Jumat, 05 Desember 2014

TERCABUTNYA KEWENANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM MENYELENGGARAKAN PILKADA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013



Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pilkada bukan termasuk Rezim Pemilu oleh karenanya bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menanganinya, kemudian dipandang memiliki implikasi terhadap Konstitusionalitas kewenangan Komisi Pemilihan Umum bersama KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan Pilkada.
Pengaturan tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Konstitusi terdapat pada Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi :
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah”
Selanjutnya pada ayat (5) dikatakan bahwa :
“Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
Jika kita melihat pada Pasal 22E ayat (5) dan dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) dapat dikatakan bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri, dibentuk untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD.
Terkait dengan sifat KPU yang Nasional, tetap dan mandiri, diatur pada UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 dikatakan bahwa “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis.” Dan pada ayat (2) dikatakan bahwa “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tetap”.
Maka jika kita mengacu pada aturan dalam Konstitusi dan UU tentang Pemilihan Umum dapat disimpulkan bahwa Keberadaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten Kota adalah merupakan organ Pemilu yang bersifat hirarkis, nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan Pemilu.
Kesimpulan diatas sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 telah menyatakan bahwa pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga berdasarkan putusan ini menjadikan istilah KPUD tidak lagi digunakan dan diganti dengan KPU Provinsi, KPU Kabupaten dan Kota, dan menjadikan posisi KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota murni sebagai organ Pemilu yang Nasional, Mandiri dan Tetap.
Tercabutnya legal standing KPU dalam menyelenggarakan Pilkada semakin diperkuat dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada Perwakilan pada tanggal 26 september 2014. Pada Pasal 70 dikatakan :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan mengenai tugas, wewenang dan kewajiban penyelenggara pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Dengan dicabutnya semua ketentuan pengaturan tentang penyelenggaraan pilkada dari UU No. 15 Tahun 2011 tentang pemilu, semakin menegaskan legal standing KPU hanya untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum yang hanya untuk menyelenggarakan pemilihan DPR, DPD, Presiden danWakil Presiden serta DPRD.
Walaupun kemudian UU No. 22 Tahun 2014 ini dicabut oleh Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada langsung, tidak berarti apa yang telah dicabut oleh Pasal 70 UU No. 22 Tahun 2014 hidup kembali, karena dalam Lampiran kedua UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dikatakan bahwa :
“Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.”
Berdasarkan penjelasan diatas, diperkuat dengan Putusan 97/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pilkada bukan merupakan bagian “Rezim” Pemilihan Umum, maka oleh karenanya penyelenggaraan Pilkada yang masih menggunakan KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota (Organ Pemilu) dalam menyelenggarakannya adalah bertentangan dengan Konstitusi.
Berbeda dengan kewenangan Mahkamah Agung yang diatur dalam Konstitusi, Pasal 24A ayat (1) dikatakan bahwa :
“Mahkamah Agung Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”
Dalam hal ini secara tegas konstitusi memberikan kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk dapat memberikan wewenang lainnya kepada Mahkamah Agung. Berbeda dengan pengaturan kewenangan terhadap Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum.
Sementara dalam rumusan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa :
     “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”
Artinya ketentuan yang dimaksud dalam konstitusi adalah hal-hal yang menyangkut tentang pemilihan umum bukan Pilkada.
Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014, Paragraf [3.20] alinea kedua mahkamah menyatakan :
“Selain itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut hubungan antar lembaga Negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah terpaksa harus menerapkan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga Negara maka Mahkmah harus menerapkan penafsiran original intent, tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang kewenangan lembaga Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945. Apabila Mahkamah tidak membatasi dirinyadengan penafsiran rigid tetapi melakukan penafsiran yang sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur lembaga Negara dalam UUD 1945, sama artinya Mahkamah telah membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran pembentuk UUD 1945 dan akan menjadi sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan manakala Presiden didukung oleh kekuatan mayoritas DPR, atau bahkan Mahkamah sendiri yang mengambil alih fungsi Pembentuk UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945 melalui putusan-putusannya”
Dasar pertimbangan ini pula yang membuat Mahkamah dalam memutus Perkara No.97/PUU-XI/2013 dengan mengabulkan seluruhnya permohonan para pemohon.
Dalam hal kewenangan KPU dalam menyelenggarakan Pilkada telah melangggar prinsip dari apa yang telah dimaksud dalam Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014, karena konstitusi telah mengatur secara limitatif bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota hanya untuk menyelenggarakan Pemilu untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Artinya jika Perppu Pilkada nanti disetujui oleh DPR tetap akan menimbulkan persoalan dalam penyelenggaraannya, dimana KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota telah kehilangan legal standing dalam menyelenggarakan Pilkada, dan bersifat mutatis mutandis kepada kewenangan BAWASLU dan DKPP. Karena KPU, BAWASLU, DKPP adalah lembaga penyelenggara Pemilu bukan Pilkada.



-------------------------------
Oleh : Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK