Minggu, 18 Agustus 2013

MENINJAU KEDUDUKAN SATUAN KERJA KHUSUS (SKK) MIGAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM



Oleh :

Ryan Muhammad, SH
Pengamat Ketahanan Nasional
 
Terlepas dari kasus ditangkapnya Kepala SKK Migas (Rudi Rusbiandini) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus suap di SKK Migas, penulis sengaja tidak mem-fokuskan kasus tersebut ke dalam tulisan ini, penulis justru lebih mem-fokuskan kepada berbagai permasalahan besar yang lebih krusial dari kasus tersebut.

Kedudukan hukum dari keberadaan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam sektor usaha minyak dan gas bumi nasional yang dibentuk oleh Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pasca dibubarkannya BP Migas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012. Dibentuknya SKK Migas ini merupakan bentuk in-konsistensi Pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 yang telah membatalkan pasal-pasal mengenai keberadaan BP Migas di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebab dibentuknya SKK Migas hampir serupa dengan BP Migas sebelumnya, bedanya saat ini terdapat Komisi Pengawas di dalam struktur SKK Migas sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dan jika dikaji lebih dalam, tugas dan kewenangan dari SKK Migas pun setali tiga uang atau serupa dengan tugas dan kewenangan BP Migas sebelumnya. Artinya, kedudukan SKK Migas saat ini ialah in-konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tidak berdasarkan kepada Undang-Undang, karena sudah tidak ada lagi kekuatan hukum yang mengikat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi mengenai Badan Pelaksana atau Satuan Kerja Khusus yang dibentuk khusus mengurusi sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional pasca putusan Mahkamah Konstitusi Ri Nomor 36/PUU-X/2013. Dengan kata lain, Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 yang menjadi dasar dibentuknya SKK Migas tersebut dapat diuji materil (judicial review) ke Mahkamah Agung RI untuk diuji dan dibatalkan.

Mengenai tugas dan kewenangan SKK Migas yang berwenang menandatangani Kontrak Karya Migas dengan kontraktor asing maupun lokal ini justru yang berbahaya, artinya SKK Migas yang dalam hal ini sebagai kepanjangan tangan dari Negara, status kedudukan hukumnya menjadi setara dengan pihak kontraktor asing maupun lokal di dalam Kontrak Karya tersebut. Bahayanya lagi, jikalau terjadi sengketa (dispute) antara SKK Migas dengan pihak kontraktor, maka kekayaan Negara berpotensi untuk tersita, karena SKK Migas hanyalah suatu Badan Hukum non-profit yang tidak memiliki kekayaan (asset & liability) yang terpisah. Kemudian kewenangan lain dari SKK Migas yaitu dapat menunjuk langsung kontraktor asing maupun lokal untuk melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tanpa harus melalui mekanisme persaingan tender (verifikasi). Hal ini-lah yang menjadi peluang atau celah besar terjadinya praktik suap (korupsi) di tubuh SKK Migas, karena akan banyak kontraktor-kontraktor yang berusaha menyuap pejabat-pejabat di SKK Migas agar dapat ditunjuk sebagai kontraktor yang sah dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.    

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012, majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan tersebut menyarankan agar pengelolaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi dikembalikan kepada Pemerintah atau BUMN yang terkait dengan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi demi kepastian hukum dan kelangsungan kegiatan usaha minyak dan gas bumi nasional. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI pun menilai bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi telah membuka keran liberalisasi di sektor Minyak dan Gas Bumi Nasional yang pro kepada investor asing sehingga berpotensi kepada kerugian Negara di sektor sumber daya alam. Padahal Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas mengatur bahwa “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Faktanya ialah bahwa sekitar 90 persen kegiatan usaha minyak dan gas bumi di Indonesia didominasi oleh investor asing, akibatnya sebagian besar investor lokal atau pengusaha pribumi yang menggeluti usaha minyak dan gas bumi kalah saing, atau bahkan gigit jari. Ditambah lagi dengan penerimaan Negara di sektor sumber daya alam yang terus menurun setiap tahunnya, regulasi ini jelas sangat tidak pro kepada bangsa sendiri, artinya sudah seharusnya dibentuk Undang-Undang tentang minyak dan gas bumi yang baru dan pro terhadap rakyat Indonesia.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi membawa implikasi terhadap masa depan industri minyak dan gas bumi nasional. Liberalisasi yang menjadi nafas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, telah mereduksi kontrol Negara terhadap cadangan dan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dengan merombak Pertamina sebagai perseroan biasa, Negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya minyak dan gas bumi, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi kepada Badan Pelaksana (BP Migas) atau saat ini SKK Migas, yang bukan badan usaha tidak menjamin kontrol Negara terhadap kekayaan strategis, yang menguasai hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan Pengatur Hilir (BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir minyak dan gas bumi, telah mengorbankan skala usaha vertikal terpadu (vertically integrated), yang terbukti dapat menjamin kepentingan nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Implikasi yang paling mendasar ialah karena control cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, sudah tidak berada di tangan BUMN Migas, Negara kehilangan alat untuk menjamin keamanan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG). Akibatnya krisis bahan bakar minyak dan gas, akan selalu membayangi sektor energi nasional.

Demikian tulisan ini disampaikan berdasarkan hasil pemikiran penulis dan dari berbagai referensi yang ada terkait dengan hukum minyak dan gas bumi, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar