Minggu, 22 September 2013

FKHK Ajukan Judicial Review agar Kedudukan Tap MPR Sejajar Undang-Undang

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan dari UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sejak Agustus 2011 silam.
Namun yang menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah dengan masuknya kembali Tap MPR dalam Hirarki Perundang-undangan di tengah perubahan konsep ketatanegaraan dimana MPR sudah diposisikan sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya.

Kekhawatiran ini sudah lama berjalan, dan terbukti pada tanggal 4 Maret 2013 Mahkamah Konstitusi Menggelar sidang pengujian Ketetapan MPR terhadap UUD NRI 1945, dengan pemohon Rachmawati Soekarnoputri, Universitas Bung Karno dan Partai Pelopor dengan No. Perkara 24/PUU-XI/2013. Namun pada 10 September 2013, MK menolak permohonan tersebut dengan dasar pertimbangan permohonan para pemohon tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan MK, sehingga MK tidak perlu mempertimbangkan segala pertimbangan para pemohon.

"Dari permasalahan ini kerugian konstitusional yang dialami para pemohon mengalami kebuntuan terhadap kewenangan pengujiannya," kata Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi Victor Santoso Tandiasa, dalam keterangannya persnya diterima Tribunnews.com, Minggu (22/9/2013). Penerapan dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang meletakan Tap MPR dibawah UUD dan di atas UU, kata Victor menimbulkan kekosongan hukum terhadap kewenangan pengujiannya.

Menurutnya, apabila kewenangan pengujian tersebut tidak dilaksanakan dengan maksimal, maka akan berdampak diterapkannya peraturan perundang-undangan yang jauh dari semangat konstitusionalisme. "Yang menyimpang dari nilai-nilai konstitusionalisme tentu saja akan merugikan warga Negara yang telah menyerahkan amanat kepada lembaga-lembaga Negara untuk menjalankan pemerintahan yang baik (good governance)," ujarnya.

Jika demikian adanya, lanjut dia, maka tujuan pembentukan Negara untuk melindungi hak-hak warganya tidak tercapai. Karena sejatinya Negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, supaya mereka itu dapat hidup baik dan bahagia.

Senada dengan pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie, TAP MPR seharusnya disetarakan dengan UU. Karena TAP Nomor I MPR Tahun 2003 sebagai TAP terakhir sudah menundukkan sendiri kedudukan TAP tersisa dapat diubah oleh UU, sehingga kedudukannya setara dengan UU. Karena itu, UU No. 12 Tahun 2011 yg menempatkan TAP tersisa berada di atas UU, adalah Kesalahan Fatal, sebab hal itu berakibat keberadaan TAP MPR tersebut akan berlaku sampai kiamat karena tidak ada lembaga manapun yang berwenang mencabut atau mengubahnya lagi. MPR menurut mantan Ketua MK tersebut, hanya berwenang mengubah UUD, DPR dan Presiden hanya berwenang mengubah UU, MK juga hanya berwenang menguji UU.

"Oleh karena itu, kami dari Forum kajian dan Konstitusi (FKHK) sebagai organisasi yang berperan aktif dalam menegakan konstitusionalisme yang mana sebagai perwujudan upaya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negaranya dalam penegakkan nilai-nilai konstitusionalisme memandang memiliki kedudukan hukum untuk dapat mengajukan Judicial Review terhadap UU No. 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (1) huruf b yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)," kata Victor.

Dalam permohonan gugatan, FKHK menginginkan agar kedudukan ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan disejajarkan dengan UU. Sehingga, jika ada yang bertentangan dengan konstitusi dapat menjadi kewenangan MK untuk melakukan pengujian. Kemudian, imbuhnya tidak menjadikan TAP MPR menjadi batu uji terhadap UU yang dianggap bertentangan dengan TAP MPR tersebut, karena sudah sejajar dalam kedudukannya.

"Senin, 23 September 2013 FKHK akan mendaftarkan Gugatannya ke Mahkamah Konstitusi, dan kami berharap dukungan kepada masyarakat secara umum maupun kepada para pakar Hukum Tata Negara secara khusus dalam perjalanannya nanti," imbuhnya.


Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Budi Prasetyo

Selasa, 17 September 2013

QUARTA POLITICA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN ALA INDONESIA

Memang masih terdengar asing di telinga publik mengenai istilah Quarta Politica. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI yang dibangun berdasarkan UUD 1945 oleh founding fathers membuktikan adanya suatu sistem pemerintahan yang unik dan belum ada di Negara manapun dan teori ketatanegaraan apapun. Lazimnya kita senantiasa mendengar istilah Trias Politica yang dipopulerkan oleh filsuf Perancis bernama Montesque. Dalam pemerintahan Trias Politica dikenal adanya pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menghindari adanya kekuasaan mutlak dari salah satu lembaga atau orang (diktatur). Hal itu tertuang dalam karyanya yang termuat dalam Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748 “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil”.

Ada hukum kausalitas yang menyebabkan mengapa Montesque menulis konsep tersebut. Perjalanan pemerintahan pada masa itu acap kali menimbulkan kekuasaan absolut di tangan seorang raja. Hal itu sudah pernah digagas oleh seorang Negarawan asal Inggris yang bernama John Locke kurang dari seabad sebelumnya. John Locke juga mengemukakan gagasan Trias Politica dengan format Eksekitif, Legislatif, dan Federatif dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dengan maksud untuk menghindari kekuasaan absolut atau mencapai suatu tujuan check and balances dalam pemerintahan, kedua filsuf itu mengemukakan gagasan yang sama namun berbeda format, yaitu Trias Politica. Akan tetapi ada yang mereka lupa bahwa ternyata baik Trias Politica menurut John Locke maupun menurut Montesque yang banyak digunakan oleh Negara-negara di dunia saat ini, kekuasaan absolut masih tetap saja terjadi. Hanya saja bedanya bukan lagi di tangan satu orang tetapi di tangan satu golongan (Partai Politik/faksi).

Kesalahan itu bukan saja terjadi pada pelaksanaan dari konsep tersebut, tetapi karena konsep tersebut membuka peluang terjadinya kekuasaan absolut dari suatu golongan melalui ajang demokrasi. Ini membuktikan bahwa konsep Trias Politica yang kemudian melekat pada system demokrasi belum tuntas dibahas dan masih banyak kekurangan. 

Partai Politik pemenang pemilu cenderung bercorak absolut saat menentukan jalannya pemerintahan melalui orang-orangnya yang duduk baik di eksekutif maupun legislatif. Sehingga jika kedua lembaga ini dapat dipegang sudah pasti yudikatif pun tidak akan berkutik dan tetap mengeluarkan keputusan hukum dalam tinjauan politik. Supaya menimbulkan kesan check and balances di lingkup partai politik dibangunlah metode koalisi dan oposisi seperti yang terjadi pertama kali pada Majelis Konstituante Nasional pasca revolusi Perancis. Istilah koalisi dan oposisi saat itu dikenal dengan sebutan sayap kanan dan sayap kiri.

Seiring berjalannya waktu pasca munculnya gagasan Trias Politica di berbagai Negara manapun, check and balances secara murni tidak pernah ditemui. Dalam pelaksanaannya tetap ada lembaga yang dominan atau lebih kuat. Sebagai contoh Negara yang menerapkan sistem perlementer memiliki kekuasaan legislatif yang lebih menonjol dalam menentukan jalannya pemerintahan daripada lembaga lainnya. Sedangkan dalam Negara yang menerapkan sistem presidensil memiliki kekuasaan eksekutif yang lebih menonjol.

Melihat gejala-gejala tersebut founding fahers kita tidak terjebak dengan pemikiran yang berkembang di dunia saat itu. Meskipun banyak aliran pemikiran dunia yang menjadi dasar berfikir founding fathers saat merumuskan konstitusi. Pemikiran barat yang berkembang pada trend dunia saat itu tidak serta merta menjadi rujukan mutlak dalam menyusun sistem pemerintahan untuk NKRI. Melainkan dengan menonjolkan sisi originalitas bangsa Indonesia yang berangkat dari sistem pemerintahan adat asli Indonesia.

Dari rumusan itu, terlihat jelas bahwa NKRI bukanlah Negara demokrasi yang menganut konsep Trias Politica melainkan Negara kebangsaan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Dengan adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai cerminan lembaga permusyawaratan dari pemerintahan adat dari setiap daerah di Indonesia. Contohnya seperti sistem penghulu di Minangkabau, joglo di Jawa, baruga di Bugis, honai di Irian dan masih banyak lagi di daerah Indonesia lainnya. Sistem pemerintahan adat yang tunduk pada lembaga permusyawaratan rakyat banyak merupakan hakikat dari sistem pemertintahan Quarta Politica. Jadi pemerintahan tidak dikendalikan oleh partai akan tetapi oleh rakyat banyak melalui lembaga permusyawaratan.

Keberanian founding fathers yang melihat bergeraknya zaman cukup kita berikan apresiasi yang tinggi. Meskipun sangat disayangkan gagasan itu masih bersifat abstrak karena sampai dengan NKRI terbentuk dan berjalan sampai dengan hari ini, konsep tersebut belum pernah berjalan. Justru salah seorang founding fathers yang tidak pernah duduk di pemerintahan pada beberapa bulan setelah kemerdekaan mengusulkan untuk menerapkan sistem pemerintahan rakyat dengan suatu badan permusyawaratan yang benar-benar berasal dari rakyat. Dan disitulah terdapat makna merdeka 100% ketika badan permusyawaratan rakyat dengan nama MPR terbentuk dan berfungsi untuk menjalankan kedaulatan rakyat sepenuhnya (sesuai UUD 1945 pasal 1 ayat 2). Upaya yang dilakukan oleh salah seorang founding fathers yang dikemudian hari dikenal dengan nama Tan Malaka  tersebut adalah pernyataan yang menunjukan bahwa NKRI berbeda dengan Negara lain. Perbedaan itu merupakan bentuk keunikan dari system pemerintahan yang berdasarkan musyawarah mufakat.  

Kita sebagai generasi sekarang juga selayaknya memiliki keberanian untuk melakukan “penamaan” terhadap sistem asli kita. Sehingga dari hasil “urun rembug” antara elemen-elemen masyarakat bulan Juni yang lalu di Jakarta, yang terdiri dari pakar hukum, tokoh agama, aktivis, politisi, veteran, dan elemen masyarakat lainnya telah mensepakati istilah Quarta Politica sebagai sistem pemerintahan ala Indonesia yang berdasarkan UUD 1945.

Lalu apakah yang dimaksud pemerintahan Quarta Politica? Secara definisi Quarta Politica adalah suatu sistem pemerintahan yang dibentuk dari kebenaran sejarah bangsanya yang akan menghasilkan hukum yang menguasai kehidupan manusia yang dijadikan pedoman bagi pemimpin untuk menjadikan dirinya semakin lebih arif dan bijak di dalam mewujudkan visi dan misi negara yang telah ditetapkan oleh Pembukaan UUD 1945 dan akan dicapai melalui proses musyawarah untuk mufakat berjenjang keatas secara bersama, bertahap, dan berkesinambungan dengan azas kekeluargaan yang terukur di dalam ukuran-ukuran dimensi Pancasila sebagai hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dengan benar dan baik.

Pemerintahan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berangkat dari keluarga, RT/RW, lembaga adat, Lumbung, MPR sampai dengan lembaga Negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan metode musyawarah mufakat. Disitulah yang menjadi pembeda antara Quarta Politica dengan Trias Politica yang cenderung menggunakan pemilu dan partai politik sebagai perangkatnya.

Setidaknya gagasan ini menjadi solusi untuk mengakhiri adanya bad governance saat ini. Terutama pada saat UUD 1945 dirubah menjadi UUD 2002. Karena dengan dasar landasan UUD 2002 itu kita menjadi Negara penganut Trias Politica murni yang cenderung dengan kekuasaan mutlak dari golongan pemenang pemilu. Dan segala bentuk kebijakannya berdasarkan tinjauan kepentingan kelompok bukan berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia.


Penulis : Adityo Nugroho
Penulis adalah analisis di Media Center Kebangsaan

Senin, 16 September 2013

KRISIS KONSTITUSIONAL

Isu mengenai terjadinya krisis Konstitusional sempat santer terdengar saat dinyatakan oleh seorang ahli hukum tata Negara Indonesia, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pada pertengahan bulan Februari yang lalu. Namun seiring dengan perkembangan politik terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai verifikasi partai politik peserta Pemilu 2014, isu itu hilang bak ditelan bumi. Ada indikasi kuat bahwa pernyataan tersebut keluar karena kekhawatirannya melihat kinerja KPU selaku lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam Pemilu akan gagal dalam menyelenggarakan Pemilu 2014. Berikut pesan Yusril yang disampaikan kepada aktual.co pada tanggal 17 Februari :

 “ Sebelumnya, saya telah menulis bahwa jika KPU gagal menyelenggarakan Pemilu maka potensi terjadinya krisis konstitusional di Negara ini sangat besar. Jika terjadi krisis konstitusional yang hebat maka Presiden berdasarkan noodstaatsrech yakni Presiden menggunakan hukum dalam keadaan darurat. Presiden bisa mengeluarkan dekrit perpanjangan masa jabatannya….itulah revolusi hukum yang berawal dari staatnoodrechts dan noodstaatsreecht.” Dari pernyataan itu sangat jelas bahwa adanya krisis konstitusional hanya akan terjadi pasca pemilu 2014 pada saat KPU gagal menyelenggarakan pemilu sedangkan masa jabatan Presiden hanyalah dua periode (Pasal 7 UUD Amandemen).

Dari kondisi itu maka Presiden berhak mengeluarkan dekrit dan berbuat apa saja dengan alasan untuk menyelamatkan bangsa dan Negara. Lanjut Yusril dalam pernyataannya “ MPR yang mengamandemen UUD 1945 tidak memikirkan bahwa perubahan yang mereka lakukan, bisa menimbulkan krisis konstitusional. Saya cintai negeri ini dengan sepenuh hati. Saya tahu akan ada masalah besar seperti krisis konstitusional yang tidak banyak orang memikirkannya.”

Sebagai warga Negara tentunya kita menginginkan yang terbaik buat kehidupan berbangsa dan bernegara kita berdasarkan jalurnya konstitusi. Setidaknya guru besar ilmu Hukum Universitas Indonesia itu telah mengingatkan kepada seluruh anak negeri ini untuk merenungkan adanya krisis konstitusional pasca amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali oleh MPR. Terlepas pernyataan tersebut merupakan pernyataan politik untuk menegur kinerja KPU yang dinilai banyak kekurangan. Tanpa disadari negeri kita saat ini memang sedang dilanda oleh badai krisis konstitusional.

Memang tidak objektif bilamana kita melihat krisis konstitusional itu dalam sudut pandang politik. Tetapi akan objektif jika kita melihat krisis konstitusional itu dalam sudut pandang hukum itu sendiri. Dan dengan berat hati kita harus mengakui bahwa akar dari pada krisis konstitusional itu tepat berada pada saat MPR RI periode 1999-2004 melakukan amandemen sebanyak empat kali (1999-2002). Meskipun tuntutan amandemen itu merupakan agenda Reformasi yang harus dijalankan, namun kita dalam melakukannya tidak dapat meninggalkan dan terlepas dari adanya Pancasila sebagai   Philosofische Grondslag di bangsa ini. Nilai-nilai Pancasila adalah sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis dalam kehidupan bernegara.

Dalam pengertian itu, maka Pancasila merupakan das sollen bagi bangsa Indonesia sehingga seluruh derivasi normative dan praksis berbasis pada nilai-nilai Pancasila (Kaelan, 2007:10). Dalam hubungan ini Pancasila merupakan sumber nilai bagi pembaharuan hukum yaitu sebagai cita hukum, yang menurut Notonegoro berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia (Notonegoro, 1975). 

Staatsfundamentalnorm atau grundnorm yang merupakan suatu cita hukum menurut Custaf Radbru
sh (1878-1949), seorang ahli filsafat hukum mahzab baden, memiliki fungsi regulative dan fungsi konstitutif. Cita hukum memiliki fungsi Regulative adalah berfungsi sebagai tolak ukur, yaitu untuk menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak. Adapun fungsi konstitutif yaitu menentukan bahwa tanpa suatu cita hukum, maka hukum akan kehilangan maknanya sebagai suatu hukum (Attamimi, 1990:68).

