Oleh
Rizal
Adhitya Hidayat,SIP,MM
Universitas
Esa Unggul
Abstrak
:
Fundamentalisme pasar dan fundamentalisme
agama hadir menjadi dua ledakan sosial di tengah arus efek globalisasi yang
mengantarkan relasi sosial budaya antar negara-bangsa lebih banyak ditentukan
oleh kesamaan kepentingan sub-ideologis berbasis kesamaan identitas
nilai-nilai, persepsi, keyakinan, sikap, orientasi dan perilaku eksklusif. Dalam
hal ini Pancasila sebagai Ideologi negara-bangsa terbatas berlaku hanya
dibingkai oleh nilai-nilai falsafah normatif kenegaraan secara intrinsik.
Ideologi Pancasila yang selama ini menjadi perekat fundamental keberagaman
suku, agama, ras, budaya maupun adat istiadat mengalami degradasi implementasi
nilai-nilai intrinsik, instrumental dan praksis yang seakan-akan menjadi
ideologi utopia perlawanan semu terhadap kedua bentuk fundamentalisme tersebut
di atas. Melalui tiga dimensi kandungan sebuah ideologi negara-bangsa dalam
tulisan ini, kita bisa melihat bagaimana fundamentalisme pasar dan fundamentalisme
agama menjadi corak baru antitesis ideologi Pancasila, dimana pada akhirnya keduanya
merupakan common enemy bagi kelima
sila dalam Pancasila yang menjadi soko guru kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara Bangsa Indonesia.
I. PENDAHULUAN
Pancasila sebagai Ideologi nasional Bangsa Indonesia pada hakekatnya
merefleksikan tiga dimensi dari sebuah ideologi yang dimiliki oleh suatu
negara-bangsa secara keseluruhan. Dalam pandangan Secara
umum, ideologi mungkin dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem
nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu
masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap
benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi
kehidupan duniawi mereka (Alfian,
1992:187). Mengikuti pengertian ideologi tersebut, dalam
konteks masyarakat yang pluralis dari ragam aspek seperti suku, agama, ras, dan
adat istiadat, maka akan melahirkan kemajemukan kelompok kepentingan yang
terwujud pada stratifikasi dan klasifikasi kelompok sosial yang berbeda dalam
kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya, adat istiadat dan masih banyak
lagi yang tentunya memiliki spesifikasi tersendiri akan suatu sistem pandangan,
nilai, keyakinan maupun kepercayaan mereka. Masing-masing kelompok kepentingan
ini melalui stratifikasi dan klasifikasi kelompok sosial masing-masing berusaha
mewujudkan kebutuhan dan keinginannya agar tetap menjadi bagian dari lingkungan
sosialnya, baik dalam skala makro ( nasional ) maupun mikro ( lokal ). Sistem pandangan, nilai, keyakinan maupun kepercayaan yang dimiliki
berbagai kelompok kepentingan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia ini
disebut sebagai sub ideologi. Jadi ideologi nasional sebenarnya merupakan
sintesis dari keseluruhan sub ideologi yang ada sekalipun satu sama lain nampak
bertentangan ( anti tesis ), dan merupakan hasil dari konsensus atau
kesepakatan bersama ( sintesis ) antar golongan atau kelompok dalam
stratifikasi dan klasifikasi masyarakat yang pluralis, seperti masyarakat
Indonesia dalam hal ini.
Dalam
konteks kemajemukan kehidupan masyarakat Indonesia bersendikan Ideologi
nasional yaitu Pancasila, terdapat tiga dimensi idealisme ideologi nasional
yang merupakan pencerminan dinamika realitas kontekstual keberadaan sub ideologi
dalam mempengaruhi eksistensi integrasi nasional Bangsa Indonesia. Pertama, Ideologi sebagai realita yang
hidup dalam masyarakat. Kedua,
kemampuan ideologi memberikan harapan kepada kelompok, atau golongan yang ada
dalam masyarakat. Ketiga, Kemampuan
ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan
dan perkembangan masyarakat (ibid
: 188-189). Masing-masing dimensi secara idealis akan
menjelma ke dalam tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dicita-citakan
bersama. Dalam Ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia,
sebenarnya cita-cita perwujudan ketiga dimensi ideologi tersebut sudah
dirumuskan secara ideal melalui kelima
sila dalam Pancasila yang mencerminkan kandungan komitmen persetujuan bersama
Bangsa Indonesia akan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi
dan Keadilan Sosial.
Dalam konteks
fenomenal ini, dimensi ketiga ideologi Pancasila ditekan untuk segera
merevitalisasi fungsinya agar selaras dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
Indonesia modern. Namun pada akhirnya, lebih dari sekedar tuntutan dan kebutuhan untuk
merevitalisasi fungsinya, yang muncul di permukaan kehidupan sosial Bangsa
Indonesia adalah eksploitasi berbagai pertanyaan seputar esensi dasar dari
rasionalitas aktual Ideologi Pancasila dalam konteks dinamika masyarakat
Indonesia saat ini. Ketika peran sentralistis negara dipecah ke dalam berbagai
desentralisasi peran politik dan ekonomi yang memunculkan otoritas politik
lokal dalam bingkai otonomi daerah, maka sebuah fenomena strategis yang
mengedepankan ancaman eksplisit
disintegrasi nasional yang mewarnai perjalanan demokrasi
pasca reformasi 1998. Tantangan tersebut adalah penguatan etnosentrisme dalam
kultur politik lokal dengan menguatkan entitas elemen-elemen identitas lokal
pembentuk konstelasi politik lokal. Di saat yang bersamaan terdapat
dua ancaman fundamental yang menjadi pemicu dari kerawanan
terhadap kebaikan bersama, identitas bersama, nilai bersama dan legitimasi
kewenangan. Kedua ancaman tersebut adalah pertama, fundamentalisme pasar dan kedua, fundamentalisme agama. Tulisan ini akan terfokus pada pembedahan
ancaman Ideologi Pancasila yang bermuara dari fundamentalisme pasar dan agama.
