Minggu, 15 Juni 2014

Mana Yang Lebih Tinggi Putusan MA-RI (tentang Eksekusi Hak Tangungan) dan UU (Tentang Hak Tanggungan)? Agar Ada Kepastian Hukum Apa Yang Harus Dilaksanakan

Kekuatan Hukum Putusan Hakim
Putusan hakim yang lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru, yang sebelumnya tidak ada. Dengan putusan hakim, subyek hokum baik orang atau badan hukum yang sebelumnya tidak berhak menjadi memiliki hak demikian juga sebaliknya yang tadinya ia memiliki hak menjadi tidak memiliki hak. Dari segi hokum tata Negara putusan hakim atau vonis tergolong kedalam kelompok keputusan Negara. Keputusan Negara dalam bentuk lain, adalah keputusan Negara yang bersifat mengatur (regeling) seperti Peraturan Pemerintah, undang-undang dan peraturan lain, serta keputusan Negara yang bersifat penetapan adminitrasi (beschikhing) seperti Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan keputusan lainnya.[1].
            Ketiga jenis keputusan negara tersebut apabila dipandang tidak benar atau merugikan warga Negara, dapat dilakukan upaya perlawanan hukum melalui mekanisme pengajuan permohonan ke pengadilan. Untuk keputusan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat diajukan melalui judicial rivieu atau pengujian melui Mahkamah Agung apabila berupa peraturan perundang-undngan di bawah undang-undang, dan pengujian ke Mahkamah Konstitusi apabila yang diuji berupa undang-undang. Untuk keputusan Negara yang berupa penetapan administrasi dapat diajukan perlawanan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan untuk vonis hakim dilakukan melalui banding, kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi kecuali terhadap vonis hakim yang telah mempunyai kekuatan final. Dalam hal ini dikecualikan upaya hukum luar biasa atau peninjaun kembali (PK) atas putusan yang telah final apabila ditemukan bukti baru di lingkungan peradilan umum. Upaya hukum peninjauan kembali ini tidak berlaku bagi putusan Mahkamah Konstitusi.
            Terkait dengan putusan pengadilan ini, pada tahun 1984 Mahkmah Agung telah mengeluarkan norma hukum baru yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung No.3201/K/Pdt/1984 (selanjutnya ditulis Putusan MA 3201/1984) yang intinya menyatakan bahwa eksekusi hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan dengan serta merta harus melalui Ketua Pengadilan Negeri. Pertimbangan dalam putusan MA ini disebutkan bahwa agar tdak ada pihak yang dirugikan atas eksekusi hak tanggungan tersebut.
Terlepas dari pertimbangan hukum di atas, Putusan MA mengenai eksekusi hak tanggungan ini sebenarnya hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang mengajukan perkara tersebut ke pengadilan (Pasal 21 AB) Ini berbeda dengan peraturan undang-undangan yang dengan sendirinya memiliki kekuatan hokum mengikat secara umum sejak saat diundangkan. Jadi keputusan hakim tidak berlaku sebagai peraturan umum. Oleh karena itu, apabila ada kasus lain mengenai eksekusi hak tanggungan tidak selalu harus mengikuti Putusan MA tersebut. Ini sesuai dengan doktrin system hokum civil law yang juga diikuti di Indonesia.
Di Indonesia, putusan pengadilan (baca: putusan hakim) tidak serta merta harus diikuti oleh hakim lain yang memutus perkara yang sama dengan alasan putusan hakim sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Doktrin yurispurdensi tidak dikenal di Negara yang menganut aliran hokum civil law atau Eropa continental seperti Negara Indonesia. Dasar pembentukan norma hokum dalam system civil law adalah pembentukan undang-undang, tidak ada hokum kalau tidak diatur dalam undang-undang. Namun demikian tidak berarti hakim boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap (Baca Pasal 22 AB). Putusan yang dibuat oleh putusan hakim atas perkara yang  norma hukumnya tidak ada, tidak jelas atau tidak lengkap itu merupakan penemuan hokum (rechtsvinding). Putusan hakim yang menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang kongkrit yang dikenal dengan istilah rechtsvinding ini tidak sama dengan pengertian yurisprudensi yang dikenal di Negara-negara yang menganut system hokum common law. Arti yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang kemudian dijadikan dasar putusan hakim lainnya dalam mengadili perkara yang serupa dan seterunya akhrnya menjadi sumber hokum pagi pengadilan. Bagi Negara penganut system hokum common law, putusan hakim dapat menjadi yurisprudensi yang dipandang sebagai sumber hokum yang memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang.
Berdasarkan pandangan di atas maka Putusan MA tahun 1984 tentang eksekusi hak tanggungan tersebut apabila dijadikan dasar putusan hakim belakangan, menurut system hokum common law, akan menjadi yurisprudensi sehingga akan memiliki kekuatan hokum yang mengikat. Persolannya sekarang adalah bagaimana apabila diterapkan dalam Negara dengan system hokum civil law seperti Negara Indonseia, apakah Putusan MA no 3201/1984 memiliki kekuatan hokum yang mengikat secara umum layaknya sebuah undang-undang?. Uraian berikut akan mencoba menjawab pertanyaan ini.


Putusan MA dan Undang Undang
            Sepuluh tahun kemudian setelah putusan MA no 3201/1984, pada tahun 1996 Negara Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang hak tanggungan ini di dalam beberapa pasalnya mengatur juga perihal eksekusi hak tanggungan yang  sebelumnya pernah menjadi obyek Putusan Mahkamah Agung No. 3201 sebagaimana disebut di atas. Dengan demikian dalam praktek hokum terdapat dua norma hokum yang dapat dijadikan sebagau dasar hokum dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut. Di satu sisi mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan, di sisi lain pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dapat dilaksanakan atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Ketua Pengadilan sebagaimana disebut dalam Pasal 6 UUHT..
Pasal 6 UUHT secara jelas menyebutkan bahwa:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya  dari hasil penjualan tersebut”.
Memperhatikan bunyi Pasal 6 di atas, dapat ditarik beberapa unsur sebagai berikut:
  1. debitor cedera janji;
  2. hak menjual obyek hak tanggungan;
  3. penjualan obyek melalui pelelangan;
  4. hak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
Dengan demikian apabila unsur a terbukti/terpenuhi, maka pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan asalkan dilakukan melalui pelelangan, dan juga pemegang hak tanggungan berhak mengambil bagian dari hasil penjualannya itu untuk memenuhi membayar pelunsanan hutangnya pihak pemberi hak tanggungan.
Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tersebut maka dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji sebagaimana diperintahkan dalam 11 ayat (2) e yang berbunyi:  
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
Pemberian kewenangan untuk menjual sendiri atas obyek hak tanggungan melalui pelelangan ini sesuai dengan tujuan dikeluarkannya UUHT. Penjelasan umum UUHT angka 9 menyatakan, salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum  ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang  eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur  lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen  Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258  Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot  Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang berfungsi   sebagai surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah  dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN  YANG  MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan  putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain itu sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti  grosse acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan  sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglemen di atas. Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan  ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini,  bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,  peraturan mengenai eksekusi Hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen  tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 ayat (2) e yang cukup jelas itu, menjadi kabur apabila dikaitkan d engan Pasal 11 ayat (2) c yang berbunyi sebagai berikut:
”Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji.
Dalam Penjelasannya disebutkan, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Oleh  karena itu, janji tersebut haruslah disertai persyaratan bahwa pelaksanaannya masih  memerlukan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum mengeluarkan penetapan  tersebut Ketua Pengadilan Negeri perlu memanggil dan mendengar pihak-pihak yang  berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan serta  debitor apabila pemberi Hak Tanggungan bukan debitor
Sungguhpun keterlibatan Ketua Pengeadilan Negari berdasarkan bunyi Pasal 11 ayat (2) c tersebut hanya sebatas pengaturan “pengelolaan” obyek hak tanggungan oleh kriditor, kata “pengelolaan” ini dapat dikembangkan penafsirannya sehingga termasuk pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 6 UUHT. Penafsiran demikian dapat dianggap mengada-ngada karena dalam Penjelasan Umum UUHT angka 10 sendiri memberikan batasan “pengelolaan” yang mencakup hal-hal penetapan yang berkaitan dengan permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan, dan pencoretan  Hak Tanggungan. Tidak ada kata-kata “eksekusi hak tanggungan”.
Berdasarkan pembahasan di atas dan dilihat dari tujuan UUHT tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal 6 dan. Pasal 11 ayat (2) huruf e sudah jelas  memberi hak kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan, dan dalam hal Pemberi hak (debitur) cidera janji Pemegang hak hanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Sebagaimana  disebutkan di atas, UUHT lahir belakangan  setelah Putusan MA tentang eksekusi hak tanggungan, maka dapat diartikan bahwa praktek eksekusi hak tanggungan yang selama itu mengacu kepada Putusan MA tesebut, setelah berlakunya UUHT dapat mengikuti norma hukum yang diatur dalam Pasl 6 jo Pasal 11 ayat (2) yang telah memberikan hak eksekusi sendiri atas obyek hak tanggungan sesuai dengan yang telah dijanjikan dalam akte hak tanggungan. Apalagi Putusan MA itu bukan norma hukum yang bersifat umum tetapi hanya mengikat kepada para pihak yang bersangkutan, meskipun dari segi hukum tata negara keduanya sama-sama tergolong ke dalam Keputusan Negara. Sebagai Keputusan Negara keduanya sama-sama mengikat warga negara hanya berbeda dalam ruang lingkup keberlakuannya. Putusan Pengadilan mengikat para pihak yang bersangkutan, sedangkan undang-undang mengikat secara umum.
Kedua Keputusan negara itupun tidak berada dalam posisi hirarkhi atau berjenjang sebagaimana norma hukum dalam peraturan perundang-undang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ditinjau dari sisi norma hukum, antara Putusan MA dan UUHT yang mengatur hak eksekusi hak tanggungan tidak ada persoalan. Perosalan baru muncul ketika norma hukum tersebut berhadapan dengan praktek. Lembaga Negara yang semestinya melaksanakan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasl 6 UUHT tidak mau melaksanakannya dengan alasan terdapat Putusan MA aquo.

Penutup dan Solusi
Oleh karena persoalannya berada dalam praktek, pada dataran penerapan hukumnya maka ketidkapastian hukum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan itu bukan terjadi karena akibat adanya UUHT itu sendiri, melainkan karena ketidak-sediaan atau keengganan dari lembaga negara yang diberi kewenangan mengatur pelelangan untuk melaksanakan tugasnya..
Oleh karena itu apabila ingin dilakukan judicial rivieu, pengujian UUHT ke Mahkamah Konstitusi akan dianggap salah alamat, karena UUHT itu sendiri sebenarnya tidak merugikan pihak kriditur bahkan jutru memudahkan pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan eksekusi apabila Pemberi hak tanggungan cidera janji. Salah satu syarat agar sebuah undang-undang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi adalah apabila undang-undang atau pasal-pasal atau ayat-ayat atau rumusan anak kalimat dalam undang-undang itu merugikan warga negara.
            Namun demikian, apabila ketentuan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 6 UUHT ditafsirkan oleh Pengadilan (setelah UUHT diundangkan) masih sama dengan bunyi Putusan MA No 3201/1984 terdahulu, maka dalam ini bukan lagi mengenai penerapan hukum malainkan sudah ada penafsiran baru terhadap Pasal 6 UUHT. Artinya pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan. Jika hal demikian terjadi maka Pasal 6 UUHT yang telah ditafsirkan tersebut dapat diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan akan diberikan tafsir yang berderajat konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat ini akan didapat kepastian hukum yang mengikat semua warga negara, dan lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung.

Jakarta, Selasa 20 Januari 2009
Disampaikan dalam Seminar Nasional “QUO VADIS HAK EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN”, diselenggarakan oleh LPSH HILC, di Hotel Sahid Jakarta, Selasa, 20 Januari 2009.

Penulis,
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH., MH
Komisioner Komisi Yudisial RI, 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Penulis Buku Hukum Konstitusi, Jakarta: Ghalia Indonesia Tahun 1994.

Email: tsyahuri@yahoo.com / Hp 081310515825



[1]Jimly Ashiddiqie, Perihal Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta: Setjen MKRI, 2006 hal. ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar