Selasa, 17 Juni 2014

Kedudukan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya berdasarkan Perda DKI Jakarta No. 11 TAhun 1993 dalam Prespektif UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UUD NRI Tahun 1945


Air merupakan sumber kebutuhan pokok mannusia yang di karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pemanfaatan air haruslah digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu, maka air, bumi, dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya sudah seharusnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil, guna memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Negara harus berperan dalam memenuhi kebutuhan air bagi rakyatnya secara adil. Karena Negara memiliki kewenangan dalam hal menguasai air, bumi, dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Negara Kesatuan republic Indonesia merupakan Negara yang terdiri darai ribuan puau-pulau yang terbesar didunia. Limpahan air yang berlimpah dirasa sangatlah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya baik kini dan masa yang akan datang. Tetapi untuk memenuhi kebutuhan air , khususnya air minum untuk jangka waktu yang sangat panjang dibutuhkan manajemen pengelolaan air yang layak dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.

Belakangan ini persoalan mengenai air di DKI Jakarta menjadi isu yang sangat menarik kita cermati. Persoalan kualitas air yang buruk, tarif air yang relative mahal, dan persoalan-persoalan lainnya. Pengelolaan air minum di DKI Jakarta dikelola oleh pihak swasta sebagai mitra PAM Jaya dalam memenuhi kebutuhan air minum di DKI Jakarta Bahkan Sementara itu, penandatanganan kontrak dilakukan pada 6 Juni 1997 untuk masa konsesi 25 tahun, mulai 1 Februari 1998 hingga 31 Januari 2023. Dua operator asing tersebut adalah PT. Palyja dan PT. Aetra. Mereka ditunjuk langsung untuk menyediakan air minum bagi warga Jakarta. Namun, hasil kerja sama itu justru telah merugikan PAM Jaya. Pasalnya, kerja sama ini diperkirakan akan menimbulkan utang sebesar Rp 18,2 triliun kepada dua operator. Kerugian tersebut tentunya tidak sebanding dengan apa yang didapatkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air minum. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan, Bagaimana Kedudukan PAM Jaya dalam pengelolaan air  minum di DKI Jakarta guna memenuhi kebutuhan masyarakat sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum dan apakah kedudukan PAM Jaya yang diatur oleh Peraturan nomor 11 tahun 1993 tentang Pelayanan Air minum sudah sesuai dengan Perturan Perundang-undangan yang berlaku ? pembahasan ini dimaksudkan untuk memahami kedudukan PAM Jaya dalam pengelolaan air minum guna memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di wilayah DKI Jakarta dan mengetahui apakah kedudukan PAM Jaya yang di atur oleh Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum sesuai dengan Peraturan perundang-Undangan yang berlaku.

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum. Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).

Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:

1.  Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.

2.  Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.

Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.

Pada ketentuan Pasal 15 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
h. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;

sedangkan pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum Wilayah DKI Jakarta yang menyatakan:

(1) Gubernur Kepala Daerah menunjuk PAM JAYA sebagai pelaksanadalam pengusahaan, penyediaan, dan pendistribusian air minum.

Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa kedudukan PAM Jaya sebagai perusahaan daerah DKI Jakarta yang diberikan kewenangan secara atributif oleh Peraturan Daerah tersebut, maka PAM Jaya sangatlah berperan dan memiliki kedudukan yang cukup kuat dalam upaya menjalankan fungsinya guna memberikan pelayanan air minum kepada masyarakat DKI Jakarta. Dalam hal ini pemerintah provinsi DKI Jakarta yang diwakili oleh Kepala Daerah menunjuk PAM Jaya sebagai perusahaan daerah yang menjalankan pengusahaan, penyediaan, dan pendistribusian air minum secara adil untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apabila kita korelasikan dengan teori Negara kesejahteraan menurut W. Friedman bahwa hak menguasai Negara bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam tingkatan pelaksanaannya. Masyarakat wilayah DKI Jakarta kesulitan mendapatkan kualitas air yang bersih, air sering tidak mengalir dan tarif air yang dirasakan relative mahal oleh sebagian masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dirugikan atas buruknya mitra usaha dari PAM Jaya yaitu PT. Palyja dan PT. Aetra.  Artinya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dimungkinkan mendesak PAM Jaya untuk memutus hubungan kerja dalam bidang pelayanan air minum dengan kedua perusahaan swasta tersebut. Karena PAM Jaya sebagai mandataris Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pelaksana pelayanan air minum kepada masyarakat memiliki kewenangan dan hak menguasai atas air. oleh karena pelayanan air minum dirasakan oleh sebagian masyarakat DKI Jakarta belum merata dan secara adil dan tujuan pemanfaatan penggunaan air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi sulit tercapai. Namun persoalan pemutusan kerjasama tersebut harus diadakan re-negosiasi.

Pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air yang menyatakan bahwa “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara yang memiliki hak menguasa atas air dan sumber daya alam menjamin kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Tidak ada Norma  yang menjamin masyarakat Provinsi DKI Jakarta untuk mendapatkan air dengan kualitas bersih. Sehingga Negara seolah tidak ada ketika masyarakat mengalami persoalan pada tingkatan implementasi. Kemudian dalam konsideran Peraturan Daerah tersebut dalam kerangka filosofis tidak terdapat semangat “Dikuasai oleh Negara” yang diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945. Bahkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sendiripun tidak memasukkan frasa “Dikuasai Oleh Negara”. Hal ini menjadi sangat penting karena kerangka filosofis dalam sebuah perturan perundang-undangan adalah roh dari peraturan tersebut dibuat dan memahami semangat peraturan tersebut dibuat dan agar tidak ada pergeseran makna dalam pasal-pasalnya. Karena pasal-pasal tersebut akan mencerminkan nilai filosofis dari landasan filosofis dalam konsideran suatu peraturan serta agar sesuai dengan cita hokum dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dapat disimpulkan bahwa PAM Jaya memiliki kedudukan yang cukup sentral yang diberikan oleh Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam kaitannya pengelolaan air di wilayah DKI Jakarta guna memberikan pelayanan air kepada masyarakat secara adil dan demi kemakmuran rakyat. Apabila terjadi permasalahan ditingkatan implementasi yang diakibatkan oleh mitra usaha PAM Jaya yang teidak dapat memberikan pelayanan masyarakat di wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan maksimal dan merugikan kepentingan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat pada umumnya, maka PAM Jaya sudah seharusnya mengambilalih secara hokum peran pengolahan dan pendistribusian air minum dari swasta demi kepentingan masyarakat dan Negara.

Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum diWilayah Provinsi DKI Jakarta dalam perumusannya tidak sesuai dengan filosofis yang diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945. Karena peran Negara yang memiliki hak menguasai atas air dan kekayaan alam seolah terabaikan oleh karena dalam konsideran tidak memasukkan frasa “ Dikuasai oleh Negara”. sehingga seolah tidak merepresentasikan bahwa Negara hadir ketika terjadi persoalan pada tingkatan implementasi. Bahkan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air dalam kerangka filosofis semangat kedaulatan Negara yang di jawantahkan dengan frasa “Dikuasai Oleh Negara” tidak dapati. Berbeda dengan undang-undang sebelum perubahan. Hal ini berdampak serius, oleh karena kerangfka filosofis akan diderivasikan kedalam pasal-pasal yang kemudian menjadi norma hokum yang harus ditaati. Maka dari persoalan tersebut sudah selayaknya ada revisi terhadap Peraturan Daerah nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum Di Wilayah DKI Jakarta dan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Alternative jangka pendek yang dapat di tempuh adalah mencoba untuk re- negosiasi terkait kontrak yang telah di sepakati. Kemudian alternative jangka panjang adalah ketika membuat kesepakatan dalam kontrak dengan pihak swasta, sebaiknya memberikan tambahan klausul yang menyatakan pembatalan kontrak secara sepihak oleh pihak PAM Jaya apabila dikemudian hari pihak swasta tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam memenuhi pelayanan public disektor pengairan dan merugikan kepentingan umum serta keuangan Pemerintah Daerah. Klausul tersebut juga sebenarnya dapat di masukkan dikemudian hari pada peraturan daerah guna memperkuat kedudukan perusahaan-perusahaan daerah khususnya PAM Jaya. Dengan demikian apabila terjadi persoalan ditingkatan implementasi, maka pemerintah daerah yang diwakili oleh perusahaan daerah dapat mengambil langkah dengan cepat tanpa harus tersangkut masalah hukum.


Penulis :
Kurniawan
Ketua BEM FH Universitas Esa Unggul (Periode 2013-2014)
Kordum Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) Periode 2014-2016
PLT. Korwil ISMAHI Jakarta
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul


----------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Soehino. 2005. Ilmu Negara. Liberti Yogyakarta: Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan keempat.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum Di Wilayah DKI Jakarta.
http://www.lensaindonesia.com/2013/03/06/ahok-kerja-sama-pam-jaya-dan-pt-palyja-merugikan.html
http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/penafsiran-konsep-penguasaan-negara.html

Minggu, 15 Juni 2014

Mahkamah Konstitusi Telah Menyatakan Bahwa Pilkada Bukan Bagian dari Rezim Pemilu

Salah satu bentuk tuntutan reformasi adalah menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, baik ditingkat pusat (Presiden) hingga daerah (Kepala Daerah). Bentuk perwujudan semangat demokratis kepemimpinan ditingkat daerah yang diamanatkan dalam UUD 1945 (amandemen ke IV) adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang kemudian diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.

Pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah terjadi perubahan kedua oleh UU No. 12 Tahun 2008 yaitu pada Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi :

“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarka asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

Kemudian penguatan terhadap penyelenggaraan Pemilihan kepala Pilkada Langsung adalah dengan masuknya Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pada pasal 1 angka 4 yang berbunyi :

“Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada

Namun ternyata dalam penyelenggaraaannya ternyata tidak seperti yang harapkan, polemik terus terjadi dalam proses penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah seakan tidak memiliki akhir, Konflik Horizontal massa antar pendukung, massa dengan Aparat kepolisian, Massa dengan KPUD, Money Politic yang tidak terkontrol dan besarnya biaya politik (cost politic) yang mengakibatkan kepala daerah terpilih menjadi corrupt, hingga alokasi anggaran daerah yang cukup besar untuk penyelenggaraan Pilkada.

Sesungguhnya jika kita mengacu pada Konstitusi sebagai Aturan Dasar Negara (Grundnorm) aturan tentang Pilkada diatur pada BAB IV tentang Perintaah Daerah pasal 18 ayat (4) yang berbunyi:

Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Pemaknaan frasa dipilih secara demokratis inilah yang kemudian dimaknai berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang kemudian menjadi dasar masuknya pilkada kedalam rezim Pemilihan Umum yang diatur dalam UU Pemilu.

Sementara dalam pengaturan tentang pemilihan Umum yang ada pada UUD NRI Tahun 1945, BAB VIIB tentang Pemilihan Umum,  pasal 22E ayat (1) berbunyi :

“Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali”.

dan pada ayat (2) berbunyi :

Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”,

dalam hal ini berdasarkan ayat (1) penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara langsung umum bebas, rahasia, jujur dan adil adalah dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan serentak (mengacu kepada Putusan MK No.14/PUU-XI/2013). Kemudian pada ayat (2) tidak terdapat frasa untuk memilih Kepala Daerah.

Jika kita melihat salah satu prinsip umum pembentukan peraturan perundang-undangan, atau yang dikenal konsepsi tentang hierarki peraturan perundang-undangan, dimana aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya.

Perlu diingat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). (Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007).

Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya UU No. 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Ferbruari 1950.

Oleh karena itu perlu diingat bahwa, walaupun pasca amandemen Batang Tubuh dalam UUD NRI 1945 banyak mengalami perubahan namun Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan, tidak mengalami perubahan dan masih tetap berdasarkan Pancasila. Jadi jika kita mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan menjadi jelas bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum yang kemudian di derivasikan menjadi Konstitusi Negara yang tewujud dalam pasal-pasal dalam Batang Tubuh yang menjadi aturan dasar Negara (grundnorm) dalam membentuk peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Sehingga pemaknaan terhadap frasa “dipilih secara demokratis” yang terdapat pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 seharusnya dimaknai “pemilihan yang demokratis” yang berdasarkan pada Pancasila, seperti yang termaktub pada sila ke 4 (empat) yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

Menurut Palguna, secara sistematis, Pasal 22E UUD 1945 memulai pengaturan tentang pemilu dengan terlebih dahulu memuat ketentuan umum tentang asas dan periodisasi pemilu, sebagaimana diatur pada ayat (1)-nya yang mengatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”  Sementara itu, ayat (2) dari Pasal 22E UUD 1945 itu menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Jadi, secara sistematis, pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (1)  UUD 1945 itu adalah pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Jadi, tidak termasuk pemilihan kepala daerah. (Keterangan tertulis I Dewa Gede Palguna, dalam perkara 97/PUU-XI/2013 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani Sengketa Pilkada, Rabu, 05 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi)

Selanjutnya Palguna mengatakan bahwa argumentasi yang memasukkan pemilihan kepada daerah ke dalam pengertian pemilu juga tertolak karena alasan-alasan atau penalaran sebagai berikut:

1.  pertama, secara struktural, pengaturan tentang kepala daerah adalah bagian dari pengaturan tentang pemerintahan daerah sehingga ia tunduk pada ketentuan tentang pemerintahan daerah dalam UUD 1945, dalam hal ini Bab VI (yang mencakup Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B), termasuk tata cara pemilihannya;

2. kedua, tentang tata cara pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa kepala daerah itu dipilih secara demokratis, yang artinya ia dapat dipilih secara langsung ataupun secara tidak langsung;

3.  ketiga, dengan demikian, kalaupun pemilihan kepala daerah diterima sebagai bagian dari pemilu, quod non, penerimaan itu hanya berlaku tatkala pemilihan dilakukan secara langsung. Sedangkan jika pemilihan dilakukan melalui perwakilan, c.q. pemilihan melalui DPRD, yang menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dibenarkan, bukanlah pemilu, sebab salah satu asas pemilu, sebagaimana disebut dalam Pasal 22E ayat (1), yaitu asas langsung, tidak terpenuhi, padahal seluruh asas yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 itu adalah bersifat kumulatif. Selanjutnya, untuk hal yang disebut terakhir, karena bukan pemilu, jika terjadi sengketa dalam pemilihan kepada daerah melalui DPRD itu maka yang berwenang memutusnya bukanlah Mahkamah Konstitusi;

4.  keempat, berdasarkan alasan-alasan di atas maka menjadi aneh jika pada suatu waktu pemilihan kepada daerah adalah pemilu, yaitu tatkala dilaksanakan melalui pemilihan langsung (dan karena itu jika terjadi sengketa diputus oleh Mahkamah Konstitusi) sedangkan pada lain waktu ia bukan pemilu, yaitu manakala dilakukan tidak melalui pemilihan langsung melainkan lewat perwakilan, c.q. DPRD (dan karena itu jika terjadi sengketa bukan Mahkamah Konstitusi yang berwenang memutusnya). Padahal keduanya (baik pemilihan secara langsung maupun tidak langsung) berpegang pada landasan konstitusional yang sama, yaitu Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Argumentasi yang menyatakan bahwa Pilkada adalah bagian dari Rezim pemilu kemudian dipatahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menguji tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani sengketa Pilkada dengan dikabulkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan bahwa Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Artinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang lagi menangani sengketa Pilkada karena Pilkada bukan merupakan Rezim Pemilu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". Sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang menangani sengketa Pilkada oleh karena Pilkada bukanlah merupakan Rezim Pemilu.


Kiranya Penegakan Supremasi Konstitusi dapat terus diperjuangkan demi terciptanya NKRI yang berdasarkan pada Pancasila demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur. 


                                                                                                      Penulis :
                                                                                    Victor Santoso Tandiasa (VST)
                                                                                           Ketua Umum FKHK
                                                                                                 285544BA

Mana Yang Lebih Tinggi Putusan MA-RI (tentang Eksekusi Hak Tangungan) dan UU (Tentang Hak Tanggungan)? Agar Ada Kepastian Hukum Apa Yang Harus Dilaksanakan

Kekuatan Hukum Putusan Hakim
Putusan hakim yang lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru, yang sebelumnya tidak ada. Dengan putusan hakim, subyek hokum baik orang atau badan hukum yang sebelumnya tidak berhak menjadi memiliki hak demikian juga sebaliknya yang tadinya ia memiliki hak menjadi tidak memiliki hak. Dari segi hokum tata Negara putusan hakim atau vonis tergolong kedalam kelompok keputusan Negara. Keputusan Negara dalam bentuk lain, adalah keputusan Negara yang bersifat mengatur (regeling) seperti Peraturan Pemerintah, undang-undang dan peraturan lain, serta keputusan Negara yang bersifat penetapan adminitrasi (beschikhing) seperti Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan keputusan lainnya.[1].
            Ketiga jenis keputusan negara tersebut apabila dipandang tidak benar atau merugikan warga Negara, dapat dilakukan upaya perlawanan hukum melalui mekanisme pengajuan permohonan ke pengadilan. Untuk keputusan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat diajukan melalui judicial rivieu atau pengujian melui Mahkamah Agung apabila berupa peraturan perundang-undngan di bawah undang-undang, dan pengujian ke Mahkamah Konstitusi apabila yang diuji berupa undang-undang. Untuk keputusan Negara yang berupa penetapan administrasi dapat diajukan perlawanan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan untuk vonis hakim dilakukan melalui banding, kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi kecuali terhadap vonis hakim yang telah mempunyai kekuatan final. Dalam hal ini dikecualikan upaya hukum luar biasa atau peninjaun kembali (PK) atas putusan yang telah final apabila ditemukan bukti baru di lingkungan peradilan umum. Upaya hukum peninjauan kembali ini tidak berlaku bagi putusan Mahkamah Konstitusi.
            Terkait dengan putusan pengadilan ini, pada tahun 1984 Mahkmah Agung telah mengeluarkan norma hukum baru yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung No.3201/K/Pdt/1984 (selanjutnya ditulis Putusan MA 3201/1984) yang intinya menyatakan bahwa eksekusi hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan dengan serta merta harus melalui Ketua Pengadilan Negeri. Pertimbangan dalam putusan MA ini disebutkan bahwa agar tdak ada pihak yang dirugikan atas eksekusi hak tanggungan tersebut.
Terlepas dari pertimbangan hukum di atas, Putusan MA mengenai eksekusi hak tanggungan ini sebenarnya hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang mengajukan perkara tersebut ke pengadilan (Pasal 21 AB) Ini berbeda dengan peraturan undang-undangan yang dengan sendirinya memiliki kekuatan hokum mengikat secara umum sejak saat diundangkan. Jadi keputusan hakim tidak berlaku sebagai peraturan umum. Oleh karena itu, apabila ada kasus lain mengenai eksekusi hak tanggungan tidak selalu harus mengikuti Putusan MA tersebut. Ini sesuai dengan doktrin system hokum civil law yang juga diikuti di Indonesia.
Di Indonesia, putusan pengadilan (baca: putusan hakim) tidak serta merta harus diikuti oleh hakim lain yang memutus perkara yang sama dengan alasan putusan hakim sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Doktrin yurispurdensi tidak dikenal di Negara yang menganut aliran hokum civil law atau Eropa continental seperti Negara Indonesia. Dasar pembentukan norma hokum dalam system civil law adalah pembentukan undang-undang, tidak ada hokum kalau tidak diatur dalam undang-undang. Namun demikian tidak berarti hakim boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap (Baca Pasal 22 AB). Putusan yang dibuat oleh putusan hakim atas perkara yang  norma hukumnya tidak ada, tidak jelas atau tidak lengkap itu merupakan penemuan hokum (rechtsvinding). Putusan hakim yang menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang kongkrit yang dikenal dengan istilah rechtsvinding ini tidak sama dengan pengertian yurisprudensi yang dikenal di Negara-negara yang menganut system hokum common law. Arti yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang kemudian dijadikan dasar putusan hakim lainnya dalam mengadili perkara yang serupa dan seterunya akhrnya menjadi sumber hokum pagi pengadilan. Bagi Negara penganut system hokum common law, putusan hakim dapat menjadi yurisprudensi yang dipandang sebagai sumber hokum yang memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang.
Berdasarkan pandangan di atas maka Putusan MA tahun 1984 tentang eksekusi hak tanggungan tersebut apabila dijadikan dasar putusan hakim belakangan, menurut system hokum common law, akan menjadi yurisprudensi sehingga akan memiliki kekuatan hokum yang mengikat. Persolannya sekarang adalah bagaimana apabila diterapkan dalam Negara dengan system hokum civil law seperti Negara Indonseia, apakah Putusan MA no 3201/1984 memiliki kekuatan hokum yang mengikat secara umum layaknya sebuah undang-undang?. Uraian berikut akan mencoba menjawab pertanyaan ini.


