Kamis, 20 Maret 2014

Kepala Daerah Maju Capres Tidak Perlu Mengundurkan Diri, Benarkah..???


Polemik majunya Kepala Daerah menjadi Calon Presiden / Calon Wakil Presiden telah menjadi pembahasan hangat disemua kalangan, baik ditingkat elite maupun ditingkat masyarakat. Perdebatan lebih banyak melihat dari sisi Etika Politik maupun secara sosiologis. Namun bagaimanakah pandangan dari sisi Yuridis?

Jika kita melihat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA yang dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden  harus mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara dalam Pasal 7 mengatakan bahwa Kepala Daerah yang dicalonkan Partai Politik tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, namun meminta untuk di nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti), yang pengaturannya diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009.

Namun pada pasal 1 angka 4 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA adalah Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan PEJABAT NEGARA yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Kemudian dalam Pasal 11 kembali dipertegas tentang klasifikasi PEJABAT NEGARA terdiri atas :
a.  Presiden dan Wakil Presiden;
b.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;
d.  Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
g.  Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h.  Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.   Gubernur dan Wakil Gubernur;
j.    Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k.  Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang

Jadi bisa dikatakan bahwa ada norma yang saling berbenturan antara norma yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dengan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian karena telah memisahkan Kepala Daerah dari bagian PEJABAT NEGARA.

Namun semenjak munculnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti dari UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dalam pengaturannya, tidak lagi memasukan definisi PEJABAT NEGARA dalam Ketentuan Umumya dan juga menghapus klasifikasi PEJABAT NEGARA, sehingga memperkuat aturan dalam Pasal 7 yang memisahkan Kepala Daerah dengan Pejabat Negara, sehingga inlah yang menjadi dasar hukum para Kepala Daerah yang mencalonkan diri menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak perlu mundur dari Jabatannya dan cukup meminta Ijin kepada Presiden untuk mendapatkan ijin Non aktif Sementara (Cuti) dengan dasar Keputusan Presiden (Keppres).

Jika dilihat dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini tidak Konsisten karena dalam konsideran menimbang huruf d, dikatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional tantangan global sehingga perlu diganti.

Namun pada Ketentuan Penutup, pasal 139 mengatakan bahwa, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No,or 3041) sebagaimana diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.  
               
Jadi secara yuridis, sudah tidak ada lagi aturan yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya, hanya yang dapat dipersoalkan selanjutnya adalah apakah Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan oleh Presiden dalam memberikan izin cuti kepada Kepala Daerah sudah sesuai dengan Asas-asas atau Kepatutan yang ada dengan mengujinya ke PTUN. Atau menguji Norma pasal 7 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden ke Mahkamah Konstitusi jika dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

                                                                                    Salam Hormat,
                                                                               Ketua Umum FKHK

                                                                            Victor Santoso Tandiasa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar