Senin, 26 Agustus 2013

PELANGGARAN TERHADAP PENGGUNAAN SIMBOL NEGARA BENDERA MERAH PUTIH DALAM KONSER METALLICA

Baru-baru ini Indonesia baru saja disajikan hiburan ala barat yang banyak menghipnotis rakyat Indonesia, yaitu konser Metallica yang merupakan grup band American heavy metal  legendaris yang berasal dari Los Angeles, Amerika Serikat. Namun sangat disayangkan ketidakcermatan panita penyelenggara terhadap hal-hal/tindakan yang menjadi penghinaan terhadap Simbol Negara Bendera Merah Putih. 


Kejadian tersebut terjadi di akhir konser yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta, pada tanggal 23 Agustus 2013 (25/8/2013) malam WIB. Bendera bendera merah putih bertuliskan “Metallica Solo-Indonesia” itu didapatkan oleh para personel Metallica dari fans yang menyaksikan konser dari barisan depan. Sungguh sangat disayangkan panitia penyelenggara membiarkan saja hal itu terjadi.

 
Jika kita mengacu pada tindakan tersebut jelas menulisi Bendera Merah Putih dengan Tulisan Metallica melanggar Undang-Undang  Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 24 huruf d dikatakan :
“Setiap orang dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara”.

Kemudian Sanksi pidana pada pasal 67 huruf c dikatakan :
“Dipidana  dengan pidana penjara paling lama 1 tahun (satu) tahun atau denda paling banyak RP.100.000.000,- (seratus juta rupiah), setiap orang yang : (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d” 

Mengibarkan bendera Merah Putih dalam moment konser dan lain-lain memang adalah wujud ekspresi kecintaan kita terhadap NKRI, namun jika Bendera tersebut ditulisi oleh huruf/tulisan seperti yang dilakukan oleh fans Metallica tersebut, jelas sudah merupakan suatu tindakan PELANGGARAN terhadap penggunaan Simbol Negara Bendera Merah Putih.

Melihat kejadian yang terjadi dalam konser tersebut, kami sangat menyayangkan panitia penyelenggara yang membiarkan terjadinya yang dilarang oleh Undang-Undang karena dianggap sebagai Pelanggaran terhadap Penggunaan Simbol Negara Bendera Merah Putih.

Jika bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga kehormatan Bangsa dan Negara kita tercinta.

Salam Bhinneka Tunggal Ika
-VST-

Minggu, 25 Agustus 2013

Kesalahan Terminologi Gagasan 4 Pilar Kebangsaan MPR RI



 Dalam satu periode (2009-2014) ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) gencar melakukan sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika), dengan berbagai macam upaya, mulai dari Seminar, aneka Lomba (cerdas cermat, membuat lagu, orasi ilmiah, dsb), bahkan membuat siaran khusus 4 Pilar Kebangsaan di Media Electronik yang kita ketahui untuk melaksanakan semuanya itu membutuhakan anggaran yang tidak sedikit. Namun apakah gagasan 4 pilar itu merupakan suatu gagasan dengan terminologi yang benar, atau sebaliknya merupakan suatu penyimpangan yang merubah kedudukan Pancasila yang merupakan dasar pondasi bangsa yang diatasnya berdiri bangunan Megah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar diatas adalah 4 Pilar yang dibangun di dalam gedung MPR RI, sebagai wujud grafis/gambaran dari gagasan 4 Pilar kebangsaan MPR RI (periode 2009-2014). Jika kita melihat gambar tersebut, sangat jelas bahwa MPR menggunakan kata Pilar dalam Terminologi Bangunan yang merupakan tiang penyangga bangunan, bukan “Pilar” dalam perumpamaan dasar atau Pondasi bangunan seperti yang dipaparkan dalam setiap sosialisasinya. Kesalahan dalam penggunaan kata dapat membuyarkan substansi makna dari kata tersebut.


Gambar : Ilustrasi 4 Pilar


Mengutip pidato Bung Karno, dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka, pada tanggal 1 Juni 1945 yang kita kenal sebagai hari Lahirnya Pancasila. Dalam pidatonya Bung Karno mengemukakan bahwa Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,dan tercetuslah 5 prinsip dasar oleh Bung Karno, yang kita kenal dengan nama Pancasila yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan hingga akhirnya ditetapkan rumusan Pancasila yang hingga dimasukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian mengalami perubahan Konstitusi hingga munculnya Dekrit 5 Juli 1959 yang menetapkan kembali ke UUD 1945.

Selanjutnya berbicara Undang-Undang Dasar 1945, mari kita melihat Pembukaan (Preambule) dalam paragraf ke-4 (terakhir) dikatakan :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kenijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Berdasarkan aninea ke-4 ini secara jelas menegaskan bahwa UUD 1945 berdasar pada kelima prinsip yaitu Pancasila. Artinya batang tubuh yang terdapat dalam UUD 1945 adalah merupakan turunan dari Pancasila. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari sumber hukum yaitu UUD 1945 yang menjadi Konstitusi Republik Indonesia adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Sementara, pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 adalah merupakan suatu aturan dasar terhadap penyelenggaraan Negara, sehingga dapat disimpulkan bahwa NKRI ada perwujudan dari Batang Tubuh yang terdapat dalam UUD 1945 yang di dalamnya mengatur tentang Negara, dan UUD 1945 adalah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan / perwujudan dari 5 (lima) Prinsip yang ada dalam Pancasila.