II. PEMBAHASAN
Fundamentalisme
pasar dan agama menjadi basis kekuatan destruktif integrasi nasional ke dalam praktik kehidupan sosial Bangsa
Indonesia. Indonesia lebih akrab dengan definisi “bukan negara agama, juga
bukan negara sekuler”. Definisi tersebut hanya melihat Pancasila dalam kerangka
relasi antara agama dan negara. Problem serius Indonesia sekarang adalah mati
surinya ideologi. Pancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku
politik. Ketika negara tidak Pancasilais, rakyatlah yang pertama-tama
menderita. Cukup banyak rakyat yang menjadi korban kekerasan karena penguasa
tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang
lebih lemah. Negara hanya menjadi pemadam kebakaran sosial, atau lebih buruk
lagi penonton. Oleh karena itu, warga pun sulit melihat relevansi langsung
antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari. Publik apatis dengan kesaktian
Pancasila, yang seolah-olah hanya sakti untuk menghadapi komunisme pada masa
lampau. Bersaing dengan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama,
Indonesia termasuk negara yang mudah berada dalam cengkeraman (soft country) kapitalisme global dan paham keagamaan transnasional. Pancasila
sebenarnya cukup ampuh menangkal ideologi asing sebab nilai-nilainya diangkat
dari kultur bangsa. Namun, mengacu Driyakarkara, Pancasila tidak boleh hanya
berhenti pada nilai-nilai luhur (ideifikasi), tetapi harus diperjuangkan
menjadi konkret (idealisasi). Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide,
tetapi harus menjadi cita-cita bersama. Tanpa ideologi yang asertif, Indonesia
sulit membendung penetrasi ideologi asing yang membuat Indonesia terpuruk dan
sulit bangkit menjadi bangsa besar (Kompas, 1 Oktober 2011). Selanjutnya oleh karena itu, menjadi
Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan agama, meski juga tidak bertentangan,
melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus
menjadi besar bukan karena agamanya – banyak bangsa juga beragama – melainkan
karena hidup sebagai insan Pancasilais, dengan Pancasila sebagai ideologi
pembentuk moralitas bangsa. Pancasila seharusnya menentukan perilaku
penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit
mengharapkan warga Pancasilais. Dalam pasar bebas ide, warga akan lebih
tertarik dengan ideologi alternatif. Sekularisme, hedonisme, materialisme dan
seterusnya. Sebagai ideologi tengah, Pancasila seharusnya menjadi pembeda Indonesia,
asalkan nilai-nilainya dihayati secara menyeluruh dan konsisten.
1. Fundamentalisme Pasar
Fundamentalisme
pasar berpusat pada determinisme ekonomi sebagai rangkaian dampak inheren arus
globalisasi ekonomi-politik dunia ketika perang dingin merobohkan dirinya dalam
jajaran tembok Berlin 1989, yang kemudian disusul dengan gelombang euforia
Perestroika dan Glasnost Uni Sovyet ( Rusia ). Berdasarkan determinisme ekonomi
yang mengedepankan kekuatan mekanisme pasar, maka fundamentalisme pasar
menunjuk pada gejala atau upaya programatik untuk menjadikan mekanisme pasar
(yaitu transaksi atas dasar harga yang diuangkan) bukan hanya sebagai prinsip
pengatur alokasi pemenuhan barang/jasa kebutuhan, tetapi sebagai satu-satunya
prinsip/dasar pengatur seluruh bidang kehidupan dalam tatanan bermasyarakat (Priyono,
2011:38). Fundamentalisme pasar berusaha mendeterminasikan struktur kehidupan
masyarakat melalui berbagai motivasi pengejaran kepentingan ekonomi individual
berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang memaksimalkan peran kebutuhan
dan keinginan dengan melegitimasikan radikalisasi prinsip daya beli. Melalui
perspektif determinasi ekonomi dunia yang mengedepankan kekuatan mekanisme
pasar dalam membentuk satu entitas masyarakat kapitalis global, pengamatan
sekilas terhadap globalisasi menunjukkan bahwa “negara-bangsa” tetap menjadi
menjadi pemain kunci dalam ekonomi global saat ini. Namun, tinjauan yang lebih
radikal terhadap tesis ini menekankan mundurnya negara sebagai badan pembuat
keputusan yang otonom.
Kemunduran kekuatan
negara sebagai badan pembuat keputusan otonom menghubungkan corak perspektif
globalisasi radikal yang mengedepankan fundamentalisme pasar dengan menekankan
faktor-faktor berikut ini (Dickens dalam Faulks, 2010:89) :
a. Perkembangan dan tersedia luasnya
teknologi komunikasi berbiaya murah seperti kabel fiber optik, mesin fax,
transmisi digital dan satelit, yang berarti bahwa penduduk negara semakin
menjadi sasaran “kebudayaan global” yang berada di luar kendali kekuasaan
pemerintah.
b. Kemunculan MNCs ( Multi National
Corporations ) yang sekarang mempunyai sumber daya untuk menyaingi banyak
negara , namun tidak seperti negara, ia tidak terkungkung batas geografis, dan
dengan mudah memindahkan pabrik mereka sesuai perubahan permintaan dan
ketersediaan kelebihan lokal seperti
biaya upah murah, pajak usaha rendah, maupun serikat buruh yang lemah.
c. Semakin mengglobalnya sifat perdagangan, yang membuat negara tidak
mampu membuat kebijakan ekonomi yang efektif. Negara semakin harus menjawab
faktor-faktor yang berada di luar kontrolnya, seperti desakan MNCs dan
fluktuasi pasar finansial dunia. Singkat kata, diakui bahwa pasar dunia dan
MNCs menjadi kekuatan lebih digdaya dibandingkan negara dalam urusan
internasional, dan bahwa kekuatan-kekuatan baru globalisasi ini tidak bisa
diatur secara efektif.
Globalisasi merupakan wahana bagi berkembangnya kapitalisme global.
Sedangkan Neo-liberalisme adalah basis ideologi sebagai motor penggerak
ekonomi-politik global dalam satu wadah globalisasi ekonomi-politik
internasional. Neoliberalisme merupakan basis ideologi paling penting yang
memberi legitimasi bagi kapitalisme global. Secara garis besar neoliberalisme
adalah semacam pendekatan ideologi ekonomi-politik yang memperjuangkan
kesejahteraan umat manusia melalui proses pembebasan individu dari setiap macam
kekangan. Kemerdekaan individu dalam hal ini bisa dijamin melalui kerangka
kelembagaan yang ditandai dengan pengakuan terhadap hak milik pribadi, pasar
bebas dan perdagangan bebas. Pada intinya mengacu kepada pengertian
fundamentalisme pasar sebelumnya, maka sebenarnya dengan basis ideologi
neoliberalisme, kebijakan-kebijakan ekonomi, industri dan perdagangan
menekankan pasar produk dan jasa maupun pasar faktor produksi (modal, tenaga
kerja) pada dasarnya bekerja sempurna. Untuk itu campur tangan pemerintah tidak
diperlukan karena akan menyebabkan kegagalan pemerintah (Kompas, 26 Mei 2009).
Melaului ketiga faktor determinan fundamentalisme pasar di atas, ideologi
neoliberalisme eligibel terhadap
pandangan kelompok hiperglobalis pendukung kapitalisme global yang juga
menekankan serangkaian kegiatan ekonomi dalam segala manisfetasinya dalam
bentuk kekuasaan perusahaan-perusahaan berskala transnasional dan multinasional
(Winarno, dalam Hidayat, 2010 : 167-168). Kedua kekuatan korporasi ini memiliki
kekuatan penggerak untuk mempengaruhi para aktor pembuat keputusan
ekonomi-politik dalam ruang lingkup negara, terutama kategori third world
countries. Apabila TNCs (Trans National
Corporations) memiliki kekuasaan murni berupa aliran modal perusahaan antar
lintas negara yang berlokasi di belahan dunia mana saja yang mereka inginkan
selama maksimalisasi laba masih dirasakan aman di negara bersangkutan, maka
untuk Multi National Corporations (MNCs) masih berdiri di satu kendali
negara pusat dengan cakupan operasi modal global yang mengalir pada beberapa
cabang perusahaan. Dengan kata lain, TNCs bisa berdiri di negara mana yang
mereka kehendaki dan MNCs tetap berlokasi di satu negara pusat, tapi keduanya
memiliki persamaan karakter gerakan
aliran modal perusahaan yang mengalir ke seluruh belahan negara di dunia yang
menjadi basis sumber modal keuntungan perusahaan. Keduanya adalah aktor-aktor
penting dalam mengintegrasikan pasar nasional ke dalam perekonomian global
melalui perdagangan lintas negara, baik dalam bentuk perdagangan antara
perusahaan itu sendiri atau perdagangan antar perusahaan dengan pihak luar, dan
melalui aliran investasi yang mengalir melintas batas-batas negara nasional.
Trend hiperglobalis yang justru berkembang saat ini adalah
perusahaan-perusahaan multinasional dapat menjadi aktor kunci dalam ekonomi
global karena mampu melakukan integrasi secara vertikal, konsentrasi modal,
organisasi pasar, dan manajemen dalam suatu skala yang dapat membuatnya
menginternasional, ke arah ekonomi global dan kemudian memenuhi
permintaan-permintaan dari pasar-pasar global. Hal ini disebabkan karena
investasi modal dana terbesar perusahaan masih dikendalikan dari pusat,
daripada tersebar ke dalam berbagai negara yang belum tentu kebijakan
ekonomi-politiknya menguntungkan bagi perusahaan yang bersangkutan, seperti
TNCs yang seringkali harus fleksibel terhadap segala benturan kebijakan
ekonomi-politik negara yang bersangkutan.
Dengan contoh dari keterlibatan MNCs dalam mempengaruhi konstelasi
ekonomi-politik negara, maka fundamentalisme pasar mereduksi peran
negara-bangsa dalam menguasai sepenuhnya kebijakan-kebijakan ekonomi-politik
pemerintah yang menyangkut legitimasi kewenangan segala sumber daya ekonomi
nasionalnya. Ideologi neoliberalisme menampilkan tantangan nyata terhadap
kekuasaan negara dengan berusaha mengubah keseimbangan kekuasaan antara negara
dan masyarakat sipil. Ada dua prinsip penting yang menjadi pokok perubahan
keseimbangan antara negara dan masyarakat sipil : pertama, Superioritas pasar di atas politik dalam menyediakan
kebutuhan manusia, menciptakan kesejahteraan dan memajukan kebebasan pribadi. Kedua, Kebutuhan untuk melindungi
hak-hak pasar individu, termasuk hak-hak kepemilikan harta, hak menegaskan
ketidaksetaraan seseorang, dan hak untuk memilih berbagai macam barang dan jasa
di pasar. Dari kedua prinsip tersebut kemudian memunculkan sejumlah kebijakan
neoliberalisme yang mencakup :
a. Deregulasi ekonomi, termasuk semakin terbuaknya perdagangan dan
investasi internasional, pengurangan pajak usaha, dan penghilangan
hambatan-hambatan birokrasi yang merintangi akumulasi dan profitabilitas
swasta.
b. Pengurangan hak-hak serikat dagang dan penciptaan pasar buruh yang
fleksibel, yang bisa menentukan upahnya sendiri.
c. Pemotongan belanja publik dalam pelayanan sosial seperti kesehatan,
kesejahteraan dan pendidikan.
d. Privatisasi pelayanan publik jika memungkinkan, dan menciptakan pasar
buatan yang menerapkan prinsip-prinsip pasar seperti persaingan internal untuk
pelayanan, kontrak pihak luar untuk tugas-tugas kerja pelengkap, dan bayaran
berdasar kinerja pelayanan lain yang dijalankan negara.
e. Pendefinisian ulang kewarganegaraan dimana hak sipil dan pasar yang
terbatas ditegaskan, dengan mengebawahkan hak-hak masyarakat, dan warga
diharapkan mengambil tanggung jawab pribadi yang lebih besar bagi mereka
sendiri maupun tanggungannya.
f. Perlu ditekankan bahwa pengaruh
prinsip-prinsip neoliberal tadi tidak berlaku secara seragam oleh negara-negara
yang telah dipengaruhi oleh paham neoliberal. Penerapan kebijakan-kebijakan
tadi diperantarai oleh faktor-faktor seperti institusi politik dan budaya suatu
negara, kekuatan negara dalam sistem ekonomi dunia, juga karakteristik sosial
maupun ekonominya.
Sekalipun krisis ekonomi yang bermula
dari mega krisis finansial Enron dan Lehman Brothers 2007 (subprime mortgage) menguatkan kembali peran negara dalam meregulasi
mekanisme pasar, namun pengaruh fundamentalisme power ideologi pasar
neoliberalisme tidak serta merta meredup begitu saja dalam tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia. Neoliberalisme pada fase ini mengubah secara radikal
pemerintah dan masyarakat dengan menekankan pada persaingan, desentralisasi,
devolusi, deregulasi dan privatisasi atas industri, tanah dan pelayanan publik,
serta mengganti kebijakan-kebijakan yang bersifat welfare menjadi workfarist
( Latif, 2009 : 16 ). Krisis finansial yang berkembang menjadi krisis ekonomi
dalam pandangan Robert Reich disebut sebagai Supercapitalism. Supercapitalism
adalah sebuah konsep yang menggamabrkan makin menguatnya kompetisi di dunia
bisnis dalam memperebutkan konsumen dan investor yang sekarang telah merambah
dunia politik. Persaingan bisnis
itu mengakibatkan dana dalam jumlah besar mengalir deras dari korporasi dan
badan-badan keuangan guna membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan
publik untuk kepentingan mereka. Dengan kata lain,” Capitalism has invaded democracy.” Dalam tataran nasional, efek
superkalpitalisme sebagaimana ditengarai Reich diyakini bisa berkembang subur
di tanah air. Pesta demokrasi yang semarak sesungguhnya tidak lebih dari minus
demokrasi. Lebih jauh lagi, salah satu dampak utama penetrasi kapitalisme ke
dalam kehidupan berdemokrasi adalah menghilangnya warga Negara.
Menghilangnya warga negara yang dimaksud adalah memudarnya kepemilikan
identitas nasional suatu bangsa yang berangkat dari keragaman pluralitas
nilai-nilai identitas bersama, kebaikan bersama, nilai bersama dan legitimasi
kewenangan dalam lingkup negara-bangsa. Dengan menghilangnya warga Negara,
posisi Ideologi Pancasila berada di titik kerawanan yang mengesahkan disfungsi
ketiga dimensi ideologi yang menyebabkan terjadinya di-integrasi nasional yang
berdampingan dengan penetrasi identitas budaya konsumerisme Bangsa Indonesia.
Benjamin Barber pernah memperlihatkan bagaimana kapitalisme berbentuk budaya
konsumerisme membahayakan demokrasi. Menurut Barber, ekonomi kapitalis
sekarang, selain membagi dunia ke dalam kubu berada dan tak berada, juga
menumbuhkan etos baru ( ibid : 20 ).
