Oleh : Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH., MH [1]
Komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia
Pendahuluan
Jabatan hakim di satu sisi merupakan jabatan yang sangat mulia, dan di sisi lain, jika tidak hati-hati, dapat merendahkan martabatnya karena banyak godaan yang siap menjerumuskannya. Sebagaimana diketahui jabatan Hakim boleh dikatakan merupakan jabatan yang dekat sekali dengan godaan-godaan duniawi. Betapa tidak, di tangan seorang hakim nasib dan masa depan seseorang akan ditentukan. Orang yang tadinya kaya raya dan terkenal sebagai donator di lingkungannya misalnya, tiba-tiba jatuh martabatnya sebagai manusia karena masuk penjara akibat putusan hakim. Oleh karena itu sudah menjadi suatu pandangan umum apabila orang yang berurusan dengan pengadilan akan berusaha semaksimal mungkin, dengan segala cara (baca menghalalkan segala cara) melakukan segala hal asalkan putusan hakim dapat berpihak kepadanya.
Berkaitan dengan jabatan hakim, Nabi pernah berkata, “dua pertiga golongan hakim akan masuk neraka”. Pesan tersebut sepertinya sangat keras, dan sulit bagi hakim untuk menghindarkan diri dari ancaman tersebut. Mengapa Nabi berkata demikian? Tiada lain karena godaan yang akan dihadapi hakim dalam memutus suatu perkara sangat besar.
Sungguhpun godaan-godaan bagi seorang hakim sangat besar, namun jabatan hakim bukanlah sebuah jabatan yang tanpa makna, ia merupakan jabatan mulia sebagaimana telah disebut di atas. Mengapa demikian? Sebab, putusan hakim yang dilakukan secara jujur dan dengan menggunakan akal pikiran yang sungguh-sungguh, akan selalu menghasilkan nilai benar, sehingga muncul sebuah idiom: “justice cant do wrong”. Dalam bahasa agama, putusan hakim yang demikian dapat disebut “ijtihad”. Putusan hakim yang didasarkan atas ijtihad akan selalu mendapat nilai tambah, yakni: jika putusannya benar akan mendapatkan nilai tambah dua derajat, dan jika putusannya salahpun tetap akan mendapatkan nilai tambah, satu derajat. Putusan hakim yang bernilai ijtihad, bukan saja mengandung nilai kebenaran, namun juga akan dapat menghidarkan diri sang hakim dari perbuatan tercela sehingga ia akan terhindar terjerumus masuk ke dalam golongan dua pertiga hakim di atas.
Dengan berpijak pada pandangan atau visi sebagaimana diuraikan di atas, penulis ingin mecoba memberikan suatu solusi bagaimana agar seluruh putusan hakim itu mengandung nilai ijtihad (baca adil) dengan melalui peran Komisi Yudisial. Inilah pokok persoalan yang ingin dicoba dijawab oleh penulis dalam uraian singkat berikut ini. Akan tetapi, sebelum sampai kepada uraian yang akan menjawab persoalan ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dua kosa kata yang dekat dengan tugas Komisi Yudisial yaitu norma etika dan norma hukum.
Norma Moral dan Norma Hukum
Norma etika atau disebut juga dengan istilah norma moral berbeda dengan norma hukum[2]. Kalau norma hukum itu biasanya terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan dan sanksinya tegas[3], maka norma moral itu hidup dalam masyarakat dan sanksinya tidak tegas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak kewajiban moral (akhlak). Secara keilmuan, etika dapat digolongkan dalam etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif menggambarkan apa yang ditemukan di lapangan secara empiris, mengenai tingkah laku atau moralitas, seperti adat istiadat dan anggapan tentang perbuatan baik dan buruk atau patut dan tidak patut sekalipun belum ada aturannya dalam norma hukum. Etika normatif merupakan rangkaian sistem untuk memberikan petunjuk atau pedoman dalam mengambil keputusan, keputusan yang menyangkut baik dan buruk, patut dan tidak patut
Apabila norma etika dihubungkan dengan profesi, muncul pengertian etika profesi, yakni rambu-rambu etika yang pada dasarnya merupakan norma perilaku yang dirumuskan dan diterima dalam lingkungan internal oleh kelompok profesi yang bersangkutan dalam bentuk kode etik. Kode etik ini tentu dimaksudkan untuk ditatati dan bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi, sehingga penegakan kode etik dengan baik akan dapat mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi tersebut.
