Selasa, 24 Maret 2015

PRESS RELEASE SIDANG KE-III : JUDICIAL REVIEW UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK, PASAL 32 AYAT (2) TENTANG PEMBERHENTIAN SEMENTARA PIMPINAN KPK



Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan institusi penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam pemberantasan korupsi, sehingga  sangatlah penting bagi KPK untuk tetap terjaga independensinya agar dapat memaksimalkan KPK dalam melakukan tugasnya memberantas korupsi.
Banyak pakar yang beranggapan bahwa proses pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dianggap sebagai upaya untuk tetap menjaga integritas para pimpinan KPK. Namun menurut kami itu merupakan proses intervensi kekuasaan dari kekuatan politik yang dapat memperlemah para pimpinan KPK yang sedang mengemban tugasnya.
Integritas pimpinan KPK memang harus dijun-jung tinggi, bahkan masyarakat berharap agar pimpinan KPK adalah benar-benar orang yang bersih, tidak bermasalah. Namun yang perlu dipertanyakan adalah, bagaimana ingin memilih orang-orang yang bersih jika mekanisme pemilihannya  melibatkan lembaga yang sering melakukan politik “dagang sapi”.  Seharusnya DPR cukup menyetujui apa yang sudah diajukan oleh Panitia Seleksi dimana Panitia Seleksi dipilih dari lingkup Pendidikan yang berintegritas tinggi.
Persoalan Integritas pimpinan KPK sebenarnya harus datang dari dalam diri para pimpinan KPK tersebut, artinya jika memang yang bersangkutan merasa melakukan kesalahan maka ia harus mengundurkan diri. Hal ini sejalan dengan konsep REVOLUSI MENTAL yang selalu di dengung-dengungkan Pemerintah saat ini. Dan terkait pengaturan pengunduran diri pimpinan KPK yang bermasalah dapat diatur dalam peraturan internal KPK dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan tersebut.
Karena berdasarkan pada Pasal 32 ayat (2) UU KPK, dikatakan bahwa : “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”, dimana dalam ayat (3) yang memberhentikan adalah Presiden. Jika kita mengacu pada pasal tersebut maka proses intervensi atau bahkan pelemahan terhadap KPK dapat dengan mudah dilakukan, karena cukup dengan menetapkannya sebagai tersangka maka Presiden sudah dapat memberhentikan sementara pimpinan KPK tersebut. Padahal berdasarkan asas Praduga tak bersalah, seorang yang berstatus tersangka masih harus dianggap benar/belum bersalah sampai ada penetapan dari pengadilan bahwa ia terbukti bersalah.
Persoalannya adalah dalam KUHP sangat mudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, cukup dengan dua alat bukti yang cukup dimana dua alat bukti tersebut diantaranya adalah laporan pengaduan dan 1 alat bukti yang sah, sehingga sangat mudah mentersangkakan seseorang. Kemudian setelah menjadi tersangka, dalam KUHAP tidaka ada batas waktu seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sehingga dapat memungkinkan proses penetapan tersangka itu sebagai upaya penyanderaan seperti yang terjadi saat ini, setelah ditetapkan sebagai tersangka, kemudian pihak kepolisian mengambil tindakan untuk melakukan penundaan perkara terhadap para pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dimana statusnya tetap sebagai tersangka sehingga harus tetap non aktif dalam posisinya sebagai pimpinan KPK.
Oleh karena itu demi terciptanya pemberantasan korupsi yang efektif maka kami mengajukan pengujian terhadap pasal 32 ayat (2) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, kirannya Mahkamah Konstitusi dapat memahami esensi dari status tersangka mengacu pada asas praduga tak bersalah, dan juga asas persamaan dimuka hukum dimana jika kita melihat pimpinan lembaga Negara lainnya tidak diatur tentang pemberhentian sementara terhadap para pimpinan lembaga Negara lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kamis, 26 Maret 2015
Ketua Umum FKHK
Victor Santoso Tandiasa, SH., MH.