Secara pengertian, konstitusi menurut Prof.Dr. Slamet Prajudi Atmosudirjo, S.H adalah hasil atau produk dari pada sejarah dan proses perjuangan bangsa yang bersangkutan (begitu sejarah perjuangannya begitu juga sejarah konstitusinya). Konstitusi suatu negara juga merupakan rumusan dari pada filsafat, cita-cita, kehendak, dan program perjuangan suatu bangsa. Oleh karena itu jika terjadi perubahan yang cukup besar didalam situasi maka konstitusi akan mengalami perubahan dalam rangka daya dan upaya bangsa tersebut untuk mempertahankan kehidupannya secara seefisien-efisiennya. Konstitusi adalah cermin daripada jiwa, jalan pikiran, mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa. Dari konstitusinya dapat diketahui bagaimana suatu bangsa memandang terhadap berbagai permasalahan hidup didunia serta disekelilingnya (Atmosudirjo, 1988).

Secara teoritis dari pendapat para pakar hukum diatas sangat jelas menerangkan bahwa UUD 1945 (teks asli) merupakan konstitusi yang mengandung nilai sejarah dan cita hukum yang tertuang di dalam pembukaannya (Preambule UUD 1945). Penjabaran rinci dari Preambule itu kemudian tertuang sepenuhnya di pasal-pasal dalam batang tubuhnya. 
 
Mutlak adanya jika UUD 1945 itu merupakan manivestasi dari Pancasila sebagaimana hirarki hukum di suatu Negara. Tetapi hal itu dapat terbatalkan kemudian melalui suatu peristiwa politik yang penuh dengan nuansa kepentingan individu dan kelompok. Batang tubuh UUD 1945 yang diamandemen sebanyak empat kali oleh MPR secara tidak langsung telah menghilangkan Pancasila sebagai cita hukum yang melekat di dalam UUD 1945 (teks asli). Namun, apakah masih layak dikatakan UUD amandemen itu merupakan UUD 1945?. Secara teoritis perubahan suatu konstitusi menurut Prof Soeharjo Sastrosoehardjo S.H merupakan perubahan makna atau penafsiran ketentuan dalam konstitusi bahkan juga penambahan-penambahan yang tidak menyimpan dari pokok-pokok pikiran, asas-asas, serta pemerintahan yang terkandung didalamnya. Ketentuan itu diatur di dalam pasal 37 UUD 1945.
 
Jika kita lihat lebih mendalam tentang adanya tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945 karena adanya pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Yang dinilai oleh banyak kalangan pasal ini melegitimasi adanya kediktatoran seperti yang terjadi pada masa Orde baru. Memang sudah selayaknya, pasal itu harus diamandemen paling tidak dijelaskan secara terperinci pada bab penjelasnya atau aturan dibawahnya. Akan tetapi perubahan yang dilakukan dengan amandemen sebanyak empat kali itu terjadi pada setiap pasal (terkecuali pasal 1 ayat 1) beserta penambahan menjadi total keseluruhan 199 butir (pasal dan ayat). Sedangkan sebelumnya hanya berjumlah 73 butir.
 
Proses amandemen yang tidak meletakan Pancasila sebagai koridor itu sejatinya telah meruntuhkan bangunan hukum di NKRI yang terbangun dari tahun 1945. Perjalanan sejarah bangsa yang terangkum dalam Preambule mengisyaratkan bahwa NKRI merupakan bangsa yang memebentuk Negara. Maka dari itu alur di dalam batang tubuhnya mengatur tentang adanya lembaga bangsa yaitu MPR (Pasal 1 ayat 2) dan lembaga Negara (Pasal 4 s/d 25).
 
Dengan dirubahnya pasal-pasal krusial yang berpengaruh pada hilangnya substansi cita hukum dan nilai sejarah telah memperkuat bergantinya UUD 1945 menjadi UUD 2002 (tahun keempat amandemen). Misalnya seperti yang terjadi pada pasal 1 ayat 2, dimana bunyi pada teks asli adalah “kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dirubah menjadi “Kedaulatan ialah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut UUD”. Dengan dirubahnya klausul ini maka Kedaulatan rakyat yang seharusnya dijalankan oleh lembaga yang terdiri dari para wakil rakyat di seluruh Indonesia menjadi dilakukan sepenuhnya menurut UUD (baca: UUD 2002). Berarti atas legitimasi pasal ini memaknakan bahwa UUD 2002 yang sangat multitafsir menjadi absolut dalam tatanan hukum di NKRI. Sehingga peng-absolutan tersebut otomatis menegasikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum serta falsafah bangsa Indonesia. 
 
Para pakar hukum bersepakat bahwa setiap konstitusi dalam setiap Negara memiliki nilai historis yang erat dengan prinsip yang dipegang oleh para pendiri negaranya. Sehingga konstitusi itu memiliki keunikan tersendiri yang membedakan suatu Negara dengan Negara lainnya. Jelaslah dengan adanya MPR di sistem pemerintahan Indonesia merupakan keunikan dari sistem pemerintahan kita yang memang berbeda dengan Negara lain. Prototipe MPR tidak dapat kita ketemukan referensinya dari Negara lain. Dan MPR sendiri berbeda dengan istilah perlemen di Inggris dan Belanda atau house representative di Amerika Serikat sebagaimana banyak para pakar hukum, politisi, dan akademisi mengambil rujukan.
 
Dapat kita ketahui secara prinsip dan filosofi (Sila keempat Pancasila) bahwa MPR merupakan sistem asli bangsa Indonesia yang berdasarkan permusyawaratan perwakilan. Maka dari itu ada istilah bahwa MPR merupakan lembaga bangsa dan tertinggi Negara yang memberi mandat kepada lembaga Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan ketetapannya yaitu UUD dan GBHN (Pasal 3 UUD 1945).
 
Di dalam amandemen UUD 1945, fungsi-fungsi itu ditiadakan sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara. Semua lembaga memiliki peranan yang sejajar dan masing-masing dapat menafsirkan konstitusi. Sehingga kedaulatan rakyat yang dilakukan menurut UUD sering terjadi multi penafsiran yang dijalankan oleh masing-masing lembaga. Dan seakan-akan hukum dari UUD amandemen itu bersifat absolute termasuk dari orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaan itu. Hal itu berakibat pada  semakin semunya kedaulatan rakyat itu sendiri. Dimana, perlahan-lahan kedaulatannya rakyat dikikis habis oleh elit-elit partai yang duduk di pemerintahan beradasarkan legitimasi pemilu. Sistem dan pemerintahan seperti ini merupakan sistem terburuk yang pernah ada dalam sejarah perjalanan Negara kita, bahkan dunia.

Kebanggaan rakyat hari ini mencerminkan keterbelakangannya. Kelompok mayoritas yang saat ini senang ketika Negara ini menjadi Negara demokrasi sebenarnya menindas dirinya sendiri. Melalui legitimasi UUD 2002, penindasan itu semakin terjadi dan bersifat massif. Sekarang apakah kita ingin mempertahankan kondisi ini atau berupaya untuk keluar dari lubang jarum yang penuh simalakama ini? Dan memang semuanya butuh pengorbanan untuk mencapai suatu keadilan. Tinggal kita menghitung pengorbanan mana yang lebih besar.

UUD 2002 sebagai krisis konstitusional memang saat ini terlihat bak bangunan megah dan menjanjikan. Namun, kacamata filosofi sebagai warisan sejarah lebih jeli melihat bangunan itu yang ternyata hanyalah fatamorgana. Bukan berarti orde-orde sebelumnya yang mengklaim menggunakan UUD 1945 kondisinya baik. Tetap masih banyak kekurangan dan masih perlu diperbaiki serta disempurnakan.

Apapun caranya kita harus berupaya untuk keluar dari krisis konstitusional ini yang membawa kehidupan berbangsa dan bernegara kita berada di simpang jalan. Dan jalan itu lebih menuju pada terpelosoknya ke dalam jurang kenistaan dan rendahnya peradaban manusia. Itu menjadi bukti bahwa NKRI dalam keadaan darurat dan berada diujung tanduk. Maka dari itu sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada pakar hukum tata Negara kita yang telah membuka wacana mengenai krisis konstitusional ini dan mengajaknya untuk berfikir dan merenungkannya. Jika memang tidak ada jalan lain selain kembali kepada UUD 1945 maka dengan menghimbau kepada seluruh kaum akademisi, pakar hukum, dan elit politik untuk melihat secara terang dan bijaksana guna kepentingan bangsa dan negara kita kembali kepada UUD 1945, serta mengamandemen pasal-pasal yang memang perlu diamandemen selama masih dikoridor Pancasila. Dari keseluruhan tindakan, sikap, serta keputusan kita yang terpenting adalah mencintai negeri ini dengan ikhlas dan sepenuh hati.  


Penulis : Adityo Nugroho
Penulis adalah Analis di Media Center Kebangsaan