Dalam aliran hukum positifisme, Hart[4] menjelaskan bahwa tidak perlu ada hubungan antara norma moral dan norma hukum. Artinya, norma moral berdiri sendiri di samping norma hukum. Namun demikian, tidak seluruhnya kedua norma itu selalu harus terpisah, karena dalam bagian-bagian lain justru kedua norma tersebut kadang sulit dipisahkan. Sebagai contoh dapat disebut di sini, yaitu: norma dilarang membunuh, dilarang menipu, dilarang mencuri dan dilarang menfitnah. Semua contoh norma larangan itu juga merupakan norma hukum yang sekaligus mengandung unsur norma moral. Memang akan lebih baik apabila suatu norma moral dijadikan sebagai norma hukum melalui peraturan perundang-undangan, sehingga akan dapat dikenakan sanksi yang tegas, tidak seperti sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran norma moral. Selain itu, tingkat ketaatan terhadap norma hukum yang mengandung norma moral itu diharapkan akan lebih baik karena pada dasarnya masyarakat sudah lama mengenal norma tersebut dalam bentuk norma moral yang bersumber dalam hati nurani.
Norma moral yang disusun menjadi kode etik, sudah sewajarnya apabila dibuat sebaik dan seadil mungkin. Sebab, apalah artinya ada pengawasan terhadap perilaku hakim, kalau rumusan norma etikanya tidak mengandung prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kesetaraan. Dalam konteks ini mungkin perlu menengok naskah kode etik hakim The Bangalore Principles[5] (untuk selanjutnya ditulis Prinsip Bangalore), yang memuat prinsip-prinsip dasar perilaku hakim. Prinsip Bangalore adalah naskah kode etik perilaku hakim yang disusun dan disepakati bersama oleh perwakilan para hakim dari berbagai negara sebagai pedoman perilaku hakim di mana saja berada. Kesepakatan Prinsip Bangalore pertama kali dicetuskan di Bangalore, India, pada bulan Pebuari 2001. Pertemuan terakhir di Den Haag pada bulan November 2002, yang menghasilkan draft yang diberi judul “The Bangalore Principles of Judicial Conduct” dengan enam prinsip, yaitu: (1) kebebasan, (2) ketidakberpihakan, (3) integritas, (4) kesopanan, (5) kesetaraan, dan (6) kompetensi dan ketaan. Ke-enam prinsip tersebut secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut.
Prinsip kebebasan adalah suatu prasyarat terhadap aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu seorang hakim harus menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan. Prinisp ketidakberpihakan sangatlah penting agar seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak mengaharapkan imbalan, dan tanpa praduga. Seorang hakim harus memastikan bahwa perilakunya, baik di dalam ataupun di luar pengadilan, tetap terjaga. Prinsip integritas mengatur agar seorang hakim harus memastikan bahwa perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang wajar. Prinsip kesopanan mengharuskan seorang hakim menghindari perilaku dan citra yang tidak sopan dalam segala aktivitas hakim, serta harus rela menerima pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani oleh masyarakat. Prinsip kesetaraan, memastikan perlakuan yang sama terhadap semua orang dihadapan pengadilan. Seorang hakim harus menyadari dan memahami keberagaman masyarakat yang timbul dari berbagai sumber, seperti warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, dan etnis. Prinsip kompetensi dan ketaatan, menempatkan hakim pada posisi mengabdikan kegiatan profesionalnya di atas segala kegiatan lainnya. Seorang hakim akan mengambil langkah-langkah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan kualitas pribadi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Keenam prinsip Bangalore di atas telah dijadikan salah satu bahan rujukan dalam pembentukan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang disusun oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial[6].
Komisi Yudisial
Munculnya Komisi Yudisial bagi bangsa Indonesia merupakan suatu terobosan yang melahirkan pergesaran pengertian terhadap norma etika. Di atas Hart mengatakan bahwa norma moral (etika) tidak perlu berhubungan dengan norma hukum. Akan tetapi kini telah berkembang pemikiran perlunya norma moral diadopsi untuk dijadikan sebagai norma hukum dalam suatu undang-undang. Dalam hal ini, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dapat dijadikan sebagai suatu contoh kongkrit bahwa norma moral dapat diadopsi menjadi norma hukum. Oleh karena itu, pelanggaran atas norma tersebut akan dapat berakibat diberikan sanksi yang tegas, meskipun bukan dalam hukuman pidana, karena pelanggaran tersebut adalah pelanggaran atas kode etik perilaku hakim.
