Selasa, 28 Juli 2015

BENARKAH PERLAWANAN HAKIM SARPIN RIZALDI TERHADAP KOMISI YUDISIAL?



Bahwa akhir-akhir ini publik disibukkan dengan pemberitaan penetapan tersangka dua Komisioner Komisi Yudisial (KY) yang diduga melakukan pencemaran nama baik Hakim Sarpin. Tidak jelas apa yang  menjadi dasar Hakim Sarpin merasa dicemarkan nama baiknya sebagai pribadi. Oleh karena yang dilakukan oleh kedua Komisioner KY mengomentari putusan hakim sarpin kepada publik oleh karena publik pun ingin  mengetahui apakah hakim sarpin telah melakukan pelanggaran etik karena putusannya sangat kontroversial dan dianggap melewati koridor hukum positif. 

·         Hakim Sebuah Jabatan

Bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna semua tindakan hukum pemerintahan (dalam arti luas) harus berdasarkan atas hukum. (Vide, Ridwan HR, Hukum Adminstrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.339). berangkat dari pernyataan tersebut yang merupakan domain dari hukum adminstrasi negara, maka menjadi terang apabila dikaitkan dengan persoalan jabatan. Kerap kali seorang pejabat menjadi tersinggung atau bahkan ‘narsis’ apabila jabatannya dikritik atau dikomentari lantaran pejabat tersebut tidak bisa membedakan antara jabatan dengan pribadinya. Padahal jabatan dengan pejabat dua hal yang sangat berbeda. Karena Jabatan dan pejabat diatur dan tunduk pada hukum yang berbeda. (Ibid, hlm.79). Jabatan bagaikan ‘mayat’ yang mati apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan wewenang. Sehingga menjadi cukup jelas bahwa pejabat merupakan wakil dari sebuah jabatan dan bertindak dan atas nama jabatan demi kepentingan publik.

Lalu bagaimana dengan kasus Hakim Sarpin? apabila yang dipersoalkan oleh Hakim Sarpin adalah putusannya yang dianggap tidak lazim dan keluar dari koridor hukum acara oleh KY yang diwakili komisionernya. Seharusnya tidak ada unsur pencemaran terhadap pribadi Sarpin. Oleh karena hakim merupakan sebuah jabatan, sehingga putusannya pun merupakan satu kesatuan yang utuh dan bukan milik sarpin sebagai pribadi. Sehingga tidak kaitannya dengan pribadi sarpin. Namun apabila KY mengomentari pribadi sarpin, misalnya sarpin tidak layak jadi hakim tunggal praperadilan, maka masuklah unsur pribadi dan sarpin memiliki hak untuk melakukan pengaduan terhadap pribadinya yang merasa direndahkan.

·         Komentar Atas Putusan Merupakan Bagian Dari Kewenangan & Tugas KY

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memberikan wewenang kepada KY dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim agung dan diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pasal 13 UU No.18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Wewenang KY meliputi:

a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Pertanyaannya adalah apakah KY tidak boleh memberikan keterangan dihadapan publik terkait pertanyaan publik mengenai putusan sarpin ?

Dalam UU KY tidak diatur secara rigid bahwa komisioner KY dilarang memberikan keterangan atas putusan hakim untuk menjawab pertanyaan publik dihadapan publik. Namun beda halnya apabila KY menyatakan benar atau salah putusan hakim sarpin, maka itu sudah keluar dari yurisdiksi KY. (vide, Pasal 15 Peraturan Bersama MA dan KY No.02/PB/MA/IX/2012 - No.02/PB/P.KY/No.09/2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim). 

Lalu timbul pertanyaan, apakah KY telah keluar dari yurisdiksinya karena menilai putusan hakim sarpin  tidak lazim ? apakah penilaian ini tidak masuk kedalam substansi putusan ? jawabannya tentu tidak, KY telah menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Karena yang dinilai oleh KY dalam putusan sarpin adalah apakah ada pelanggaran hukum acara atau tidak, bukan memasuki substansi putusan apa lagi menghina putusan sarpin. (vide, Pasal 17 ayat 1  Peraturan Bersama MA dan KY No.02/PB/MA/IX/2012 - No.02/PB/P.KY/No.09/2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim). Bahkan KY dimungkinkan menganalisis putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap guna kepentingan mutasi.

