Minggu, 28 September 2014

RENCANA PENGUJIAN UU PILKADA VIA DPRD KE MAHKAMAH KONSTITUSI HARUS MENGACU PADA PUTUSAN 97/PUU-XI/2013



Tanggal 26 September 2014 RUU Pilkada telah ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR dengan menetapkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Penetapan tersebut menuai penolakan dari Pihak yang memilih Pilkada langsung, dengan langkah yang akan dilakukan untuk langsung menguji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, perlu diperhatikan dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh FKHK, terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah telah mengemukakan bahwa baik Pilkada Langsung maupun Pilkada melalui DPRD adalah demokratis.

Putusan No. 97/PUU-XI/2013, halaman 55-55-56
“[3.12.3] Bahwa pada sisi lain, pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan. Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) maupun sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama masuk kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan daerah adalah tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004)mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah danpenyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah tidak menutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri, tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD atau model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan kewenangannya, pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai pemilihan umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”

Sehingga jika RUU Pilkada yang sudah ditetapkan dalam Paripurna oleh DPR akan diajukan pengujian ke Mahkamah konstitusi jika nanti sudah disahkan/ditanda-tangani oleh Presiden, dengan mengacu pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 maka kecil kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan pemohon yang meminta agar Pilkada melalui DPRD dinyatakan inkonstitusional jika mengacu pada pendapat mahkamah konstitusi diatas.

Persoalannya Materi muatan mekanisme penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam RUU Pilkada melalui DPRD masih jauh dari mekanisme yang demokratis. Oleh karena itu kami segera akan melakukan pengkajian dengan tindak lanjut melakukan pengujian terhadap mekanisme penyelenggaraan Pilkada melalui DPRD ke Mahkamah Konstitusi. Sambil menunggu Presiden menandatanganinya.

Oleh :
Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK

Minggu, 14 September 2014

IMPLEMENTASI DEMOKRASI PANCASILA DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA



Dibawah ini adalah keterangan ahli tentang "DEMOKRASI PANCASILA" dan bagaimana implementasinya dalam peraturan perundang-undangan, yang disampaikan oleh Muhammad Muktasar Syamsudin, Ph.D selaku Pakar Filsafat Universitas Gadjah Mada, pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Perkara No. 97/PUU-XI/2013 tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah :

Bahwa hampir semua ahli filsafat, bahkan ahli politik mengatakan Negara adalah bentukan dari kesepakatan bersama rakyat untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita bersama, yaitu kalau kita dasarkan pada Pancasila, masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Maka negara hukum yang kita dirikan atau yang kita sedang tempati sekarang ini adalah negara hukum yang dibangun dan dikelola atas dasar Pancasila. Dengan demikian maka negara Indonesia yang kemudian dinyatakan secara konstitusional di dalam Pasal 1 ayat (3) yang ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum adalah negara yang dibangun atas 5 dasar atau 5 prinsip yang sesuai dengan Pancasila. Mulai dari nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, maka Negara hukum Indonesia adalah negara yang mengakui ketuhanan dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai kemanusian, menjaga persatuan, dan menjalankan kehidupan bernegara berdasarkan demokrasi untuk mewujudkan keadilan sosial sebagai nilai kelima atau prinsip kelima dari Pancasila itu
Dalam pandangan ini, bahwa ada kecenderungan di dalam praktik kehidupan bernegara sekarang ini menjadikan dekorasi sebagai tujuan kehidupan bernegara. Padahal sesungguhnya yang menjadi tujuan kita dalam hidup bernegara adalah membangun atau menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, yang adil berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu kalau kita menggunakan teori-teori filsafat politik, maka hidup bernegara kita sekarang ini terlihat sedang mempraktikan perannya sebagai Negara yang pasif di dalam membawa aspirasi rakyat yang berdaulat di negeri ini. Oleh karena itu sesungguhnya kita tidak hanya berhenti pada demokrasi, demokrasi bukan sebagai tujuan, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan negara yang hakiki, yaitu menciptakan masyarakat adil, yang sejahtera, yang dikenal di dalam teori politik, yaitu masyarakat yang welfare state, masyarakat yang hidup di dalam negara sejahtera. Nampaknya dalam praktik perundang-undangan yang seharusnya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan welfare state ini masih sangat jauh dalam kehidupan bernegara kita sekarang karena nampak kecenderungan berhenti pada bagaimana mewujudkan demokrasi dan demokrasi itu sendiri sayang sekali tidak mencerminkan semangat atau prinsip Pancasila.
Demokrasi Pancasila tentu saja bukan demokrasi yang kita adopsi dari luar negeri, atau dari bangsa lain. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia sendiri, yaitu nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan yang kita lebih kenal dengan nilai musyawarah, dan selanjutnya nilai keadilan sosial. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bertumpu pada hakikat manusia yang bersifat mono-pluraris, yaitu manusia yang tidak hanya bersifat individual, tetapi manusia yang bersifat sosial. Dari segi ini, maka demokrasi Pancasila berbeda dengan demokrasi liberal yang menekankan aspek individualitas. Bukan juga bahwa demokrasi Pancasila yang tidak sama dengan demokrasi individual itu sehingga menjauhi atau tidak melindungi hak-hak privat, tetapi demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menjaga keseimbangan antara hakikat manusia sebagai individu dan hakikat manusia sebagai masyarakat. Pada sisi lain, dalam pengertian manusia sebagai mono-pluraris itu manusia Indonesia adalah manusia yang bertuhan, tetapi sekaligus adalah makhluk yang mandiri sehingga di dalam upaya untuk mencapai cita-cita tujuan kita bernegara yang kita sebut tadi masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang lahir, yang sejahtera, tetapi batinnya juga sejahtera.
Demikian pula pada sisi yang ketiga, manusia itu terdiri atas jiwa tetapi juga dilengkapi dengan raga. Kedua hal yang sangat berbeda ini di dalam Pancasila menjadi dua hal yang seimbang, tidak mengutamakan aspek jasmaniah semata, dan juga tidak mengutamakan aspek spiritual saja, tetapi aspek jasmaniah dan rohaniah menjadi seimbang di dalam Pancasila. Oleh karena itu, maka demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dibangun atas dasar hakikat manusia yang serba plural itu yang tidak monolitik hanya individual, tapi juga sosial, tidak hanya makhluk Tuhan, tapi juga makhluk yang mandiri, tidak hanya makhluk yang jasmaniah, tapi juga rohaniah. Inilah dalam ilmu kami disebut sebagai ontologis negara hukum.
Bahwa dasar ontologis Negara hukum Indonesia adalah manusia Indonesia yang bersifat mono-pluralistik sehingga yang diperhatikan di sana tidak hanya kepentingan individual, tetapi juga kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kedudukan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan kita menjadi sangat jelas, yaitu sebagai norma yang tertinggi atau juga disebut di dalam teori ilmu hukum sebagai rechtsidee, cita hukum yang tertinggi yang pada suatu sisi terpisah dengan batang tubuh atau Pasal-Pasal UUD 1945 karena merupakan norma yang tertinggi, namun pada sisi lain merupakan satu kesatuan dengan seluruh pasal-pasal UUD 1945. Dengan kata lain, sebagai rechtsidee, Pancasila memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama fungsi regulatif, yaitu bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diimplementasikan dan dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan untuk mencerminkan tujuan daripada upaya untuk mencapai negara atau masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Yang kedua, fungsi Pancasila sangat substantif, yaitu bahwa sebagai rechtsidee, undang-undang atau segala peraturan yang ada di bawah dari pada cita hukum itu tidak akan mempunyai makna apabila tidak disinari, tidak dilandasi oleh rechtsidee, yaitu Pancasila.
Bagaimanakah sistem demokrasi Pancasila diimplementasikan di dalam kehidupan bangsa Indonesia? Kita berpijak pada sila keempat Pancasila yang mengatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selain sila ini tidak bersemangat individualistik, sila ini juga berdasarkan pada pernyataan hikmat kebijaksanaan, maka demokrasi dikelola untuk memperoleh sebuah kebajikan. Ada tujuan yang jauh lebih mendasar, jauh lebih fundamental dari sekadar demokrasi itu sendiri, dari sekadar cara bermusyawarah, dari sekadar cara mengambil keputusan. Yaitu bahwa demokrasi berjalan dengan suatu tujuan, yaitu untuk mewujudkan suatu kebajikan. Maka, Demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat rasional. Demokrasi Pancasila juga bersifat moral. Demokrasi yang sangat menekankan rasionalitas jelas sekali adalah demokrasi yang diadopsi dari sistem Barat, yang bersifat liberal kapitalistik, individual. Tetapi demokrasi Pancasila yang selain memperhatikan aspek rasionalitas, juga memperhatikan moralitas, yaitu untuk mewujudkan kebajikan dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan sistem Demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di negeri ini tidak dapat berhenti pada sila keempat, yaitu dalam proses berdemokrasi itu saja, tetapi selanjutnya proses demokrasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan atau mencapai sila yang kelima dari Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa tujuan negara sebagaimana yang tercantum sebagai satu kesatuan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila, khususnya pada paragraf ke empat pembukaan yang menyebutkan, dasar negara Pancasila di sana, maka seluruh peraturan perundang-undangan yang ada itu harus dilandaskan pada cita-cita hukum yang dirumuskan atau ditegaskan oleh Pancasila sebagai dasar negara ini dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Yang pertama, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, itu adalah aspek formal dari implementasi dari setiap peraturan perundang-undangan. Dan yang kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa sampai kepada mencapai tujuan keadilan sosial, ini adalah tujuan material daripada undang-undang. Oleh karena itu, kami memberikan tanggapan terhadap permohonan yang diajukan oleh para Pemohon bahwa keterangan ini untuk menguatkan bahwa apa yang dilakukan sekarang dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan atau menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, itu harus ditempatkan pada struktur peraturan perundang-undangan yang terendah, yang mencerminkan sila-sila Pancasila yang ada pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan struktur pembuatan dan pemberlakuan Undang-Undang, masih tidak dapat dikatakan sudah konsisten dalam mengamalkan atau menjadikan Pancasila sebagai rechtsidee tersebut.

Selasa, 09 September 2014

Konstitusionalitas Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang Demokratis

Dalam membahas Pembantukan Peraturan Perundang-undangan kita harus melihat juga sisi filosofis dan yuridis terutama konstitusionalitasnya, jangan hanya dari sisi sosiologis nya saja. Mengacu pada saat proses Amandemen UUD 1945, Pembentuk UUD 1945 merumuskan tentang pemilihan kepala daerah dengan frasa "dipilih secara demokratis" pada amandemen kedua, dan pada saat amandemen ketiga ketika MPR membahas tentang aturan penyelenggaraan Pemilu pada Pasal 22E ayat (1) ditegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan secara Langsung Umum bebas Rahasia. Sementara untuk rumusan pemilihan kepala daerah tidak ada perubahan, tetap menggunakan frasa "Dipilih secara Demokratis", begitu pun saat melakukan amandemen keempat pun tidak ada perubahan.

Jika pembuat UUD saat itu menginginkan Pilkada secara langsung seperti pemilu seharusnya saat amandemen ketiga dan keempat pasti ada perubahan frasa terhadap pemilihan kepala daerah dengan menggunakan asas Langsung Umum Bebas Rahasia. Artinya keinginan pembuat UUD saat itu memang menginginkan adanya pembedaan proses pemilihan antara pemilu (Eksekutif dan Legislatif) dengan Pilkada.

Memaknai Pemilihan secara demokratis dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4), dapat dimaknai bahwa pembentuk UUD menginginkan adanya proses Pilkada yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang ada dimasing-masing daerah, misalnya berdasarkan musyawarah masyarakat adat yogyakarta menginginkan pemilihan gubernur jogja itu secara penetapan untuk menjaga keistimewaan yogyakarta maka itulah konsep demokrasi yogyakarta, apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa proses pemerintahan yogyakarta bersifat monarki? tidak demokratis? ya tentu tidak. Begitupula sistem noken yang dilakukan dalam pilkada di Papua dan bali, walau itu dianggap melanggar prinsip Luber (One Man One Vote) namun memang itulah nilai yang hidup dimasyarakat papua dan bali.

Selanjutnya dalam menafsirkan frasa demokratis harus melihat hierarki norma sesuai aturan UU No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1), yang dalam jenjang norma peraturan perundang-undangan ada norma yang menjadi sumber dalam membuat norma dalam UUD 1945, yaitu Pancasila, sehingga jika kita akan menafsirkan frasa demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 harus mengacu pada konsep demokrasi yang sesuai dengan Pancasila.

Kemudian jika kita melihat rumusan Norma tentang Pemilihan Presiden yang diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa : "Presiden dan Wakil Presiden DIPILIH dalam satu pasangan SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT" (rumusan amandemen ketiga Tahun 2001). Sementara Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mengatakan bahwa : "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota DIPILIH SECARA DEMOKRATIS" (rumusan amandemen kedua Tahun 2000).

Jika MPR lembaga yang mengamandemen UUD 1945 saat itu menginginkan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, saat amandemen ketiga seharusnya sudah terjadi perubahan dari Pasal 18 ayat (4), bahkan saat amandemen keempat pun seharusnya frasa "dipilih secara demokratis" sudah dirubah oleh MPR, namun faktanya Pasal 18 ayat (4) tidak ada perubahan sejak dirumuskan dari amandemen kedua hingga amandemen ke empat.

Baru pada tahun 2002 setelah selesai amandemen ke-4, MPR berdasarkan Tap MPR No. 1 Tahun 2002 membentuk Komisi Konstitusi untuk mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 yang pada saat itu diketuai oleh Prof. Sri Soemantri, dan untuk hasil evaluasi dari Komisi Konstitusi untuk pasal 18 ayat (4) direkomendasikan untuk frasa "dipilih secara Demokratis" dirubah menjadi "dipilih secara Langsung Oleh rakyat". namun hasil evaluasi amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi ini tidak ditindak lanjuti oleh MPR saat itu.

Namun usulan saya dalam melakukan pemilihan secara perwakilan, jangan hanya terpaku pada sistem pemilihan kepala daerah secara perwakilan yang dilakukan pasca reformasi dari tahun 1999 s.d 2003 dimana calon kepala daerah diusung oleh Partai Politik. karena sistem Pilkada yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan aturan Pemilihan Presiden (Pasal 6A) yang secara tegas menyatakan bahwa calon presiden diusung oleh Partai Politik/Gabungan Partai Politik. seperi aturan pemilu legislatif (DPR, DPRD).

Dalam aturan Pilkada pasal 18 ayat (4) tidak menegaskan bahwa calon kepala daerah diusung oleh partai politik/gabungan partai politik, namun hanya mengatakan dipilih secara demokratis. Jika proses pemilihan dilakukan di DPRD (Perwakilan) saya tetap beranggapan bahwa kualitas demokrasi tetap dapat terwujud dengan merubah sistem pemilihan dengan cara :

1. DPRD membentuk Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah yang terdiri dari Tokoh Masyarakat yang berintegritas dan Akademisi, dll

2. Panitia Penyelenggara Pilkada membuat aturan teknis pendaftaran diantaranya (calon yang diusung harus mendapatkan rekomendasi dari ormas, atau tokoh masyarakat dan harus memiliki dukungan dari masyarakat seperti aturan yang diberikan kepada calon independen dalam pilkada yang selama ini berjalan, agar dapat mengontrol kuantitas calon kepala daerah yang mendaftarkan diri) sehingga calon yang diusung benar-benar dari rakyat bukan dari partai politik,  Setelah itu panitia penyelenggara Pilkada akan melakukan Fit and Propertest kepada Calon Kepala Daerah untuk dapat melihat kualitas calon kepala daerah. Sehingga calon yang lolos verifikasi adalah calon kepala daerah yang berkualitas

3. Setelah panitia Penyelenggara Pilkada menverifikasi dan melakukan fit and propertest calon kepala daerah, maka diserahkan kepada DPRD untuk memusyawarahkan untuk memilih Kepala Daerah yang diserahkan oleh Panitia Penyelenggara Pilkada.

4. Untuk mengontrol terjadinya Money Politik dalam proses musyawarah dan pemilihan di DPRD, bisa melibatkan KPK dan aparat Penegak Hukum didalamnya.

Demikian sedikit penjelasan singkat dari saya terkait Pemilihan Kepala Daerah, Semoga Bermanfaat.

--------------------------------------
Penulis : Victor Santoso Tandiasa

Sabtu, 06 September 2014

DPR DIDESAK TUNDA PENGESAHAN RUU PILKADA


"IMPLIKASI DARI PERKARA 97/PUU-XI/2013 TERSEBUT JUGA TERKAIT DENGAN KONSTITUSIONALITAS KEWENANGAN KPU PROVINSI, KPU KABUPATEN/KOTA DALAM MENYELENGGARAKAN PILKADA"