Misalnya, seorang hakim yang melakukan perbuatan tercela, yang jika dilihat dari sisi hukum, belum sampai kepada kualifikasi perbuatan pidana, akan tetapi tetap dapat diancam dengan sanksi. Sanksi yang diberikan bagi hakim yang terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik perilaku hakim sebagaimana disebut dalam Pasal 23 Ayat (1) UU Komisi Yudisial dapat berupa:
- teguran tertulis,
- pemberhentian sementara,
- pemberhentian.
Jadi Komisi Yudisial dapat berperan sebagai garda pertama dalam upaya pencegahan pelanggaran hukum. Dengan pengawasan etika perilaku hakim yang ketat diiringi ancaman sanksi administratip, akan membuat para hakim berpikir dua atau tiga kali jika ia akan melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Baru melakukan pelanggaran etika saja sudah dihadang dengan sanksi, apalagi kalau melanggar hukum. Kalau perilaku hakim terjaga dengan baik, maka harapan masyarakat untuk memperoleh putusan pengadilan yang adil akan mudah diwujudkan. Hakim yang tidak melanggar norma etika adalah hakim yang baik[7]. Dan ditangan hakim yang baik dihapkan akan menghasilkan keputusan yang adil.
Selama ini, memang yang namanya pelanggaran kode etik yang mengatur profesi tertentu biasanya akan diselesaikan oleh suatu dewan kehormatan kode etik, yang dibentuk sendiri oleh oraganisainya, dan ironisnya anggota majelis itu biasanya diambil dari dalam organisasi itu sendiri. Kondisi demikian tentu sangat tidak sehat, dan dapat mengundang penilaian negatif dari masyarakat, kerena teman sejawat diperiksa oleh teman sejawat sendiri. Dalam konteks ini akan sulit diharapkan kemandirian dan obyektifitas anggota majelis tersebut dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran perilaku yang dilakukan oleh temannya sendiri. Kecenderungan untuk membela korpnya biasanya sangat kuat. Komposisi anggota Majelis Keharmatan yang mayoritas dari dalam organisasinya kini sudah mulai ditinggalkan seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan belakangan diikuti oleh Mahkamah Agung (MA).
Mahkamah Konstitusi menentukan komposisi anggota Majelis Kehormatan terdiri atas 2 (dua) orang dari Hakim Konstitusi ditambah 3 (tiga) anggota dari luar. Tiga anggota Majelis Kehormatan dari luar tersebut terdiri atas seorang mantan Hakim Agung Mahkamah Agung, seorang praktisi hukum senior, dan seorang guru besar ilmu hukum[8] yang ketignya dicalonkan oleh Hakim Konstitusi dan dipilih oleh Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi setelah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan usul dan saran mengenai para calon Anggota Tamabahan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, namum sayang ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus dari unsur Hakim Konstitusi dan dipilih oleh Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Jadi sungguhpun Mahkamah Konstitusi sudah berupaya dengan menempatkan mayoritas anggota Majelis Kehormatannya dari luar, namun untuk jabatan Ketua Majelis Kehormatan masih dipersyaratkan harus dari dalam hakim Mahkamah Konstitusi[9]. Berbeda dengan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang belakangan dibentuk oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial. Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tanggal 8 September 2009, Ketua Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dapat berasal dari anggota Komisi Yudisial atau hakim agung tergantung pada siapa yang mementuknya. Apabila MKH dibentuk oleh MA maka ketua MKH berasal dari hakim agung dan seblaiknya apabila MKH dibentuk oleh Ketua Komisi Yudisial maka ketuanya diambil dari anggota Komisi Yudisial. Komposisi keanggotaan MKH terdiri atas 3 anggota dari hakim agung dan 4 orang dari komisioner Komisi Yudisial.
Pada awalnya masyarakat sangat berharap dengan munculnya lembaga pengawas perilaku hakim (Komisi Yudisial) tersebut akan dapat menjawab persoalan perilaku hakim yang dinilai kurag baik. Namun, baru dua tahun berjalan, kewenangan Komisi Yudisial banyak dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 005/PUU-IV/2006 yang dibacakan pada Rabu, 23 Agustus 2006[10]. Sebagian pertimbangan hukum yang dijadikan alasan MK dalam putusannya tersebut adalah UU KY telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam UU KY tidak disebutkan instrumen apa yang digunakan serta bagaimana proses pengawasan itu dilakukan.