Dengan demikian, sesungguhnya apabila dilihat secara objektif keterangan atau tanggapan yang dilakukan oleh dua komisioner KY sesungguhnya dalam rangka menjaga perilaku hakim sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 dan harus dipandang bukan sebagai pelecehan terhadap profesi hakim.


·    Hakim Sarpin Tidak Taat undang-undang & Menghina MPR serta DPR Bersama Presiden (RakyatIndonesia)



Media Massa ramai memberitakan hakim sarpin menantang KY, tidak mau datang diperiksa KY dan menilai putusan KY ‘abal-abal’. Apakah ada pelanggaran hukum oleh hakim sarpin 

Pertama; hakim sarpin yang menolak dipanggil oleh KY, sesungguhnya memiliki keharusan untuk hadir dan hal ini secara tidak langsung merusak citra hakim dan menghalangi tugas KY untuk menjaga kehormatan, kelhuruan martabat serta perilaku hakim, karena mencontohkan kepada hakim-hakim lain untuk tidak taat dengan undang-undang. (vide, Pasal 22A ayat (1) huruf c UU No.18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2004 tentang KY);

Kedua; hakim sarpin mengatakan putusan KY ‘abal-abal’ sesungguhnya sama halnya merendahkan dan menghina lembaga negara yang diatur langsung oleh UUD 1945 dan memiliki tugas yang sangat mulia. Bahkan hakim sarpin apabila dilaporkan berpotensi melakukan tindak pidana pencemaran nama baik.

Ketiga; hakim sarpin dalam kasus ini bukan hanya berani melawan KY sebagai lembaga negara yang secara konstitusional memiliki kewenangan untuk mengawasi, tetapi sudah melakukan penghinaan terhadap MPR yang merumuskan KY hingga masuk kedalam UUD 1945 serta DPR bersama Presiden sebagai pembentuk UU KY (rakyat Indonesia). Mengapa dikatakan menghina ketiga lembaga tinggi negara tersebut ? oleh karena hakim sarpin telah merendahkan KY dengan menyebut putusannya ‘abal-abal’ dan tidak patuh terhadap panggilan KY yang sedang menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang. 

Dengan demikian, seharusnya sanksi tegas terhadap hakim sarpin harus segera diberikan oleh karena mencontohkan sebagai hakim pembangkang ‘undang-undang’ dan dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi hakim-hakim yang lainnya.


Penulis : Kurniawan, SH 
Ketua Bidang Kajian Strategis 
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)