Putusan MA dan Undang Undang
            Sepuluh tahun kemudian setelah putusan MA no 3201/1984, pada tahun 1996 Negara Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang hak tanggungan ini di dalam beberapa pasalnya mengatur juga perihal eksekusi hak tanggungan yang  sebelumnya pernah menjadi obyek Putusan Mahkamah Agung No. 3201 sebagaimana disebut di atas. Dengan demikian dalam praktek hokum terdapat dua norma hokum yang dapat dijadikan sebagau dasar hokum dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut. Di satu sisi mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan, di sisi lain pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dapat dilaksanakan atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Ketua Pengadilan sebagaimana disebut dalam Pasal 6 UUHT..
Pasal 6 UUHT secara jelas menyebutkan bahwa:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya  dari hasil penjualan tersebut”.
Memperhatikan bunyi Pasal 6 di atas, dapat ditarik beberapa unsur sebagai berikut:
  1. debitor cedera janji;
  2. hak menjual obyek hak tanggungan;
  3. penjualan obyek melalui pelelangan;
  4. hak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
Dengan demikian apabila unsur a terbukti/terpenuhi, maka pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan asalkan dilakukan melalui pelelangan, dan juga pemegang hak tanggungan berhak mengambil bagian dari hasil penjualannya itu untuk memenuhi membayar pelunsanan hutangnya pihak pemberi hak tanggungan.
Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tersebut maka dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji sebagaimana diperintahkan dalam 11 ayat (2) e yang berbunyi:  
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
Pemberian kewenangan untuk menjual sendiri atas obyek hak tanggungan melalui pelelangan ini sesuai dengan tujuan dikeluarkannya UUHT. Penjelasan umum UUHT angka 9 menyatakan, salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum  ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang  eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur  lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen  Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258  Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot  Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang berfungsi   sebagai surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah  dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN  YANG  MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan  putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain itu sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti  grosse acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan  sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglemen di atas. Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan  ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini,  bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,  peraturan mengenai eksekusi Hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen  tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 ayat (2) e yang cukup jelas itu, menjadi kabur apabila dikaitkan d engan Pasal 11 ayat (2) c yang berbunyi sebagai berikut:
”Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji.
Dalam Penjelasannya disebutkan, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Oleh  karena itu, janji tersebut haruslah disertai persyaratan bahwa pelaksanaannya masih  memerlukan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum mengeluarkan penetapan  tersebut Ketua Pengadilan Negeri perlu memanggil dan mendengar pihak-pihak yang  berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan serta  debitor apabila pemberi Hak Tanggungan bukan debitor
Sungguhpun keterlibatan Ketua Pengeadilan Negari berdasarkan bunyi Pasal 11 ayat (2) c tersebut hanya sebatas pengaturan “pengelolaan” obyek hak tanggungan oleh kriditor, kata “pengelolaan” ini dapat dikembangkan penafsirannya sehingga termasuk pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 6 UUHT. Penafsiran demikian dapat dianggap mengada-ngada karena dalam Penjelasan Umum UUHT angka 10 sendiri memberikan batasan “pengelolaan” yang mencakup hal-hal penetapan yang berkaitan dengan permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan, dan pencoretan  Hak Tanggungan. Tidak ada kata-kata “eksekusi hak tanggungan”.
Berdasarkan pembahasan di atas dan dilihat dari tujuan UUHT tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal 6 dan. Pasal 11 ayat (2) huruf e sudah jelas  memberi hak kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan, dan dalam hal Pemberi hak (debitur) cidera janji Pemegang hak hanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Sebagaimana  disebutkan di atas, UUHT lahir belakangan  setelah Putusan MA tentang eksekusi hak tanggungan, maka dapat diartikan bahwa praktek eksekusi hak tanggungan yang selama itu mengacu kepada Putusan MA tesebut, setelah berlakunya UUHT dapat mengikuti norma hukum yang diatur dalam Pasl 6 jo Pasal 11 ayat (2) yang telah memberikan hak eksekusi sendiri atas obyek hak tanggungan sesuai dengan yang telah dijanjikan dalam akte hak tanggungan. Apalagi Putusan MA itu bukan norma hukum yang bersifat umum tetapi hanya mengikat kepada para pihak yang bersangkutan, meskipun dari segi hukum tata negara keduanya sama-sama tergolong ke dalam Keputusan Negara. Sebagai Keputusan Negara keduanya sama-sama mengikat warga negara hanya berbeda dalam ruang lingkup keberlakuannya. Putusan Pengadilan mengikat para pihak yang bersangkutan, sedangkan undang-undang mengikat secara umum.
Kedua Keputusan negara itupun tidak berada dalam posisi hirarkhi atau berjenjang sebagaimana norma hukum dalam peraturan perundang-undang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ditinjau dari sisi norma hukum, antara Putusan MA dan UUHT yang mengatur hak eksekusi hak tanggungan tidak ada persoalan. Perosalan baru muncul ketika norma hukum tersebut berhadapan dengan praktek. Lembaga Negara yang semestinya melaksanakan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasl 6 UUHT tidak mau melaksanakannya dengan alasan terdapat Putusan MA aquo.

Penutup dan Solusi
Oleh karena persoalannya berada dalam praktek, pada dataran penerapan hukumnya maka ketidkapastian hukum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan itu bukan terjadi karena akibat adanya UUHT itu sendiri, melainkan karena ketidak-sediaan atau keengganan dari lembaga negara yang diberi kewenangan mengatur pelelangan untuk melaksanakan tugasnya..
Oleh karena itu apabila ingin dilakukan judicial rivieu, pengujian UUHT ke Mahkamah Konstitusi akan dianggap salah alamat, karena UUHT itu sendiri sebenarnya tidak merugikan pihak kriditur bahkan jutru memudahkan pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan eksekusi apabila Pemberi hak tanggungan cidera janji. Salah satu syarat agar sebuah undang-undang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi adalah apabila undang-undang atau pasal-pasal atau ayat-ayat atau rumusan anak kalimat dalam undang-undang itu merugikan warga negara.
            Namun demikian, apabila ketentuan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 6 UUHT ditafsirkan oleh Pengadilan (setelah UUHT diundangkan) masih sama dengan bunyi Putusan MA No 3201/1984 terdahulu, maka dalam ini bukan lagi mengenai penerapan hukum malainkan sudah ada penafsiran baru terhadap Pasal 6 UUHT. Artinya pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan. Jika hal demikian terjadi maka Pasal 6 UUHT yang telah ditafsirkan tersebut dapat diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan akan diberikan tafsir yang berderajat konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat ini akan didapat kepastian hukum yang mengikat semua warga negara, dan lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung.

Jakarta, Selasa 20 Januari 2009
Disampaikan dalam Seminar Nasional “QUO VADIS HAK EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN”, diselenggarakan oleh LPSH HILC, di Hotel Sahid Jakarta, Selasa, 20 Januari 2009.

Penulis,
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH., MH
Komisioner Komisi Yudisial RI, 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Penulis Buku Hukum Konstitusi, Jakarta: Ghalia Indonesia Tahun 1994.

Email: tsyahuri@yahoo.com / Hp 081310515825



[1]Jimly Ashiddiqie, Perihal Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta: Setjen MKRI, 2006 hal. ..