Minggu, 15 Juni 2014

Mahkamah Konstitusi Telah Menyatakan Bahwa Pilkada Bukan Bagian dari Rezim Pemilu

Salah satu bentuk tuntutan reformasi adalah menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, baik ditingkat pusat (Presiden) hingga daerah (Kepala Daerah). Bentuk perwujudan semangat demokratis kepemimpinan ditingkat daerah yang diamanatkan dalam UUD 1945 (amandemen ke IV) adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang kemudian diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.

Pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah terjadi perubahan kedua oleh UU No. 12 Tahun 2008 yaitu pada Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi :

“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarka asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

Kemudian penguatan terhadap penyelenggaraan Pemilihan kepala Pilkada Langsung adalah dengan masuknya Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pada pasal 1 angka 4 yang berbunyi :

“Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada

Namun ternyata dalam penyelenggaraaannya ternyata tidak seperti yang harapkan, polemik terus terjadi dalam proses penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah seakan tidak memiliki akhir, Konflik Horizontal massa antar pendukung, massa dengan Aparat kepolisian, Massa dengan KPUD, Money Politic yang tidak terkontrol dan besarnya biaya politik (cost politic) yang mengakibatkan kepala daerah terpilih menjadi corrupt, hingga alokasi anggaran daerah yang cukup besar untuk penyelenggaraan Pilkada.

Sesungguhnya jika kita mengacu pada Konstitusi sebagai Aturan Dasar Negara (Grundnorm) aturan tentang Pilkada diatur pada BAB IV tentang Perintaah Daerah pasal 18 ayat (4) yang berbunyi:

Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Pemaknaan frasa dipilih secara demokratis inilah yang kemudian dimaknai berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang kemudian menjadi dasar masuknya pilkada kedalam rezim Pemilihan Umum yang diatur dalam UU Pemilu.

Sementara dalam pengaturan tentang pemilihan Umum yang ada pada UUD NRI Tahun 1945, BAB VIIB tentang Pemilihan Umum,  pasal 22E ayat (1) berbunyi :

“Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali”.

dan pada ayat (2) berbunyi :

Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”,

dalam hal ini berdasarkan ayat (1) penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara langsung umum bebas, rahasia, jujur dan adil adalah dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan serentak (mengacu kepada Putusan MK No.14/PUU-XI/2013). Kemudian pada ayat (2) tidak terdapat frasa untuk memilih Kepala Daerah.

Jika kita melihat salah satu prinsip umum pembentukan peraturan perundang-undangan, atau yang dikenal konsepsi tentang hierarki peraturan perundang-undangan, dimana aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya.

Perlu diingat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). (Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007).

Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya UU No. 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Ferbruari 1950.

Oleh karena itu perlu diingat bahwa, walaupun pasca amandemen Batang Tubuh dalam UUD NRI 1945 banyak mengalami perubahan namun Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan, tidak mengalami perubahan dan masih tetap berdasarkan Pancasila. Jadi jika kita mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan menjadi jelas bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum yang kemudian di derivasikan menjadi Konstitusi Negara yang tewujud dalam pasal-pasal dalam Batang Tubuh yang menjadi aturan dasar Negara (grundnorm) dalam membentuk peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Sehingga pemaknaan terhadap frasa “dipilih secara demokratis” yang terdapat pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 seharusnya dimaknai “pemilihan yang demokratis” yang berdasarkan pada Pancasila, seperti yang termaktub pada sila ke 4 (empat) yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

Menurut Palguna, secara sistematis, Pasal 22E UUD 1945 memulai pengaturan tentang pemilu dengan terlebih dahulu memuat ketentuan umum tentang asas dan periodisasi pemilu, sebagaimana diatur pada ayat (1)-nya yang mengatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”  Sementara itu, ayat (2) dari Pasal 22E UUD 1945 itu menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Jadi, secara sistematis, pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (1)  UUD 1945 itu adalah pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Jadi, tidak termasuk pemilihan kepala daerah. (Keterangan tertulis I Dewa Gede Palguna, dalam perkara 97/PUU-XI/2013 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani Sengketa Pilkada, Rabu, 05 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi)

Selanjutnya Palguna mengatakan bahwa argumentasi yang memasukkan pemilihan kepada daerah ke dalam pengertian pemilu juga tertolak karena alasan-alasan atau penalaran sebagai berikut:

1.  pertama, secara struktural, pengaturan tentang kepala daerah adalah bagian dari pengaturan tentang pemerintahan daerah sehingga ia tunduk pada ketentuan tentang pemerintahan daerah dalam UUD 1945, dalam hal ini Bab VI (yang mencakup Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B), termasuk tata cara pemilihannya;

2. kedua, tentang tata cara pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa kepala daerah itu dipilih secara demokratis, yang artinya ia dapat dipilih secara langsung ataupun secara tidak langsung;

3.  ketiga, dengan demikian, kalaupun pemilihan kepala daerah diterima sebagai bagian dari pemilu, quod non, penerimaan itu hanya berlaku tatkala pemilihan dilakukan secara langsung. Sedangkan jika pemilihan dilakukan melalui perwakilan, c.q. pemilihan melalui DPRD, yang menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dibenarkan, bukanlah pemilu, sebab salah satu asas pemilu, sebagaimana disebut dalam Pasal 22E ayat (1), yaitu asas langsung, tidak terpenuhi, padahal seluruh asas yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 itu adalah bersifat kumulatif. Selanjutnya, untuk hal yang disebut terakhir, karena bukan pemilu, jika terjadi sengketa dalam pemilihan kepada daerah melalui DPRD itu maka yang berwenang memutusnya bukanlah Mahkamah Konstitusi;

4.  keempat, berdasarkan alasan-alasan di atas maka menjadi aneh jika pada suatu waktu pemilihan kepada daerah adalah pemilu, yaitu tatkala dilaksanakan melalui pemilihan langsung (dan karena itu jika terjadi sengketa diputus oleh Mahkamah Konstitusi) sedangkan pada lain waktu ia bukan pemilu, yaitu manakala dilakukan tidak melalui pemilihan langsung melainkan lewat perwakilan, c.q. DPRD (dan karena itu jika terjadi sengketa bukan Mahkamah Konstitusi yang berwenang memutusnya). Padahal keduanya (baik pemilihan secara langsung maupun tidak langsung) berpegang pada landasan konstitusional yang sama, yaitu Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Argumentasi yang menyatakan bahwa Pilkada adalah bagian dari Rezim pemilu kemudian dipatahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menguji tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani sengketa Pilkada dengan dikabulkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan bahwa Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Artinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang lagi menangani sengketa Pilkada karena Pilkada bukan merupakan Rezim Pemilu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". Sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang menangani sengketa Pilkada oleh karena Pilkada bukanlah merupakan Rezim Pemilu.


Kiranya Penegakan Supremasi Konstitusi dapat terus diperjuangkan demi terciptanya NKRI yang berdasarkan pada Pancasila demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur. 


                                                                                                      Penulis :
                                                                                    Victor Santoso Tandiasa (VST)
                                                                                           Ketua Umum FKHK
                                                                                                 285544BA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar