Kamis, 20 Maret 2014

Kepala Daerah Maju Capres Tidak Perlu Mengundurkan Diri, Benarkah..???


Polemik majunya Kepala Daerah menjadi Calon Presiden / Calon Wakil Presiden telah menjadi pembahasan hangat disemua kalangan, baik ditingkat elite maupun ditingkat masyarakat. Perdebatan lebih banyak melihat dari sisi Etika Politik maupun secara sosiologis. Namun bagaimanakah pandangan dari sisi Yuridis?

Jika kita melihat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA yang dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden  harus mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara dalam Pasal 7 mengatakan bahwa Kepala Daerah yang dicalonkan Partai Politik tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, namun meminta untuk di nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti), yang pengaturannya diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009.

Namun pada pasal 1 angka 4 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA adalah Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan PEJABAT NEGARA yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Kemudian dalam Pasal 11 kembali dipertegas tentang klasifikasi PEJABAT NEGARA terdiri atas :
a.  Presiden dan Wakil Presiden;
b.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;
d.  Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
g.  Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h.  Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.   Gubernur dan Wakil Gubernur;
j.    Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k.  Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang

Jadi bisa dikatakan bahwa ada norma yang saling berbenturan antara norma yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dengan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian karena telah memisahkan Kepala Daerah dari bagian PEJABAT NEGARA.

Namun semenjak munculnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti dari UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dalam pengaturannya, tidak lagi memasukan definisi PEJABAT NEGARA dalam Ketentuan Umumya dan juga menghapus klasifikasi PEJABAT NEGARA, sehingga memperkuat aturan dalam Pasal 7 yang memisahkan Kepala Daerah dengan Pejabat Negara, sehingga inlah yang menjadi dasar hukum para Kepala Daerah yang mencalonkan diri menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak perlu mundur dari Jabatannya dan cukup meminta Ijin kepada Presiden untuk mendapatkan ijin Non aktif Sementara (Cuti) dengan dasar Keputusan Presiden (Keppres).

Jika dilihat dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini tidak Konsisten karena dalam konsideran menimbang huruf d, dikatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional tantangan global sehingga perlu diganti.

Namun pada Ketentuan Penutup, pasal 139 mengatakan bahwa, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No,or 3041) sebagaimana diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.  
               
Jadi secara yuridis, sudah tidak ada lagi aturan yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya, hanya yang dapat dipersoalkan selanjutnya adalah apakah Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan oleh Presiden dalam memberikan izin cuti kepada Kepala Daerah sudah sesuai dengan Asas-asas atau Kepatutan yang ada dengan mengujinya ke PTUN. Atau menguji Norma pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden ke Mahkamah Konstitusi jika dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

                                                                                    Salam Hormat,
                                                                               Ketua Umum FKHK

                                                                            Victor Santoso Tandiasa


Selasa, 11 Maret 2014

KESIMPULAN PERKARA 97/PUU-XI/2013 TENTANG KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENANGANI SENGKETA PILKADA



I.         PEMOHON

1.     Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dalam hal ini diwakili oleh Victor Santoso Tandiasa, SH., Ryan Muhammad, SH., dan Okta Heriawan, SH., sebagai Pemohon I.

2.    Badan Eksekutif Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul (BEM FH UEU), dalam hal ini diwakili oleh Kurniawan, Danny Dzul Hidayat dan Landipa Nada Atmaja, sebahai Pemohon II.

3.  Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ), dalam hal ini diwakili oleh Achmad Saifudin Firdaus dan Lintar Fauzi sebagai Pemohon III



II.      OBJEK PERMOHONAN
Pengujian Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



III.   NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI

A.    Norma Formil dan Materiil

Norma yang diujikan, yaitu :

1.      Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
“Penanganan Segketa hasil Penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”

2.      Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
“Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang” dalam penjelasannya mengatakan bahwa “dalam ketentuan ini termasuk memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”


B.     Norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu :

1.      Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”

2.      Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

3.      Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum”


 
IV. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

1.      Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum.

2.      Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena secara limitatif sudah membatasi ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas penanganan pemilihan umum saja dan sengketa yang dimaksud ketentuan a quo tidak termasuk.

3.      Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena tidak mengatur dan memberikan kewajiban kepada norma yang lebih rendah untuk memberikan kewenangan penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah pada mahkamah konstitusi karena tidak ada frasa kepala daerah pada norma yang diatur dalam Pasal 22E ayat (2), dan Pemilihan Umum yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemilihan Umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali



V.      KETERANGAN AHLI PEMOHON

1.      Muhammad Mukhtasar Syamsudin, Ph.D

Bahwa hampir semua Ahli filsafat, bahkan Ahli politik mengatakan bahwa negara adalah bentukan dari kesepakatan bersama rakyat untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita bersama, yaitu kalau kita dasarkan pada Pancasila, masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Maka negara hukum yang kita dirikan atau yang kita sedang tempati sekarang ini adalah negara hukum yang dibangun dan dikelola atas dasar Pancasila. Dengan demikian pula, maka negara Indonesia yang kemudian dinyatakan secara konstitusional di dalam Pasal 1 ayat (3) yang ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum adalah negara yang dibangun atas 5 dasar atau 5 prinsip yang sesuai dengan Pancasila. Mulai dari nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, maka negara hukum Indonesia adalah negara yang mengakui ketuhanan dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai kemanusian, menjaga persatuan, dan menjalankan kehidupan bernegara berdasarkan demokrasi untuk mewujudkan keadilan sosial sebagai nilai kelima atau prinsip kelima dari Pancasila itu.

Bahwa dalam pandangan ini, maka kami ingin memberikan penjelasan bahwa ada kecenderungan di dalam praktik kehidupan bernegara sekarang ini menjadikan dekorasi sebagai tujuan kehidupan bernegara. Padahal sesungguhnya yang menjadi tujuan kita dalam hidup bernegara adalah membangun atau menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, yang adil berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu kalau kita menggunakan teori-teori filsafat politik, maka hidup bernegara kita sekarang ini terlihat sedang mempraktikan perannya sebagai negara yang pasif di dalam membawa aspirasi rakyat yang berdaulat di negeri ini. Oleh karena itu sesungguhnya kita tidak hanya berhenti pada demokrasi, demokrasi bukan sebagai tujuan, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan negara yang hakiki, yaitu menciptakan masyarakat adil, yang sejahtera, yang dikenal di dalam teori politik, yaitu masyarakat yang welfare state, masyarakat yang hidup di dalam negara sejahtera. Nampaknya dalam praktik perundang-undangan yang seharusnya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan welfare state ini masih sangat jauh dalam kehidupan bernegara kita sekarang karena nampak kecenderungan berhenti pada bagaimana mewujudkan demokrasi dan demokrasi itu sendiri sayang sekali tidak mencerminkan semangat atau prinsip Pancasila.

Bahwa oleh sebab itu berikunya kami ingin menyampaikan keterangan mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila tentu saja bukan demokrasi yang kita adopsi dari luar negeri, dari bangsa lain. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia sendiri, yaitu nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan yang kita lebih kenal dengan nilai musyawarah, dan selanjutnya nilai keadilan sosial. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bertumpu pada hakikat manusia yang bersifat mono-pluraris, yaitu manusia yang tidak hanya bersifat individual, tetapi manusia yang bersifat sosial. Dari segi ini, maka demokrasi Pancasila berbeda dengan demokrasi liberal yang menekankan aspek individualitas. Bukan juga bahwa demokrasi Pancasila yang tidak sama dengan demokrasi individual itu sehingga menjauhi atau tidak melindungi hak-hak privat, tetapi demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menjaga keseimbangan antara hakikat manusia sebagai individu dan hakikat manusia sebagai masyarakat. Pada sisi lain, dalam pengertian manusia sebagai mono-pluraris itu manusia Indonesia adalah manusia yang bertuhan, tetapi sekaligus adalah makhluk yang mandiri sehingga di dalam upaya untuk mencapai cita-cita tujuan kita bernegara yang kita sebut tadi masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang lahir, yang sejahtera, tapi batinnya juga sejahtera.

Bahwa demikian pula pada sisi yang ketiga, manusia itu terdiri atas jiwa tetapi juga dilengkapi dengan raga. Kedua hal yang sangat berbeda ini di dalam Pancasila menjadi dua hal yang seimbang, tidak mengutamakan aspek jasmaniah semata, dan juga tidak mengutamakan aspek spiritual saja, tetapi aspek jasmaniah dan rohaniah menjadi seimbang di dalam Pancasila.

Bahwa oleh karena itu, maka demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dibangun atas dasar hakikat manusia yang serba plural itu yang tidak monolitik hanya individual, tapi juga sosial, tidak hanya makhluk Tuhan, tapi juga makhluk yang mandiri, tidak hanya makhluk yang jasmaniah, tapi juga rohaniah. Inilah dalam ilmu kami disebut sebagai ontologis negara hukum. Dasar ontologis negara hukum Indonesia adalah manusia Indonesia yang bersifat mono-pluralistik itu tadi sehingga yang diperhatikan di sana tidak hanya kepentingan individual, tetapi juga kepentingan masyarakat.

Bahwa oleh sebab itu, maka kedudukan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan kita menjadi sangat jelas, pertama yaitu sebagai norma yang tertinggi atau juga disebut di dalam teori ilmu hukum sebagai rechtsidee, cita hukum yang tertinggi yang pada suatu sisi terpisah dengan batang tubuh atau pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena merupakan norma yang tertinggi, namun pada sisi lain merupakan satu kesatuan dengan seluruh pasal-pasal Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, sebagai rechtsidee, Pancasila memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama fungsi regulatif, yaitu bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diimplementasikan dan dijadikan sebagai peraturan perundangundangan untuk mencerminkan tujuan daripada upaya untuk mencapai negara atau masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Yang kedua, fungsi Pancasila sangat substantif, yaitu bahwa sebagai rechtsidee, undang-undang atau segala peraturan yang ada di bawah dari pada citra hukum itu tidak akan mempunyai makna apabila tidak disinari, tidak dilandasi oleh rechtsidee, Pancasila.

Bahwa hal berikutnya yang ingin kami sampaikan, lalu bagaimana sistem demokrasi Pancasila diimplementasikan di dalam kehidupan bangsa Indonesia? Kita berpijak pada sila keempat Pancasila yang mengatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selain sila ini tidak bersemangat individualistik, sila ini juga berdasarkan pada pernyataan hikmat kebijaksanaan, maka demokrasi dikelola untuk memperoleh sebuah kebajikan. Ada tujuan yang jauh lebih mendasar, jauh lebih fundamental dari sekadar demokrasi itu sendiri, dari sekadar cara bermusyawarah, dari sekadar cara mengambil keputusan. Yaitu bahwa demokrasi berjalan dengan suatu tujuan, yaitu untuk mewujudkan suatu kebajikan.

Bahwa demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat rasional. Demokrasi Pancasila juga bersifat moral. Demokrasi yang sangat menekankan rasionalitas jelas sekali adalah demokrasi yang diadopsi dari sistem Barat, yang bersifat liberal kapitalistik, individual. Tetapi demokrasi Pancasila yang selain memperhatikan aspek rasionalitas, juga memperhatikan moralitas, yaitu untuk mewujudkan kebajikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan sistem demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di negeri ini tidak dapat berhenti pada sila keempat, yaitu dalam proses berdemokrasi itu saja, tetapi selanjutnya proses demokrasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan atau mencapai sila yang kelima dari Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.



2.      Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.

A.    Kewenangan MK

Bahwa Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menetapkan kewenangan MK yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final  untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Pasal 24C ayat (1) ini merupakan dasar kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, yang sifatnya limitatif dalam arti hanya apa yang disebut dalam pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Terhadap kewenangan dimaksud di satu pihak tidak dapat ditambahkan kewenangan lain, dan di lain pihak tidak dapat dikurangi kecuali karena adanya perubahan terhadap pasal dimaksud yang terjadi dengan jalan perubahan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37 (Vervasunganderung).

Bahwa dalam perubahan ketiga UUD 1945 ditetapkan pula pengaturan terkait dengan materi Pemilihan Umum (Pemilu), sebagaimana dituangkan dalam Pasal 22E bahwa: 

(1)  Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2)  Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)  Peserta pemilihan umum  untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan  anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  adalah partai politik.
(4)  Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah  adalah perseorangan.
(5)  Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6)     Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.   

Bahwa ketentuan Pasal 22E UUD NRI 1945 sama sekali tidak menyebutkan ataupun memasukkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai bagian dari Pemilu.  Artinya secara konstitutional Pilkada tidak dimasukkan sebagai rezim pemilu.  Jika akan dimasukkan sebagai bagian dari pemilu seharusnya dilakukan perubahan UUD pada waktu perubahan ketiga dilakukan, karena, pengaturan mengenai Pilkada merupakan hasil perubahan kedua UUD 1945, yang dalam  Pasal 18 ayat (4) menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Bahwa pengaturan proses Pilkada sejak Indonesia Merdeka merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu pengaturannya diderivasi ke dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.” Artinya keseluruhan pengaturan terkait dengan ayat (1) hingga ayat (6) dari Pasal 18 UUD 1945 diderivasikan dalam UU.  UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah secara lengkap. Hal ini  merupakan konsekuensi pemerintahan daerah adalah sub pemerintah Pusat. Segala hal ihwal tentang pemerintahan daerah merupakan bagian dari kekuasaan Pemerintahan, yang dicirikan antara lain dengan kedudukan DPRD dan Kepala Daerah sama-sama sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, serta produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah (Perda) dapat dibatalkan oleh Presiden melalui jalur executive review. 

Bahwa UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan UU No. 15 Tahun 2011, yang memasukkan Pilkada sebagai rezim Pemilu.  Ketentuan ini tidak sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai implikasi dimasukannya Pilkada ke dalam rezim Pemilu terjadi pelimpahan kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari Mahkamah Agung (MA) ke MK.

Bahwa namun demikian, tidak ada kejelasan disain konstitusional mengenai pengalihan kewenangan itu. Kewenangan MK ini hanya ditempelkan dalam  Bab Ketentuan Peralihan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004:
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Bahwa Sumber legitimasi kewenangan MK hanya berdasarkan ketentuan peralihan sangat tidak sejalan dengan putusan MK: “Haruslah dimengerti bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang melainkan organ Undang-Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undang-undang. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstutusionalnya adalah Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subjek dalam sistem hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa ahli berpendapat bahwa bukan berarti “Ketentuan Peralihan” tidak penting dalam suatu sistimatika peraturan perundang-undangan, tetapi hal ini harus dikaitkan dengan makna Ketentuan Peralihan menurut Butir C.4 Nomor 127 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:

C.4.   Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)

127.   Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:

a.    menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b.   menjamin kepastian hukum;
c.    memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.   mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara

Bahwa dalam konteks penyelesaian hasil Pilkada tidak ada sama sekali kekosongan hukum dengan sendirinya ada kepastian hukum karena penyelesaian tersebut sebelumnya merupakan kewenangan MA c.q Pengadilan Tinggi (PT). Demikian kewenangan MK yang didapat karena pengalihan dari MA hanya karena “mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara”. Alangkah tidak tepatnya jika memberikan kewenangan tambahan bagi MK sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi yang merupakan hukum dasar tertinggi di negeri ini hanya melalui politik legislasi “Ketentuan Peralihan”, apalagi hal tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan bunyi Pasal 24C ayat (1) yang secara eksplisit mengatur batas kewenangan MK. 

Bahwa jika pembentuk UU masih merasa belum jelas dengan bunyi ketentuan Pasal 24 C ayat (1) maka MK sebagai lembaga penjaga gawang dan penafsir konstitusi perlu menafsirkan dengan jelas apa batas kewenangan MK tersebut dalam rangka menegakkan UUD. Lebih dari itu jika merujuk pada Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 (halaman 93) yang juga merujuk pada putusan MK sebelumnya, MK menyatakan bahwa:

Ketentuan dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas membedakan mengenai perumusan kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A ayat (1) dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1). Kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan secara tidak limitatif (non–limitatif), karena sebagian masih dapat ditentukan lebih lanjut dengan undang-undang sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dirumuskan tegas dan bersifat limitatif. Karena itu, pembentuk undang-undang - dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden - diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk menambah dan melengkapi ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Agung. Akan halnya kewenangan Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden tidaklah berwenang menambah dan karena itu secara a contrario juga tidak berwenang mengurangi kewenangan Mahkamah Konstitusi itu dengan undang-undang. Karena itu, landasan hukum yang dapat dipakai untuk menentukan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang atau tidak berwenang untuk memeriksa sesuatu permohonan haruslah didasarkan atas ketentuan Undang-Undang Dasar bukan undang-undang.

Bahwa pendapat MK ini menjadi dasar penguat bahwa tidak boleh menambah atau mengurangi kewenangan MK yang sudah sangat eksplisit ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf d UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, jelas bertentangan dengan UUD.

Pasal 29
(1)   Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat ertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.  menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.  memutus pembubaran partai politik;
d.  memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e.  kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Bahwa kewenangan lain yang dimaksud oleh Pasal 29 ayat (1) huruf e ini, dapat menambah yang menyebabkan dapat menurunkan wibawa kelembagaan MK sebagai organ konstitusi/UUD.

Bahwa akibat diberikannya kewenangan tambahan oleh UU ini , maka MK kebanjiran perkara penyelesaian hasil Pilkada, yang kadang-kadang sampai menyentuh sengketa Pilkada. Hingga akhir September lalu, perkara perselisihan hasil Pemilukada masih mendominasi perkara-perkara yang ditangani MK yang jumlahnya sekitar 615 perkara. Dari jumlah itu, 593 perkara telah diputus dan 22 perkara masih dalam proses pemeriksaan.Kondisi ini menyebabkan MK terpaksa berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian UU, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.  Dapat dibayangkan betapa berat dan rawannya kedudukan MK akibat menjalankan kewenangan yang bukan bersumber pada kewenangan pokok dalam konstitusi.

B.     Penyelesaian Hasil Pilkada

Bahwa apakah jika MK tidak menyelesaikan perkara hasil Pilkada, akan menyebabkan terganggunya roda pemerintahan?. Proses Pilkada melibatkan kelembagaan KPU, Bawaslu dan DKPP. Ketiga lembaga inilah yang semestinya dioptimalkan fungsinya sesuai dengan paket UU pemilu, salah satunya UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang dengan jelas disebutkan fungsi ketiga organ tersebut. KPU (provinsi/kabupaten/kota) sebagai penyelenggara pemilu, Bawaslu menjalankan tugas mengawasi penyelenggaraan pemilu, dan DKPP bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.

Bahwa perubahan UU No. 32 Tahun 2004 yang sedang dalam proses yang diikuti dengan pembentukan UU Pilkada, merupakan momentum untuk merekontruksi hukum sistem Pilkada sehingga dapat mengurangi munculnya sengketa. Artinya jika MK tidak melanjutkan kewenangan transisional tersebut  tidak akan menyebabkan Pilkada tidak berjalan, justru akan menghasilkan putusan MK yang jauh lebih baik karena terfokus pada kewenangan yang diberikan oleh UUD. 



3.    Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

Bahwa keberadaan Pasal 236C UU Pemda yang berbunyi, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”, bukanlah diturunkan dari Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman. Sebab, UU Kekuasaan Kehakiman baru lahir (diundangkan) pada tahun 2009, artinya UU Pemda lebih dahulu lahir. Karena itu tidak mungkin undang-undang yang lahir belakangan dijadikan rujukan, apalagi dasar hukum, bagi undang-undang yang lahir lebih dahulu.

Bahwa lahirnya Pasal 236C UU Pemda adalah berkorelasi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu). Dalam Ketentuan Umum UU Pemilu dimaksud, yaitu Pasal 1, dimuat ketentuan tentang pengertian pemilihan umum (pemilu), yang memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam ruang lingkup pemilu.

Bahwa dalam Pasal 1 angka 4 UU Pemilu dikatakan, “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Bahwa dengan kata lain, pemilihan kepala daerah dikonstruksikan sebagai bagian dari pemilu. Selanjutnya, karena yang berwenang memutus sengketa hasil pemilu menurut UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi, kalau terjadi sengketa hasil pemilihan kepada daerah maka yang berwenang memutus adalah Mahkamah Konstitusi. Karena itulah lantas, oleh pembentuk undang-undang, dibuatkan “saluran” untuk “memindahkan” kewenangan memutus sengketa pemilihan kepala daerah itu ke Mahkamah Konstitusi (yang sebelumnya berada di tangan Mahkamah Agung), yaitu lewat Pasal 236C UU Pemda di atas.

Bahwa dengan demikian persoalannya, pada awalnya, bukanlah terletak pada Pasal 236C UU Pemda melainkan pada Pasal 1 angka 4 UU Pemilu. Artinya, apakah Pasal 1 angka 4 UU Pemilu yang memasukkan pemilihan kepada daerah ke dalam ruang lingkup Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak?

Bahwa menurut saya, jawabannya adalah “Ya”, bertentangan dengan UUD 1945. Argumentasi saya bukan bertolak dari penafsiran original intent pembentuk UUD 1945 (yang memang tak bermaksud memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam pengertian pemilu) melainkan dari penafsiran sistematis dan teleologis dalam membaca Pasal 22E UUD 1945.

Bahwa secara sistematis, Pasal 22E UUD 1945 memulai pengaturan tentang pemilu dengan terlebih dahulu memuat ketentuan umum tentang asas dan periodisasi pemilu, sebagaimana diatur pada ayat (1)-nya yang mengatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”  Sementara itu, ayat (2) dari Pasal 22E UUD 1945 itu menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Jadi, secara sistematis, pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (1)  UUD 1945 itu adalah pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Jadi, tidak termasuk pemilihan kepala daerah.

Bahwa argumentasi yang memasukkan pemilihan kepada daerah ke dalam pengertian pemilu juga tertolak karena alasan-alasan atau penalaran sebagai berikut:

-       pertama, secara struktural, pengaturan tentang kepala daerah adalah bagian dari pengaturan tentang pemerintahan daerah sehingga ia tunduk pada ketentuan tentang pemerintahan daerah dalam UUD 1945, dalam hal ini Bab VI (yang mencakup Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B), termasuk tata cara pemilihannya;

-       kedua, tentang tata cara pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa kepala daerah itu dipilih secara demokratis, yang artinya ia dapat dipilih secara langsung ataupun secara tidak langsung;

-       ketiga, dengan demikian, kalaupun pemilihan kepala daerah diterima sebagai bagian dari pemilu, quod non, penerimaan itu hanya berlaku tatkala pemilihan dilakukan secara langsung. Sedangkan jika pemilihan dilakukan melalui perwakilan, c.q. pemilihan melalui DPRD, yang menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dibenarkan, bukanlah pemilu, sebab salah satu asas pemilu, sebagaimana disebut dalam Pasal 22E ayat (1), yaitu asas langsung, tidak terpenuhi, padahal seluruh asas yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 itu adalah bersifat kumulatif. Selanjutnya, untuk hal yang disebut terakhir, karena bukan pemilu, jika terjadi sengketa dalam pemilihan kepada daerah melalui DPRD itu maka yang berwenang memutusnya bukanlah Mahkamah Konstitusi;

-       keempat, berdasarkan alasan-alasan di atas maka menjadi aneh jika pada suatu waktu pemilihan kepada daerah adalah pemilu, yaitu tatkala dilaksanakan melalui pemilihan langsung (dan karena itu jika terjadi sengketa diputus oleh Mahkamah Konstitusi) sedangkan pada lain waktu ia bukan pemilu, yaitu manakala dilakukan tidak melalui pemilihan langsung melainkan lewat perwakilan, c.q. DPRD (dan karena itu jika terjadi sengketa bukan Mahkamah Konstitusi yang berwenang memutusnya). Padahal keduanya (baik pemilihan secara langsung maupun tidak langsung) berpegang pada landasan konstitusional yang sama, yaitu Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Bahwa sementara itu, terhadap pertanyaan apakah Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak, jawaban saya adalah “Ya”, bertentangan. Hal ini pernah saya bahas dalam salah satu bagian dari disertasi saya,[1] yang intinya dalah sebagai berikut:

Bahwa di bagian ketiga UU Kehakiman, yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 29 ayat (1)-nya dikatakan:
Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.    menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.    memutus pembubaran partai politik;
d.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e.    kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Bahwa tampaknya ketentuan dalam huruf e dari Pasal 29 ayat (1) UU Kehakiman di atas dimaksudkan sebagai pembenaran atau landasan hukum pemberian “tambahan” kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi RI untuk mengadili dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu terbukti dari Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman tersebut yang berbunyi, “Dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Bahwa secara teoretik, ada dua persoalan yang timbul dari ketentuan di atas. Pertama, secara substansial, jelas bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman di atas telah menambahkan kewenangan baru kepada Mahkamah Konstitusi RI. Dikatakan “kewenangan baru” karena kewenangan itu sama sekali bukan merupakan turunan atau derivasi dari kewenangan yang telah secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945, dalam hal ini dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2).

Bahwa pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah undang-undang dapat menambahkan kewenangan baru yang sama sekali tidak disebut dalam rumusan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang secara limitatif mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi RI? Menurut Penulis, jawaban terhadap pertanyaan ini adalah “Tidak.” Sebab, dengan cara demikian berarti telah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan tidak oleh lembaga negara dan menurut prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.

Bahwa Kedua, bahkan andaikata pun cara penambahan kewenangan sebagaimana dilakukan oleh Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman di atas dapat dibenarkan, quod non, hal itu tetap dapat dipersoalkan karena “penambahan” kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi RI itu, yaitu untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah, sudah dilakukan sejak tahun 2008, yakni melalui Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 12/2008), sedangkan UU Kehakiman baru diundangkan 29 Oktober 2009. Pasal  236C UU 12/2008 menyatakan:

“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Bahwa dengan demikian, sekali lagi, andaikata pun cara penambahan kewenangan sebagaimana dilakukan oleh Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kehakiman di atas dapat dibenarkan, quod non, maka ketentuan tersebut hanya berfungsi menjelaskan pemberian “tambahan” kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi RI bukan sebagai dasar hukum pemberian kewenangan itu.

Bahwa tentu sangat berbeda halnya jika frase “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang” dalam huruf e dari Pasal 29 ayat (1) UU Kehakiman itu muncul atau menjadi bagian dari di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.[2] Sehingga dengan demikian jika suatu undang-undang, termasuk UU Kehakiman, memberi kewenangan lain selain yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kewenangan itu adalah derivasi atau diturunkan dari UUD 1945, bukan menambahkan kewenangan baru.

Bahwa dengan kata lain, undang-undang hanya menjadikan lebih eksplisit suatu kewenangan yang secara implisit sudah disebutkan dalam undang-undang dasar. Jadi, dalam hal yang disebut terakhir ini, secara substansial undang-undang tidak menyerobot materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang dasar dan, dengan demikian, secara prosedural pun tidak melakukan pelanggaran prosedur perubahan undang-undang dasar yang ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945 dan kewenangannya ada di tangan pembuat undang-undang dasar, yaitu MPR, bukan di tangan pembuat undang-undang.[3]


VI.    PETITUM

1.  Mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan para Permohon;

2.  Menyatakan bahwa Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;

3.   Memerintahkan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).


[1] Disertasi dimaksud pada saat ini telah diterbitkan dalam bentuk buku. Lihat I Dewa Gede Palguna, 2011, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint). Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grasika: Jakarta.
[2] Rumusan atau frase demikian pernah diusulkan beberapa fraksi selama berlangsungnya rapat-rapat PAH I BP MPR yang membahas kewenangan Mahkamah Konstitusi RI. Lihat lebih jauh, misalnya, usul F-TNI/POLRI dan beberapa fraksi lain dalam Sekretariat Jenderal MPR RI, “Risalah Rapat Pleno Ke-20 PAH I BP MPR 2001,” 5 Juli 2001.
[3] Lihat I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional...op.cit., h. 597-599.