Selasa, 17 September 2013

QUARTA POLITICA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN ALA INDONESIA

Memang masih terdengar asing di telinga publik mengenai istilah Quarta Politica. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI yang dibangun berdasarkan UUD 1945 oleh founding fathers membuktikan adanya suatu sistem pemerintahan yang unik dan belum ada di Negara manapun dan teori ketatanegaraan apapun. Lazimnya kita senantiasa mendengar istilah Trias Politica yang dipopulerkan oleh filsuf Perancis bernama Montesque. Dalam pemerintahan Trias Politica dikenal adanya pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menghindari adanya kekuasaan mutlak dari salah satu lembaga atau orang (diktatur). Hal itu tertuang dalam karyanya yang termuat dalam Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748 “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil”.

Ada hukum kausalitas yang menyebabkan mengapa Montesque menulis konsep tersebut. Perjalanan pemerintahan pada masa itu acap kali menimbulkan kekuasaan absolut di tangan seorang raja. Hal itu sudah pernah digagas oleh seorang Negarawan asal Inggris yang bernama John Locke kurang dari seabad sebelumnya. John Locke juga mengemukakan gagasan Trias Politica dengan format Eksekitif, Legislatif, dan Federatif dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dengan maksud untuk menghindari kekuasaan absolut atau mencapai suatu tujuan check and balances dalam pemerintahan, kedua filsuf itu mengemukakan gagasan yang sama namun berbeda format, yaitu Trias Politica. Akan tetapi ada yang mereka lupa bahwa ternyata baik Trias Politica menurut John Locke maupun menurut Montesque yang banyak digunakan oleh Negara-negara di dunia saat ini, kekuasaan absolut masih tetap saja terjadi. Hanya saja bedanya bukan lagi di tangan satu orang tetapi di tangan satu golongan (Partai Politik/faksi).

Kesalahan itu bukan saja terjadi pada pelaksanaan dari konsep tersebut, tetapi karena konsep tersebut membuka peluang terjadinya kekuasaan absolut dari suatu golongan melalui ajang demokrasi. Ini membuktikan bahwa konsep Trias Politica yang kemudian melekat pada system demokrasi belum tuntas dibahas dan masih banyak kekurangan. 

Partai Politik pemenang pemilu cenderung bercorak absolut saat menentukan jalannya pemerintahan melalui orang-orangnya yang duduk baik di eksekutif maupun legislatif. Sehingga jika kedua lembaga ini dapat dipegang sudah pasti yudikatif pun tidak akan berkutik dan tetap mengeluarkan keputusan hukum dalam tinjauan politik. Supaya menimbulkan kesan check and balances di lingkup partai politik dibangunlah metode koalisi dan oposisi seperti yang terjadi pertama kali pada Majelis Konstituante Nasional pasca revolusi Perancis. Istilah koalisi dan oposisi saat itu dikenal dengan sebutan sayap kanan dan sayap kiri.

Seiring berjalannya waktu pasca munculnya gagasan Trias Politica di berbagai Negara manapun, check and balances secara murni tidak pernah ditemui. Dalam pelaksanaannya tetap ada lembaga yang dominan atau lebih kuat. Sebagai contoh Negara yang menerapkan sistem perlementer memiliki kekuasaan legislatif yang lebih menonjol dalam menentukan jalannya pemerintahan daripada lembaga lainnya. Sedangkan dalam Negara yang menerapkan sistem presidensil memiliki kekuasaan eksekutif yang lebih menonjol.

Melihat gejala-gejala tersebut founding fahers kita tidak terjebak dengan pemikiran yang berkembang di dunia saat itu. Meskipun banyak aliran pemikiran dunia yang menjadi dasar berfikir founding fathers saat merumuskan konstitusi. Pemikiran barat yang berkembang pada trend dunia saat itu tidak serta merta menjadi rujukan mutlak dalam menyusun sistem pemerintahan untuk NKRI. Melainkan dengan menonjolkan sisi originalitas bangsa Indonesia yang berangkat dari sistem pemerintahan adat asli Indonesia.

Dari rumusan itu, terlihat jelas bahwa NKRI bukanlah Negara demokrasi yang menganut konsep Trias Politica melainkan Negara kebangsaan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Dengan adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai cerminan lembaga permusyawaratan dari pemerintahan adat dari setiap daerah di Indonesia. Contohnya seperti sistem penghulu di Minangkabau, joglo di Jawa, baruga di Bugis, honai di Irian dan masih banyak lagi di daerah Indonesia lainnya. Sistem pemerintahan adat yang tunduk pada lembaga permusyawaratan rakyat banyak merupakan hakikat dari sistem pemertintahan Quarta Politica. Jadi pemerintahan tidak dikendalikan oleh partai akan tetapi oleh rakyat banyak melalui lembaga permusyawaratan.

Keberanian founding fathers yang melihat bergeraknya zaman cukup kita berikan apresiasi yang tinggi. Meskipun sangat disayangkan gagasan itu masih bersifat abstrak karena sampai dengan NKRI terbentuk dan berjalan sampai dengan hari ini, konsep tersebut belum pernah berjalan. Justru salah seorang founding fathers yang tidak pernah duduk di pemerintahan pada beberapa bulan setelah kemerdekaan mengusulkan untuk menerapkan sistem pemerintahan rakyat dengan suatu badan permusyawaratan yang benar-benar berasal dari rakyat. Dan disitulah terdapat makna merdeka 100% ketika badan permusyawaratan rakyat dengan nama MPR terbentuk dan berfungsi untuk menjalankan kedaulatan rakyat sepenuhnya (sesuai UUD 1945 pasal 1 ayat 2). Upaya yang dilakukan oleh salah seorang founding fathers yang dikemudian hari dikenal dengan nama Tan Malaka  tersebut adalah pernyataan yang menunjukan bahwa NKRI berbeda dengan Negara lain. Perbedaan itu merupakan bentuk keunikan dari system pemerintahan yang berdasarkan musyawarah mufakat.  

Kita sebagai generasi sekarang juga selayaknya memiliki keberanian untuk melakukan “penamaan” terhadap sistem asli kita. Sehingga dari hasil “urun rembug” antara elemen-elemen masyarakat bulan Juni yang lalu di Jakarta, yang terdiri dari pakar hukum, tokoh agama, aktivis, politisi, veteran, dan elemen masyarakat lainnya telah mensepakati istilah Quarta Politica sebagai sistem pemerintahan ala Indonesia yang berdasarkan UUD 1945.

Lalu apakah yang dimaksud pemerintahan Quarta Politica? Secara definisi Quarta Politica adalah suatu sistem pemerintahan yang dibentuk dari kebenaran sejarah bangsanya yang akan menghasilkan hukum yang menguasai kehidupan manusia yang dijadikan pedoman bagi pemimpin untuk menjadikan dirinya semakin lebih arif dan bijak di dalam mewujudkan visi dan misi negara yang telah ditetapkan oleh Pembukaan UUD 1945 dan akan dicapai melalui proses musyawarah untuk mufakat berjenjang keatas secara bersama, bertahap, dan berkesinambungan dengan azas kekeluargaan yang terukur di dalam ukuran-ukuran dimensi Pancasila sebagai hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dengan benar dan baik.

Pemerintahan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berangkat dari keluarga, RT/RW, lembaga adat, Lumbung, MPR sampai dengan lembaga Negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan metode musyawarah mufakat. Disitulah yang menjadi pembeda antara Quarta Politica dengan Trias Politica yang cenderung menggunakan pemilu dan partai politik sebagai perangkatnya.

Setidaknya gagasan ini menjadi solusi untuk mengakhiri adanya bad governance saat ini. Terutama pada saat UUD 1945 dirubah menjadi UUD 2002. Karena dengan dasar landasan UUD 2002 itu kita menjadi Negara penganut Trias Politica murni yang cenderung dengan kekuasaan mutlak dari golongan pemenang pemilu. Dan segala bentuk kebijakannya berdasarkan tinjauan kepentingan kelompok bukan berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia.


Penulis : Adityo Nugroho
Penulis adalah analisis di Media Center Kebangsaan

1 komentar:

  1. Setuju sekali, Mas.
    Visi Bangsa: MeD1A Makmur, tercantum dalam Alinea#2 PUUD45 (Me(rdeka)(ber)D(aulat)(ber)1A(dil) Makmur). Misi Bangsa: 4M (Melindungi..., Memajukan..., Mencerdaskan..., ikut Melaksanakan...) sesuai dgn isi Alinea #4 PUUD45

    BalasHapus