Etos baru tersebut berangkat dari satu prinsip dasar etos pengerdilan
(infantilization) sebagai basis ekonomi konsumeris berdasarkan kebutuhan yang
diciptakan. Masyarakat konsumeris akan membenturkan kapitalisme dan demokrasi,
sehingga kapitalisme, menurut Barber, “Sepertinya secara harfiah akan
mengonsumsi dirinya sendiri, meninggalkan demokrasi dalam bahaya dan nasib
warga negara dalam berdemokrasi setidaknya dilakukan melalui empat cara. Pertama, mengerdilkan konsumen dengan
mengedepankan hal-hal yang gampang dan mudah dicapai ketimbang hal-hal yang
harus dicapai dengan susah payah; yang sederhana di atas kerumitan, dan yang
segera di atas perlahan-lahan. Kedua,
memprivatkan warga negara sehingga “aku” berprioritas di atas “kita”. Ideologi
privatisasi, menurut Barber, menempatkan pilihan sebagai hal mendasar bersifat
pribadi, bukan menentukan “kehendak bersama” tetapi sebatas kumpulan dan rerata
dari keinginan pribadi; muncul “civil schizophrenia” bersamaan dengan penolakan
atas segala yang “civic” maupun “public”. Ketiga, pemerekan identitas. Branding
recognition menggantikan identitas religious dan komunal – orang
diidentifikasi melalui merek barang yang dikonsumsi ketimbang identitas
religious ataupun etnisitasnya. Pendek kata, “inauthenticity becomes a kind of simulated authenticity”. Dan
“makna” menjadi kehilangan makna. Keempat,
meminjam mazhab Frankfurt, kelahiran totalitarianisme konsumer melalui
penyerbuan semua aspek kehidupan manusia oleh korporasi akan mengakibatkan
runtuhnya keberagaman dan munculnya totalitarianisme baru.
Gambar
:
Operasi
Kekuatan Neoliberal
2. Fundamentalisme Agama
Fundamentalisme agama adalah gejala atau upaya programatik menjadikan
doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya dasar dan prinsip pengaturan
seluruh bidang kehidupan masyarakat. istilah seluruh bidang mencakup berbagai
urusan yang menyangkut hukum,
ketatanegaraan, ekonomi, budaya, pendidikan, keyakinan, relasi sosial,
bahkan urusan cara berpakaian dan tata cara pergaulan (Priyono, 2011:37).
Ketika agama berhadapan dengan kenyatan-kenyataan empiris yang bertolak
belakang dari tujuan horisontal ideal agama ( tujuan yang mengatur kehidupan
antar umat beragama), maka agama justru
menjadi landasan pembenaran radikal ideologis dan simbolis. Radikalisasi
pembenaran ideologis dan simbolis agama akan menyebabkan konflik horisontal,
anarki, atau kekerasan kolektif yang merealisasikan doktrin agama sebagai
satu-satunya dasar dan prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan masyarakat.
Agama yang kongkrit adalah yang dihayati oleh pemeluknya dengan sistem ajaran,
norma moral, institusi, ritus, simbol, para pemukanya. Semua unsur yang memberi
wajah kongkrit agama ini bisa mengkristal dalam bentuk penafian terhadap yang
berbeda, maka sangat rentan terjadi pertentangan. Pertentangan bisa terjadi di
antara dua agama yang berbeda dalam wujud konflik horisontal, atau kekerasan
kolektif yang mengatasnamakan agama atas dasar nilai-nilai tertentu yang bertentangan secara etika dan moral atas
dasar sistem ajaran, institusi dan keyakinan pemeluknya.
Terkait dengan agama yang merangkum berbagai pemeluknya ke dalam
berbagai kelompok sosial. Pada intinya setiap kelompok sosial berusaha untuk
mempertahankan eksistensinya dengan mempertahankan identitas asli nilai atau norma
yang mendiferensiasikannya dengan kelompok lain, dan cenderung akan menolak
perbedaan yang ada. Perbedaan akan dianggap sebagai pengaruh yang mengancam
eksistensi kelompok tersebut. Fundamentalisme agama berangkat dari satu titik
doktrin agama, bahwa agama bersangkutan adalah satu-satunya dasar dan prinsip
pengaturan seluruh bidang kehidupan masyarakat. Jika memang demikian, sejauh
mana doktrin tersebut bisa beradaptasi dengan kondisi plural bangsa Indonesia
dikaitkan dengan pembenaran agama terhadap sebab-sebab tindakan kekerasannya
sendiri ? sebuah postulat sementara tentang hal ini menyatakan agama lebih
berperan fungsi ideologisnya sebagai pembenaran kekuasaan dan landasan simbolis
kekerasan. Peran guru agama atau pemimpin agama sangat besar di dalam
menanamkan kebencian terhadap pemeluk agama alain dan menolak untuk menerima
yang berbeda. Di dalam interaksi komunikasi, pemaknaan sangat ditentukan oleh
kerangka penafsiran . Mereka sangat menentukan dalam memberi kerangka
penafsiran untuk melihat realitas dan hubungan dengan umat beragama lain. Tugas
mereka seharusnya untuk menunjukkan wajah damai agama, penerimaan pluralitas
dan toleransi. Namun ketika penafsiran menjadi sangat politis dan penuh
kepentingan, peran guru dan pemuka agama itulah yang sebetulnya sangat
menentukan. Maka masuknya kepentingan politik
bukan suatu cara berpikir yang dipaksakan, tetapi merupakan kelanjutan
atau perpanjangan dari cara berpikir yang telah ditanamkan oleh para guru dan
pemuka agama. Perbedaan yang ditekankan untuk memberi corak identitas
dimanfaatkan untuk kepentingan diri atau kelompok (Haryatmoko, 2010:83-84).
Upaya memahami kaitan agama dan politik menyentuh tiga mekanisme pokok
yang menentukan : pertama, kerangka
penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi). Agama menjadi
perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan
hubungan-hubungan sosial. Sejauhmana suatu tatanan sosial dianggap representasi
religius, yang dikehendaki Tuhan. kedua, agama sebagai faktor identitas.
Agama sebagai faktor identitas dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada
kelompok sosial tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas sosial, status,
pandangan hidup, cara berpikir dan ethos. Ini lebih kental lagi jika
dikombinasikan dengan identitas etnis : Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali
Hindu. Pertentangan etnis atau pribadi bisa menjadi konflik antar agama. Faktor
identitas ini sekaligus berfungsi sebagai kapital sosial bila dilihat dari
perspektif Bourdieu karena merupakan jejaring atau sumber daya berkat
kepemilikan pada agama yang sama, lalu menjadi aktor perekat yang bisa
menumbuhkan kepercayaan dan solidaritas, meski di sisi lain juga menjadi alat
diskriminasi. ketiga, agama sebagai
legitimasi etis hubungan sosial. Berbeda dengan agama sebagai kerangka
penafsiran, mekanisme yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan sosial, tetapi
suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama. Dalam konteks ini,
formalisme agama menjadi unsur penting di dalam penghayatan karena terkait
dengan masalah pengakuan sosial dan kebanggaan pada kepemilikan kelompok. Maka
butuh penamaan dari suatu sistem sosial, ekonomi dan budaya dengan
jargon-jargon agama yang akan semakin meningkatkan fanatisme pemeluknya. Ketika
fundamentalisme agama berangkat dari titik tolak kerangka penafsiran
religiusnya terhadap hubungan sosial, agama sebagai faktor identitas dan agama
sebagai legitimasi etis hubungan sosial, yang berhadapan dengan kerumitan
problematika pembangunan ekonomi dan ketimpangan problem struktural sistem
politik, maka yang timbul kemudian adalah kelahiran politik radikalisme agama.
Politik radikalisme yang dibawa oleh fundamentalisme agama akan
menuntut pembentukan basis-basis hubungan antar kelompok sosial dalam suatu
negara berdasarkan ideologi yang memuat penafsiran religius, faktor identitas
dan legitimasi etis agama yang bersangkutan. Dampak signifikan terpenting
terhadap integrasi nasional adalah terpisahnya berbagai identitas yang
masing-masing memuat sub-ideologi yang berperan penting dalam strukturisasi tindakan
sosial.Kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda
dari strukturisasi tindakan sosial yang dijelaskan oleh Anthony Giddens sebagai
interaksi yang berulang dan terpola dalam jangka waktu tertentu dan dalam ruang
tertentu akan menghasilkan struktur. Interaksi itu dilakukan oleh pelaku-pelaku
dan dibentuk di dalam perilaku subyek pelaku. Interaksi sosial antar pluralitas
identitas kebangsaan seperti Indonesia membutuhkan ideologi agar dapat masuk ke
dalam sistem politik yang keduanya menjamin integrasi nasional bisa tetap
berdiri kokok di atas fondasi negara-bangsa.
Ada tiga bentuk interaksi sosial yang dominan di dalam masyarakat yaitu
komunikasi, kekuasaan dan moralitas. Komunikasi makna di dalam interaksi
ditentukan oleh kerangka penafsiran. Maka pemaknaan akan apa yang dilakukan dan
dikatakan tidak bisa lepas dari kerangka penafsiran tersebut. Kerangka
penafsiran ini tidak lepas dari tatanan pengetahuan kognitif yang menjadi
struktur pemaknaan suatu komunitas (misalnya : komunitas agama). Sedangkan
hubungan kekuasaan sangat ditentukan oleh fasilitas yang dimiliki. Akumulasi
kepemilikan fasilitas ini semakin meningkatkan kemampuan di dalam mempengaruhi
perilaku pihak-pihak lain atau kemampuan dominasinya ( misalnya : elit politik
pemerintahan, guru agama dan pemuka agama). Akhirnya semua tindakan, termasuk
kekuasaan, selalu membutuhkan dasar pembenaran. Kerangka ini masuk di dalam
interaksi moralitas. Dasar pembenaran tindakan atau kekuasaan ini didapat dari
norma (hukum, tradisi, agama, aturan, kebiasaan) atau tatanan yang sah. Ketiga interaksi (komunikasi, kekuasaan,
moralitas) dan struktur yang dibentuk (pemaknaan, dominasi, legitimasi)
merupakan kesatuan integral, sedangkan pemisahan hanya pada tingkat analisis. Politik
radikalisme yang dihasilkan oleh fundamentalisme agama merupakan reaksi umpan
balik terhadap memudarnya identitas bangsa Indonesia dari aspek hubungan interaksi (komunikasi,
kekuasaan, moralitas) dan struktur yang dibentuk (pemaknaan, dominasi,
legitimasi) terhadap kepemilikan
identitas nasional suatu bangsa yang berangkat dari keragaman pluralitas
nilai-nilai identitas bersama, kebaikan bersama, nilai bersama dan legitimasi
kewenangan dalam lingkup negara-bangsa.
Kunci sukses radikalisme adalah kemampuan memberi kepastian dogmatis.
Indoktrinasi dogmatis yang diberikan adalah timbulnya ketidakpastian ekonomi
global yang melahirkan pengangguran dan ketidakadilan, radikalisme agama
menjanjikan ekonomi adil dan persaudaran melalui revolusi moral. Dengan cara ini
radikalisme memberi identitas pasti. Bukan hanya memberi janji, namun menjamin;
bukan atas dasar analisa, namun melandaskan pada keyakinan. Kemampuan memberi
kepastian bahwa kerumitan problematika pembangunan ekonomi dan ketimpangan
problem struktural sistem politik menciptakan ketegangan-ketegangan sosial.
Kepastian bahwa terdapat ketidakpastian ekonomi global yang melahirkan berbagai
macam kondisi yang menciptakan berbagai macam ketimpangan seperti yang terjadi
dalam masyarakat Indonesia saat ini. Bermacam-macam ketimpangan yang dikenal
adalah ketimpangan dalam pendidikan, ekonomi, kekuasaan, prestise-prestise
sosial, perbedaan-perbedaan etnis, agama, dst. Ketimpangan-ketimpangan ini
mencakup dimensi-dimensi eksploitasi, represi dan diskriminasi. Bukan hanya
jurang yang kaya dan miskin, melainkan juga perlakuan yang tidak sama terhadap
berbagai kelompok politis, agama dan suku di Indonesia telah menjadi tempat
persemaian konflik-konflik kolektif (Hardiman, 2010:86). Sebagaimana
ketimpangan sosial yang menjadi modus operandi fundamentalisme agama. Sikap kolektif, identitas kolektif,
kepentingan bersama, bentuk-bentuk ekspresi, ideologi, utopia, organisasi dan
mobilisasi bergerak ke arah pergerakan radikalisme ideoligisasi agama di
Indonesia yang menjustifikasikan kelemahan atau kekurangmampuan negara dalam
mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian fungsi
ideologi agama dalam hal ini lebih merupakan jembatan pengantar fundamentalisme
agama yang bergerak ke arah radikalisme ideologi agama yang berusaha menanamkan
satu persepsi bahwa setiap modus gerakan radikal agama menjanjikan setiap
anggotanya kembali hijrah menjadi individu bebas dari nilai-nilai inklusif
kewarganegaraan. Daya tarik gerakan radikal terletak dalam kemampuannya
menawarkan payung alternatif dalam wadah komunitas yang berdiri terpisah dari
masyarakat terbuka (open society)
sekitar mereka. Ia muncul mendengungkan seruan terbuka kembali ke identitas
dasar dan menyapa mereka yang ingin melakukan hijra (migrasi) internal
melindungi diri Dari noda dan godaan dunia luar (Hasan, 2010:15).
Merebaknya berbagai organisasi non formal agama yang berujung pada
konflik kekerasan kolektif (Islam :
Majelis Mujahidin Indonesia, Hisbut Tahrir, Gerakan NII, Amadiyah ) memunculkan
satu pertanyaan fundamental juga pada akhirnya. Apakah agama selalu menimbulkan
kekerasan yang merumuskan ideologi keagamaan vis a vis ideologi negara yaitu
Pancasila? Karakter pertanyaan seperti itu
lebih bersifat utopia ideologis
dan retoris. Untuk mengubahnya menjadi pertanyaan ilmiah, kita harus meninggalkan konsep agama yang
elusif. Seperti disebutkan di atas, konsep agama terlalu abstrak sehingga tidak
bisa dioperasionalisasikan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus membatasi
konsep agama pada aktor-aktor agama. Yang dimaksud dengan aktor agama ialah
orang yang dibentuk oleh komunitas agama dan yang bertindak dengan maksud untuk
menegakkan, menyebarkan, atau mempertahankan
nilai-nilai dan ajaran agamanya. Individu, kelompok, komunitas, atau bahkan negara yanh raison d’etre dibentuk oleh dan untuk
agama kita masukkan dalam kategori aktor agama. Dengan begitu sekarang, kita
dapat memilahkan dengan tegas mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor
agama dan mana yang bukan (Rakhmat, 2011:169). Aktor agama hidup di
tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman
nenek moyangnya. Perlahan tapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan
doktrin-doktrin keagamaan yang yang diterima secara umum. Ia
menginternalisasikannya setelah terlibat dengan agen-agen sosialisasi. Seperti
sekolah, madrasah, masjid, gereja, media, komunitas dan tokoh-tokohnya. Ada
tiga orientasi keagamaan . Ketiganya berkaitan dengan tingkat toleransi akan
perbedaan paham, yang pada gilirannya berhubungan dengan penggunaan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik. Berdasarkan
tiga orientasi itu kita mengidentifikasi tiga tipe aktor agama. Ekslusivis,
adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave”, daerah terlindung, yang
steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami
realitas, dan satu cara untuk menafsirkan teks-teks suci. Secara soteriologis (ilmu tentang keselamatan),
ia percaya hanya kelompok dia saja yang akan selamat. Kelompok yang lain
dijamin masuk neraka. Sebaliknya Inklusivis, mengakui adanya
keragaman tradisi, komunitas dan kebenaran. Semuanya adalah jalan menuju
kebenaran. Tetapi agama (baca, paham keagamaan) yang dianutnya tetaplah jalan
yang paling lurus, yang paling sempurna, di atas dan mencakup semua paham
keagamaan lainnya. Terakhir pluralis, menganggap bahwa kebenaran
bukan hanya milik satu tradisi atau komunitas keagamaan. Perbedaan komunitas
dan tradisi tidak dianggap sebagai penghalang yang harus dilenyapkan, tetapi
sebagai peluang untuk dialog. Ketiga
paham orientasi fundamentalisme agama yang dilakukan oleh aktor-aktor agama
tersebut hanya bisa hidup di dalam stateless
yang menurut Charles Kimball (When
Religions Become Evil, 2002) menyebut lima ciri agama yang sudah berubah
menjadi kejahatan (mengacu kepada faktor-faktor/institusi-institusi sekular
yang memicu motif tindakan kekerasan seperti kepentingan ekonomi, persoalan
etnis, nasionalisme, masalah politik):
a. Kalau institusi politik sudah
mempercayai kebenaran mutlak (absolute claims)
b. Menuntut kepatuhan membuta (blind
obedience)
c. Merencanakan masa depan yang gemilang (establishment of ideal times)
d. Menghalalkan segala cara (ends
justify means)
e. Menyatakan perang suci (declaring
holy war) : politik sudah menjadi agama
III. KESIMPULAN
Dalam konteks
dimensi ideologi Pancasila sebagai ideologi nasional, Baik fundamentalisme
pasar dan agama mendelegitimasi Kemampuan ideologi dalam
mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat.
Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat terpecah ke dalam dua kubu yang saling
memperjuangkan eksistensi masing-masing
fundamentalisme tersebut dengan saling berkompetisi demi mempertahankan status quo masing-masing dalam gelombang
globalisasi dunia.
Bagi para penganut fundamentalisme pasar, prinsip/dasar fundamentalis
yang mengontrol seluruh bidang kehidupan dalam tatanan masyarakat tidak ubahnya
seperti sebuah ideologi kontemporer yang mengangungkan privatisasi kebutuhan
dan keinginan masyarakat dengan melepas atribut kewarganegaraannya tanpa mau
didikte oleh berbagai regulasi negara sebagai aktor pengontrol utama kendali
perekonomian masyarakat negara-bangsa. Modus fundamentalisme pasar tersebut
lazim disebut dengan ideologi Neoliberalisme yang free fight liberalism. Kehadiran fundamentalisme agama merupakan
reaksi umpan balik bagi para penganutnya yang sebenarnya merupakan bagian dari
masyarakat yang termaginalkan dari arena kompetisi bebas para individu
neoliberalis akibat kurangnya kemampuan daya saing kompetisi mereka sebagai
dampak dari ketimpangan struktural kehidupan sosial yang terjadi di tengah
arena persaingan pasar ekonomi di atas. Baik para aktor fundamentalisme agama
yang eksklusif, inklusif maupun pluralis sebenarnya memiliki pola solusi yang
sama ketika berhadapan dengan para fundamentalis pasar. Mereka menggunakan
agama sebagai jalan utama perlawanan total terhadap dunia material pasar agar
kembali hijrah sebagai komunitas sosial yang menawarkan payung keamanan dunia
immateri yang jauh dari berbagai macam godaan nafsu materi globalisasi pasar
ekonomi dunia yang sistematis dan integral menjadi sebuah ideologi privatisasi
yang menafikan kebersamaan ruang sosial agama sebagai jalan kemaslahatan
negara-bangsa.
Kedua bentuk fundamentalisme inilah yang sebenarnya meng-antitesiskan-kann
Ideologi Pancasila yang sebenarnya memiliki kandungan ontologis, epistemologis
dan aksiologis pertumbuhan dan perkembangan Bangsa Indonesia yang diwarnai
dengan benturan politik identitas perbedaan sub-ideologi dalam bentuk agama, budaya,
ras maupun etnis. Prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, Kedaulatan rakyat
maupun keadilan sosial menjadi kelima prinsip dasar/sila yang oleh para kaum
fundamentalis pasar maupun agama diterminologikan sebagai fungsi ideologi
privatisasi eksklusif yang berlaku dalam interpretasi mikro sentris menurut
versi mereka sendiri, dan bukan digali dari eksplorasi para founding father Negara-Bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Alfian. (1992). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia
Ali, As’ad
Said. (2009). Negara Pancasila : Jalan
Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta : LP3ES Indonesia
Faulks,
Keith. (2010). Sosiologi Politik :
Pengantar Kritis. Bandung : Nusa Media
Hardiman,
F.Budi. (2011). Massa, Terror dan Trauma
: Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Yogyakarta : Lamalera
Haryatmoko.
(2010). Dominasi Penuh Muslihat : Akar
Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
B. Artikel Dalam Jurnal :
Hasan, Noorhaidi. (2010). Ideologi, Identitas dan ekonomi politik kekerasan : mencari Model Solusi mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme Di Indonesia. Prisma : Islam dan Dunia – Perjumpaan Di Tengah Perbenturan. LP3ES. Vol.29 (4) : 15
Hidayat,
Rizal.A. (2009). Quo vadis NeoLiberalisme Terhadap Ketahanan Konstelasi
Ekonomi-Politik Indonesia. Jurnal Studi
Diplomasi Dan Keamanan. FISIP HI UPN”Veteran” Yogyakarta. Vol.1 (2) : 167-168
Latif, Yudi.
(2009). Requiem Dini, Krisis Finansial dan Krisis Demokrasi. Prisma : Senjakala Kapitalisme dan Krisis
Demokrasi. LP3ES. Vol.28 (1) : 16
Priyono, B.Herry. (2011). Dua Nafsu Bertemu : Perihal Kaitan Fundamentalisme Agama dan Pasar. Prisma : Demokrasi Yang Dibajak –
Perselingkuhan Negara, Fundamentalisme Pasar dan Agama. LP3ES. Vol 6 (1) : 37
Rakhmat,
Jalaluddin. (2011). Benarkah Agama Menyebabkan
Tindakan Kekerasan ?. Prisma :
Demokrasi Yang Dibajak – Perselingkuhan Negara, Fundamentalisme Pasar dan Agama.
LP3ES. Vol 6 (1) : 169
Kompas, 26 Mei 2009
Kompas, 1 Oktober 2011