Rabu, 20 Mei 2015

Problematik Judicial Review di Mahkamah Agung

Dalam badan-badan peradilan modern saat ini. prinsip-prinsip keterbukaan menjadi suatu keharusan yang harus dipatuhi. Prinsip keterbukaan ini biasa dikenal dengan istilah “terbuka untuk umum”. Kepatuhan terhadap prinsip sidang terbuka untuk umum merupakan konsekuensi logis dari perkembangan tuntutan pemenuhan hak-hak asasi untuk mendapatkan suatu informasi dan rational choice dari prinsip good judiciary guna mewujudkan badan peradilan yang bersih dan tidak corrupt. Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman menjunjung tinggi prinsip sidang terbuka untuk umum dalam putusannya sebagaimana yang diatur pada Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Bahwa konsekuensi apabila prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka Putusan MA tersebut batal menurut hukum sebagaimana penjelasan Pasal 40 ayat (2) tersebut. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pertanyaannya apakah persidangan yang tidak memenuhi prinsip sidang terbuka untuk umum batal menurut hukum ? tentu tidak, karena dalam konteks persidangan ada beberapa perkara yang dikecualikan oleh undang-undang untuk persidangan tertutup, misalnya perkara perceraian atau pidana anak, namun putusannya diwajibkan untuk diucapkan terbuka untuk umum agar sah dan memiliki kekuatan hukum. Dalam perspektif Mahkamah Agung tentu prinsip sidang terbuka untuk umum dalam persidangan tidak berlaku, karena Mahkamah Agung sebagai judex juris yang memeriksa penerapan hukumnya saja dan tidak menggelar persidangan layaknya pengadilan tingkat pertama. Namun Mahkamah Agung diwajibkan dalam pengucapan putusan dilakukan terbuka untuk umum, apabila tidak terpenuhi, maka putusan Mahkamah Agung tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
   Namun permasalahannya adalah terletak pada tidak ada kewajiban Mahkamah Agung untuk mengumumkan jadwal sidang putusan. Sehingga masyarakat umum tidak mengetahui jadwal pengucapan putusan dan putusan tidak dihadiri para pihak yang memiliki kepentingan. Hal demikian tetap dianggap konstitusional menurut Mahkamah Konstitusi oleh karena perbedaan karakteristik hukum acara pada pengadilan tingkat pertama dengan Mahkamah Agung dan hak informasi para pihak yang berkepentingan tetap terpenuhi oleh karena salinan putusan tetap diberikan (vide, [3.11.2.] Putusan MK No.78/PUU-X/2012). Permasalahan demikian terjadi dalam contoh kasus uji materiil Perpres 26 Tahun 2015 tentang keberadaan staf kepresidenan. Para pemohon tidak mengetahui jadwal pengucapan putusan, sehingga pemohon tidak hadir dan hanya mengetahui dari media.
Dalam Putusan MK No.78/PUU-X/2012 persoalannya lebih kepada konteks banding, kasasi, dan peninjauan kembali yang karakteristik hukum acaranya berbeda dengan pengadilan tingkat pertama, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat lain dengan pemohon. Namun persoalannya, bagaimana dengan perkara uji materill di Mahkamah Agung yang karakteristik perkaranya berbeda dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, namun disamakan proses hukum acaranya.
Karakteristik pengujian peraturan perundang-undangan tentu berbeda dengan perkara-perkara seperti pidana, perdata, dan tata usaha negara. ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya sebagai berikut:

1.        Keterbatasan Sumber Daya Hakim Mahkamah Agung
Mahkamah Agung yang memiliki jumlah maksimal jumlah hakim agung dan hanya memiliki 4 (empat) kamar badan peradilan tentu memiliki keterbatasan sumber daya. Mengingat jumlah perkara yang melimpah dan hal yang harus dicermati adalah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang bersifat (regeling) memiliki substansi yang beragam. Sehingga dengan jumlah hakim agung yang jumlahnya kurang lebih 60 (enam puluh) hakim agung tentu tidak semua memiliki kompetensi terhadap perkara pengujian peraturan perundang-undangan. Karena setiap hakim agung memiliki spesialisasi yang berbeda, maka hal ini menjadi problematik. Pertanyaannya adalah bagaimana hakim-hakim agung memutus perkara yang bukan kompetensinya, sehingga menimbulkan rasa ragu terhadap hakim-hakim yang memutus perkara tersebut dan akan mempengaruhi kualitas putusan. Apabila kita bercermin pada hukum acara di Mahkamah Konstitusi yang memberikan kesempatan pemohon dan pihak-pihak yang berkpentingan untuk mengahadirkan ahli yang memiliki relevansi dengan perkara tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi yang hanya memiliki 9 (Sembilan) hakim tugasnya menjadi terbantu dan memiliki keyakinan dalam memutus suatu perkara.

2.        Terlanggarnya Asas Dominus Litis
Asas dominus litis merupakan asas yang menuntut keaktifan hakim. Hal demikian tentu berbeda dengan karakteristik hukum acara perdata yang mana hakim bersifat pasif. Asas dominus litis merupakan karakteristik dari hukum acara tata usaha negara dan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, apa tujuan dari asas dominus litis ? tujuannya jelas, bahwa agar terjadi keseimbangan antara penggugat dengan pejabat negara dalam perpspektif peradilan tata usaha negara dan pemohon dengan pembuat undang-undang yaitu DPR dan Presiden dalam peradilan di Mahkamah Konstitusi. (Titik Wulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011, hlm. 571).
Pertanyaannya adalah, mengapa persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung melanggar asas dominus litis ? bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang ditangani oleh hakim-hakim agung yang berada di kamar Tata Usaha Negara. Walaupun pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang bukan merupakan objek TUN, tetapi sebagai konsekuensi logis dan rational choice dari ditanganinya oleh hakim-hakim agung agung dikamar TUN, membawa implikasi berlakunya asas dominus litis. Hal demikian bukan didasarkan semata-mata oleh konsekuensi logis dan rational choice saja, melainkan marwah dan karakteristik dari pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat terbuka dan menyeimbangkan kedudukan pemohon yang cenderung lemah dengan pembuat peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Hal ini ini tercermin apabila merujuk kepada hukum acara Mahkamah Konstitusi yang menganut asas dominus litis dalam pengujian undang-undang dengan memberikan nasihat-nasihat yang positif guna menyeimbangkan posisi pemohon yang cenderung lemah dan hak konstitusionalnya terlanggar.

3.        Peraturan Perundang-Undangan Bersifat Universal dan Mengikat
Peraturan perundang-undangan merupakan produk hukum yang dibuat oleh cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam perspektif trias politika. Peruntukan peraturan perundang-undangan tentu diperuntukan dan mengikat untuk publik atau masyarakat umum. Sehingga peraturan perundang-undangan dapat dikatakan merupakan milik warga negara/masyarakat umum. Karena peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang diberikan legitimasi untuk membentuknya guna menciptakan ketertiban dan mengakomodir kepentingan umum. Namun tidak jarang peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat umum, sehingga membawa kerugian.
Bahwa apabila dipahami hakekat dari peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat umum, maka seharusnya hal demikian membawa implikasi kepada khususnya dalam konteks persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung bersifat terbuka untuk umum seperti di Mahkamah Konstitusi. Karena objek perkaranya adalah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan milik masyarakat umum karena diperuntukan untuk masyarakat umum. Sehingga menjadi aneh apabila persidangannya dilakukan secara tertutup.

4.        Putusan Bersifat Erga Omnes
Dalam pengujian peraturan perundang-undangan baik di Mahkamah Konstitusi maupun di Mahkamah Agung, memiliki implikasi hukum yang sama dalam hal sifat putusannya yang bersifat erga omnes. Hal demikian disebabkan oleh sifat peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat umum, sehingga memiliki implikasi hukum bukan hanya para pihak, tetapi berdampakjuga kepada masyarakat umum. Sehingga hal demikian menutup celah kepada masyarakat luas yang menginginkan terlibat sebagai pihak terkait/berkepentingan karena merasa dirugikan dengan eksisnya peraturan perundang-undangan tersebut. Hal demikian disebabkan oleh persidangan yang tertutup dan tidak ada persidangan. Tentu hal ini menjadi kontradiksi dengan putusannya yang bersifat erga omnes yang membawa dampak luas kepada masyrakat luas.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa uraian mengenai karakteristik hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan yang berbeda dengan perkara-perkara lainnya, maka sudah seharusnya digelar persidangan dan bersifat terbuka, bukan menyamakan dengan perkara-perkara yang implikasi hukumnya bersifat konkret untuk subjek tertentu. Karena dengan tidak digelarnya persidangan dalam pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dibawah undang-undang dalam perspektif kewenangan Mahkamah Agung, maka menghilangkan marwah dari hakekat peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat luas dan karakteristik hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan.

__________________
Penulis : Kurniawan, SH
Ketua Bidang Kajian Strategis
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)
CP : 081291279141

Selasa, 24 Maret 2015

PRESS RELEASE SIDANG KE-III : JUDICIAL REVIEW UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK, PASAL 32 AYAT (2) TENTANG PEMBERHENTIAN SEMENTARA PIMPINAN KPK



Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan institusi penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam pemberantasan korupsi, sehingga  sangatlah penting bagi KPK untuk tetap terjaga independensinya agar dapat memaksimalkan KPK dalam melakukan tugasnya memberantas korupsi.
Banyak pakar yang beranggapan bahwa proses pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dianggap sebagai upaya untuk tetap menjaga integritas para pimpinan KPK. Namun menurut kami itu merupakan proses intervensi kekuasaan dari kekuatan politik yang dapat memperlemah para pimpinan KPK yang sedang mengemban tugasnya.
Integritas pimpinan KPK memang harus dijun-jung tinggi, bahkan masyarakat berharap agar pimpinan KPK adalah benar-benar orang yang bersih, tidak bermasalah. Namun yang perlu dipertanyakan adalah, bagaimana ingin memilih orang-orang yang bersih jika mekanisme pemilihannya  melibatkan lembaga yang sering melakukan politik “dagang sapi”.  Seharusnya DPR cukup menyetujui apa yang sudah diajukan oleh Panitia Seleksi dimana Panitia Seleksi dipilih dari lingkup Pendidikan yang berintegritas tinggi.
Persoalan Integritas pimpinan KPK sebenarnya harus datang dari dalam diri para pimpinan KPK tersebut, artinya jika memang yang bersangkutan merasa melakukan kesalahan maka ia harus mengundurkan diri. Hal ini sejalan dengan konsep REVOLUSI MENTAL yang selalu di dengung-dengungkan Pemerintah saat ini. Dan terkait pengaturan pengunduran diri pimpinan KPK yang bermasalah dapat diatur dalam peraturan internal KPK dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan tersebut.
Karena berdasarkan pada Pasal 32 ayat (2) UU KPK, dikatakan bahwa : “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”, dimana dalam ayat (3) yang memberhentikan adalah Presiden. Jika kita mengacu pada pasal tersebut maka proses intervensi atau bahkan pelemahan terhadap KPK dapat dengan mudah dilakukan, karena cukup dengan menetapkannya sebagai tersangka maka Presiden sudah dapat memberhentikan sementara pimpinan KPK tersebut. Padahal berdasarkan asas Praduga tak bersalah, seorang yang berstatus tersangka masih harus dianggap benar/belum bersalah sampai ada penetapan dari pengadilan bahwa ia terbukti bersalah.
Persoalannya adalah dalam KUHP sangat mudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, cukup dengan dua alat bukti yang cukup dimana dua alat bukti tersebut diantaranya adalah laporan pengaduan dan 1 alat bukti yang sah, sehingga sangat mudah mentersangkakan seseorang. Kemudian setelah menjadi tersangka, dalam KUHAP tidaka ada batas waktu seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sehingga dapat memungkinkan proses penetapan tersangka itu sebagai upaya penyanderaan seperti yang terjadi saat ini, setelah ditetapkan sebagai tersangka, kemudian pihak kepolisian mengambil tindakan untuk melakukan penundaan perkara terhadap para pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dimana statusnya tetap sebagai tersangka sehingga harus tetap non aktif dalam posisinya sebagai pimpinan KPK.
Oleh karena itu demi terciptanya pemberantasan korupsi yang efektif maka kami mengajukan pengujian terhadap pasal 32 ayat (2) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, kirannya Mahkamah Konstitusi dapat memahami esensi dari status tersangka mengacu pada asas praduga tak bersalah, dan juga asas persamaan dimuka hukum dimana jika kita melihat pimpinan lembaga Negara lainnya tidak diatur tentang pemberhentian sementara terhadap para pimpinan lembaga Negara lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kamis, 26 Maret 2015
Ketua Umum FKHK
Victor Santoso Tandiasa, SH., MH.