Tugas Konstitusionalitas Komisi Yudisial
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 24B ayat (1), menyebutkan:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.***
Dengan memperhatikan rumusan ayat di atas, dapat ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut:
- Komisi Yudisial bersifat mandiri;
- berwenang mengusulkan calon hakim agung;
- menjaga kehormatan dan perilaku hakim;
- menegakan kehormatan hakim
Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas satu persatu mengani unsur-unsur di atas keculai fungsi mengusulkan calon hakim agung, sebab fungsi mengusulkan calon hakim agung ini dipandang sudah tidak menjadi persoalan lagi.
Sifat Mandiri
Istlah mendiri yang disebut di Pasal 24B di atas dapat diartikan bahwa Komisi Yudisial tidak berada di bawah lembaga negara lain baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Berbeda dengan istilah independen atau merdeka, istilah mandiri artinya berada di bawah atap sendiri tidak berada di bawah atap departemen atau badan lain. Sedangkan independen atau merdeka berarti di dalam memutus perkara seperti dilaksanakan dengan “bebas dari pengaruh eksekutif maupum segala kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihat pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan oleh undang-undang[11]. Pengalaman empiris pada tahun 1945-1959 hakim dan jaksa berada dibawah “atap” departemen (kementerian) kehakiman, artinya mereka tidak mandiri. Namun semua orang tahu baik hakim maupun jaksa sungguh-sungguh independen pada waktu itu. Jaksa Agung Suprapto menangkap menteri kehakiman yang secara administratif adalah atasannya.
Fungsi Menjaga
Istilah “menjaga” dan “menegakkan” sebagiaman disebut dalam Pasal 24B di atas mengandung pengertian yang berbeda. Istilah “menjaga” adalah upaya preventif sedangan “menegakkan” adalah upaya represif. Jika diperhatikan secara seksama UU KY hanya menyebut norma hukum yang terkait dengan fungsi penegakan, sedangkan norma hukum yang terkait dengan fungsi menjaga tidak disebut sama sekali. Untuk itu, ke depan dalam rangka revisi UU KY penting dimasukan norma hukum yang menerjemahkan lebih lanjut fungsi menjaga yang dimaksud dalam UUD 1945.
Fungsi menjaga sebagai upaya preventif tersebut sebenarnya dapat dilaksanakan melalui bentuk kegiatan antara lain memberikan pendidikan calon hakim serta pendidikan dan latihan hakim secara berkala. Pendidikan calon hakim tersebut dapat dilaksanakan bekerja sama dengan lembaga perguruan tinggi yang terkemuka. Sementara bentuk kegiatan pendidikan dan latihan secara berkala diberikan kepada hakim sebagai upaya penyegaran sikap mental hakim, yang dilaksanakanan melalui kerjasama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Selain itu, fungsi menjaga juga dapat direalisasikan dengan mengikut-sertakan Komisi Yudisial dalam memberikan penilaian hakim untuk kepentingan promosi dan mutasi jabatan hakim.
Kedua fungsi tersebut (pendidikan dan promosi hakiam) perlu diformulasikan dalam bentuk norma hukum pada revisi UU KY.
Fungsi Menegakan
Fungsi menegakan merupakan upaya represif dalam rangka mewujudkan tercipatanya kehormatan dan keluhuran hakim. Menegakan mengandung arti pendisiplinan, sehingga dalam melaksanakan fungsi ini sudah seharusnya diikuti dengan pemberian sanksi sebagimana disebut di bagian depan.
Jika dibandingkan dengan lembaga pengawas eksternal lainya, Komisi Yudisial sebenarnya lebih memiliki legitimasi yang kuat secara konstitsuional karena diatur langsung dlam UUD 1945. Naun, selama lima tahun terakhir ini dapat dikatakan, Komisi Yudisial tidak memiliki kekuatan melaksanakan fungsi menegakkan karena kewenangan sebagai pengawas hakim telah dipangkas oleh putusan MK seperti tersebut di atas. Beberapa rekomendasi terkait hakim yang “nakal” yang disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada Ketua Mahkamah Agung tidak pernah mendapatkan respon dan tanggapan. Padahal problematika pelaksanaan kekuasaan kehakiman bukan sebatas pada rule of law (penegakan hukum) melainkan juga pada pelaksanaan rule of ethic.
Fungsi Mengusulkan Calon Hakim Agung
Dalam melaksanakan fungsi mengusulkan calon hakim agung, seyogyanya Komisi Yudisial juga melibatkan peran Mahkamah Agung, selain lembaga independen lainnya. Mahkamah Agung sebagai pengguna hakim tentunya berkepentingan juga dengan kualitas hakim agung, apalagi calon hakim agung dapat diambil dari luar hakim. Ada tiga faktor yang perlu diteliti dalam rangkaian seleksi calon hakim agung. Pertama faktor kualitas moral atau integritas; kedua faktor kualitas keilmuan; dan ketiga faktor kesehatan.
Untuk menilai faktor kualitas moral perlu melibatkan para tokoh yang teruji integritasnya, dan untuk menilai kualitas keilmuan perlu melibatkan para hakim senior atau mantan hakim yang teruji bertintegritas kuat. Dalam pengujian kualitas keilmuan harus dihindari melibatkan orang-orang yang kemungkin besar suatu saat akan bertemu dalam menjalankan tunganya seperti advokat, ada konflik interes. Sementara penilaian kesehatan perlu dipikirkan faktor usia calon hakim dengan memberikan batas sehat yang tidak terlalu tinggi.
Selain itu, calon hakim agung yang terpilih sebelum diajukan ke DPR sebaiknya diwajibkan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan yang difokuskan pada penguatan sikap mental atau integritas yang dilaksanakan secara bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung serta melibatkan lembaga kegamaan. Penguatan sikap mental hakim ini penting mengingat sepirit putusan hakim yang adil akan sangat tergantung pada moralitas sang hakim.
Penutup.
Sebagaimana di sebut di atas, ada dua tugas pokok Komisi Yudisial, yang jika dilihat dari tingkat kesulitannya pelaksanaannya tidak sama. Tugas pertama (mengusulkan Hakim Agung kepada DPR) tentu tidak begitu sulit. Berbeda dengan tugas kedua, yakni melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim; tentunya akan mengalami banyak kesulitan, terutama mengingat jumlah hakim se-Indonsia yang akan diawasi mencapai ribuan orang. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pengawasan tanpa menggunakan metode yang tepat, akan sulit untuk dapat berjalan secara efektif. Tugas pengawasan ini dibedakan menjadi dua, yakni menjaga dalam pengertian preventif dan menegakan dalam arti represif. Fungsi menjaga sebagiamana disebut dalam Pasal 24B UUD 1945 belum banyak diterjemahkan dalam UU KY. Fungsi menjaga melalui pendidikan dan latihan akan lebih efektif mencegah perilaku buruk hakim daripada fungsi menegakan disiplin hakim.
Agar pengawasan efekti, akses publik terhadap kegiatan Komisi Yudisial, perlu dibuka lebar, dengan membuka situs di internet atau website, yang antara lain mencantumkan daftar nama atau identitas hakim dan program lainnya yang mendukung tugas pengawasan dan juga pencegahan dini atas pelanggaran norma etika.
Jakarta 6 Oktober 2010
Penulis,
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH., MH
[1]Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH , MH , dosen FH UNIB Bengkulu, dan Dosen Luar Biasa FH Usahid Jakata.
[2]Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Jakarta: Kanisius, 1990. hal. 16
[3]J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet.7 tahun 1977. hal. 10-11.
[4]W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. Pertama, 1990, hal.147.
[5]http://www.transparency.org/building_coalitions/codes/bangalore_conduct.html, diakses bulan Januari 2005.
[6]Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta, 2010, bagian Pembukaan, halaman 4.
[7]Bertens (1994) mengemukaan, etika memandang manusia dari segi dalam (batin), orang yang bersikap etis adalah orang yang benar-benar baik, sifatnya tidak bersiaft munafik. Baca:Abdulkadir Muhammad, SH, Etika Profesi Hukum, Bandung: Aditya Bakti, 2001, hal. 17.
[8]PMK No. 2/PMK/2003, Pasal 4 ayat (1) b.
[9]PMK No. 2/PMK/2003 Pasal 4 ayat (1) e.: “Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dipilih oleh Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari unsur Hakim Konstitusi”
[10]Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian UU No 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, diajukan oleh 31 orang hakim agung, ada lima pasal yang mengatur fungsi kewenangan yang disebut dalam Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e, 22 ayat (5), 23 ayat (2,3,5) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat.
[11]Andi Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah tahun 2003, halaman 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar