dan gas bumi, telah mengorbankan skala usaha vertikal terpadu (vertically integrated), yang terbukti dapat menjamin kepentingan nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Implikasi yang paling mendasar ialah karena control cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, sudah tidak berada di tangan BUMN Migas, Negara kehilangan alat untuk menjamin keamanan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG). Akibatnya krisis bahan bakar minyak dan gas, akan selalu membayangi sektor energi nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi telah merombak fungsi Negara dan pemerintahan, sebagai pelindung dan pelayan hajat hidup orang banyak, menjadi pelayan pasar dan menempatkan rakyat sebagai pemilik kekayaan sumber daya alam, sebagai objek yang tunduk pada mekanisme pasar dan hukum perdagangan dunia. Dilepaskannya harga BBM, sebagaimana dilakukan pemerintah dengan menaikkan harga BBM untuk mengimbangi harga minyak dunia, adalah wujud dari runtuhnya kedaulatan Negara atas kekayaan alamnya sendiri. Rakyat akhirnya dipaksa untuk membayar BBM yang sebagian besar diambil dari perut buminya sendiri, dengan harga yang ditetapkan oleh pasar internasional.

Oleh sebab itu, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi selalu menuai permasalahan, karena mengandung cacat tersembunyi sejak pembentukannya. Negara hukum yang mendasarkan pada segala produk perundang-undangan berdasar pada hukum, tetapi ternyata hukum dan moral tidak digunakan dengan sebagaimana mestinya, dan bahkan lebih kepada pengaruh sesaat.