Demikian kami jelaskan secara singkat dasar penolakan kami terhadap gagasan MPR RI yang kami anggap mencoba merubah kedudukan Pancasila yang dapat mempengaruhi pengkaburan pemaknaannya terhadap fungsi dari Pancasila yang terminologikan sebagai Pilar Bangunan sesuai dengan Gambar diatas yang diambil di dalam aula MPR RI seperti pada gambar diatas.


Penulis : VST

Minggu, 18 Agustus 2013

MENINJAU KEDUDUKAN SATUAN KERJA KHUSUS (SKK) MIGAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM



Oleh :

Ryan Muhammad, SH
Pengamat Ketahanan Nasional
 
Terlepas dari kasus ditangkapnya Kepala SKK Migas (Rudi Rusbiandini) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus suap di SKK Migas, penulis sengaja tidak mem-fokuskan kasus tersebut ke dalam tulisan ini, penulis justru lebih mem-fokuskan kepada berbagai permasalahan besar yang lebih krusial dari kasus tersebut.

Kedudukan hukum dari keberadaan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam sektor usaha minyak dan gas bumi nasional yang dibentuk oleh Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pasca dibubarkannya BP Migas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012. Dibentuknya SKK Migas ini merupakan bentuk in-konsistensi Pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 yang telah membatalkan pasal-pasal mengenai keberadaan BP Migas di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebab dibentuknya SKK Migas hampir serupa dengan BP Migas sebelumnya, bedanya saat ini terdapat Komisi Pengawas di dalam struktur SKK Migas sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dan jika dikaji lebih dalam, tugas dan kewenangan dari SKK Migas pun setali tiga uang atau serupa dengan tugas dan kewenangan BP Migas sebelumnya. Artinya, kedudukan SKK Migas saat ini ialah in-konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tidak berdasarkan kepada Undang-Undang, karena sudah tidak ada lagi kekuatan hukum yang mengikat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi mengenai Badan Pelaksana atau Satuan Kerja Khusus yang dibentuk khusus mengurusi sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional pasca putusan Mahkamah Konstitusi Ri Nomor 36/PUU-X/2013. Dengan kata lain, Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 yang menjadi dasar dibentuknya SKK Migas tersebut dapat diuji materil (judicial review) ke Mahkamah Agung RI untuk diuji dan dibatalkan.

Mengenai tugas dan kewenangan SKK Migas yang berwenang menandatangani Kontrak Karya Migas dengan kontraktor asing maupun lokal ini justru yang berbahaya, artinya SKK Migas yang dalam hal ini sebagai kepanjangan tangan dari Negara, status kedudukan hukumnya menjadi setara dengan pihak kontraktor asing maupun lokal di dalam Kontrak Karya tersebut. Bahayanya lagi, jikalau terjadi sengketa (dispute) antara SKK Migas dengan pihak kontraktor, maka kekayaan Negara berpotensi untuk tersita, karena SKK Migas hanyalah suatu Badan Hukum non-profit yang tidak memiliki kekayaan (asset & liability) yang terpisah. Kemudian kewenangan lain dari SKK Migas yaitu dapat menunjuk langsung kontraktor asing maupun lokal untuk melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tanpa harus melalui mekanisme persaingan tender (verifikasi). Hal ini-lah yang menjadi peluang atau celah besar terjadinya praktik suap (korupsi) di tubuh SKK Migas, karena akan banyak kontraktor-kontraktor yang berusaha menyuap pejabat-pejabat di SKK Migas agar dapat ditunjuk sebagai kontraktor yang sah dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.    

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012, majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan tersebut menyarankan agar pengelolaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi dikembalikan kepada Pemerintah atau BUMN yang terkait dengan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi demi kepastian hukum dan kelangsungan kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI pun menilai bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi telah membuka keran liberalisasi di sektor Minyak dan Gas Bumi Nasional yang pro kepada investor asing sehingga berpotensi kepada kerugian Negara di sektor sumber daya alam. Padahal Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas mengatur bahwa “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Faktanya ialah bahwa sekitar 90 persen kegiatan usaha minyak dan gas bumi di Indonesia didominasi oleh investor asing, akibatnya sebagian besar investor lokal atau pengusaha pribumi yang menggeluti usaha minyak dan gas bumi kalah saing, atau bahkan gigit jari. Ditambah lagi dengan penerimaan Negara di sektor sumber daya alam yang terus menurun setiap tahunnya, regulasi ini jelas sangat tidak pro kepada bangsa sendiri, artinya sudah seharusnya dibentuk Undang-Undang tentang minyak dan gas bumi yang baru dan pro terhadap rakyat Indonesia.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi membawa implikasi terhadap masa depan industri minyak dan gas bumi nasional. Liberalisasi yang menjadi nafas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, telah mereduksi kontrol Negara terhadap cadangan dan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dengan merombak Pertamina sebagai perseroan biasa, Negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya minyak dan gas bumi, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi kepada Badan Pelaksana (BP Migas) atau saat ini SKK Migas, yang bukan badan usaha tidak menjamin kontrol Negara terhadap kekayaan strategis, yang menguasai hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan Pengatur Hilir (BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir minyak dan gas bumi, telah mengorbankan skala usaha vertikal terpadu (vertically integrated), yang terbukti dapat menjamin kepentingan nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Implikasi yang paling mendasar ialah karena control cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, sudah tidak berada di tangan BUMN Migas, Negara kehilangan alat untuk menjamin keamanan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG). Akibatnya krisis bahan bakar minyak dan gas, akan selalu membayangi sektor energi nasional.

Demikian tulisan ini disampaikan berdasarkan hasil pemikiran penulis dan dari berbagai referensi yang ada terkait dengan hukum minyak dan gas bumi, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.