Rabu, 20 Mei 2015

Problematik Judicial Review di Mahkamah Agung

Dalam badan-badan peradilan modern saat ini. prinsip-prinsip keterbukaan menjadi suatu keharusan yang harus dipatuhi. Prinsip keterbukaan ini biasa dikenal dengan istilah “terbuka untuk umum”. Kepatuhan terhadap prinsip sidang terbuka untuk umum merupakan konsekuensi logis dari perkembangan tuntutan pemenuhan hak-hak asasi untuk mendapatkan suatu informasi dan rational choice dari prinsip good judiciary guna mewujudkan badan peradilan yang bersih dan tidak corrupt. Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman menjunjung tinggi prinsip sidang terbuka untuk umum dalam putusannya sebagaimana yang diatur pada Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Bahwa konsekuensi apabila prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka Putusan MA tersebut batal menurut hukum sebagaimana penjelasan Pasal 40 ayat (2) tersebut. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pertanyaannya apakah persidangan yang tidak memenuhi prinsip sidang terbuka untuk umum batal menurut hukum ? tentu tidak, karena dalam konteks persidangan ada beberapa perkara yang dikecualikan oleh undang-undang untuk persidangan tertutup, misalnya perkara perceraian atau pidana anak, namun putusannya diwajibkan untuk diucapkan terbuka untuk umum agar sah dan memiliki kekuatan hukum. Dalam perspektif Mahkamah Agung tentu prinsip sidang terbuka untuk umum dalam persidangan tidak berlaku, karena Mahkamah Agung sebagai judex juris yang memeriksa penerapan hukumnya saja dan tidak menggelar persidangan layaknya pengadilan tingkat pertama. Namun Mahkamah Agung diwajibkan dalam pengucapan putusan dilakukan terbuka untuk umum, apabila tidak terpenuhi, maka putusan Mahkamah Agung tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
   Namun permasalahannya adalah terletak pada tidak ada kewajiban Mahkamah Agung untuk mengumumkan jadwal sidang putusan. Sehingga masyarakat umum tidak mengetahui jadwal pengucapan putusan dan putusan tidak dihadiri para pihak yang memiliki kepentingan. Hal demikian tetap dianggap konstitusional menurut Mahkamah Konstitusi oleh karena perbedaan karakteristik hukum acara pada pengadilan tingkat pertama dengan Mahkamah Agung dan hak informasi para pihak yang berkepentingan tetap terpenuhi oleh karena salinan putusan tetap diberikan (vide, [3.11.2.] Putusan MK No.78/PUU-X/2012). Permasalahan demikian terjadi dalam contoh kasus uji materiil Perpres 26 Tahun 2015 tentang keberadaan staf kepresidenan. Para pemohon tidak mengetahui jadwal pengucapan putusan, sehingga pemohon tidak hadir dan hanya mengetahui dari media.
Dalam Putusan MK No.78/PUU-X/2012 persoalannya lebih kepada konteks banding, kasasi, dan peninjauan kembali yang karakteristik hukum acaranya berbeda dengan pengadilan tingkat pertama, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat lain dengan pemohon. Namun persoalannya, bagaimana dengan perkara uji materill di Mahkamah Agung yang karakteristik perkaranya berbeda dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, namun disamakan proses hukum acaranya.
Karakteristik pengujian peraturan perundang-undangan tentu berbeda dengan perkara-perkara seperti pidana, perdata, dan tata usaha negara. ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya sebagai berikut:

1.        Keterbatasan Sumber Daya Hakim Mahkamah Agung
Mahkamah Agung yang memiliki jumlah maksimal jumlah hakim agung dan hanya memiliki 4 (empat) kamar badan peradilan tentu memiliki keterbatasan sumber daya. Mengingat jumlah perkara yang melimpah dan hal yang harus dicermati adalah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang bersifat (regeling) memiliki substansi yang beragam. Sehingga dengan jumlah hakim agung yang jumlahnya kurang lebih 60 (enam puluh) hakim agung tentu tidak semua memiliki kompetensi terhadap perkara pengujian peraturan perundang-undangan. Karena setiap hakim agung memiliki spesialisasi yang berbeda, maka hal ini menjadi problematik. Pertanyaannya adalah bagaimana hakim-hakim agung memutus perkara yang bukan kompetensinya, sehingga menimbulkan rasa ragu terhadap hakim-hakim yang memutus perkara tersebut dan akan mempengaruhi kualitas putusan. Apabila kita bercermin pada hukum acara di Mahkamah Konstitusi yang memberikan kesempatan pemohon dan pihak-pihak yang berkpentingan untuk mengahadirkan ahli yang memiliki relevansi dengan perkara tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi yang hanya memiliki 9 (Sembilan) hakim tugasnya menjadi terbantu dan memiliki keyakinan dalam memutus suatu perkara.

2.        Terlanggarnya Asas Dominus Litis
Asas dominus litis merupakan asas yang menuntut keaktifan hakim. Hal demikian tentu berbeda dengan karakteristik hukum acara perdata yang mana hakim bersifat pasif. Asas dominus litis merupakan karakteristik dari hukum acara tata usaha negara dan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, apa tujuan dari asas dominus litis ? tujuannya jelas, bahwa agar terjadi keseimbangan antara penggugat dengan pejabat negara dalam perpspektif peradilan tata usaha negara dan pemohon dengan pembuat undang-undang yaitu DPR dan Presiden dalam peradilan di Mahkamah Konstitusi. (Titik Wulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011, hlm. 571).
Pertanyaannya adalah, mengapa persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung melanggar asas dominus litis ? bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang ditangani oleh hakim-hakim agung yang berada di kamar Tata Usaha Negara. Walaupun pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang bukan merupakan objek TUN, tetapi sebagai konsekuensi logis dan rational choice dari ditanganinya oleh hakim-hakim agung agung dikamar TUN, membawa implikasi berlakunya asas dominus litis. Hal demikian bukan didasarkan semata-mata oleh konsekuensi logis dan rational choice saja, melainkan marwah dan karakteristik dari pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat terbuka dan menyeimbangkan kedudukan pemohon yang cenderung lemah dengan pembuat peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Hal ini ini tercermin apabila merujuk kepada hukum acara Mahkamah Konstitusi yang menganut asas dominus litis dalam pengujian undang-undang dengan memberikan nasihat-nasihat yang positif guna menyeimbangkan posisi pemohon yang cenderung lemah dan hak konstitusionalnya terlanggar.

3.        Peraturan Perundang-Undangan Bersifat Universal dan Mengikat
Peraturan perundang-undangan merupakan produk hukum yang dibuat oleh cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam perspektif trias politika. Peruntukan peraturan perundang-undangan tentu diperuntukan dan mengikat untuk publik atau masyarakat umum. Sehingga peraturan perundang-undangan dapat dikatakan merupakan milik warga negara/masyarakat umum. Karena peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang diberikan legitimasi untuk membentuknya guna menciptakan ketertiban dan mengakomodir kepentingan umum. Namun tidak jarang peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat umum, sehingga membawa kerugian.
Bahwa apabila dipahami hakekat dari peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat umum, maka seharusnya hal demikian membawa implikasi kepada khususnya dalam konteks persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung bersifat terbuka untuk umum seperti di Mahkamah Konstitusi. Karena objek perkaranya adalah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan milik masyarakat umum karena diperuntukan untuk masyarakat umum. Sehingga menjadi aneh apabila persidangannya dilakukan secara tertutup.

4.        Putusan Bersifat Erga Omnes
Dalam pengujian peraturan perundang-undangan baik di Mahkamah Konstitusi maupun di Mahkamah Agung, memiliki implikasi hukum yang sama dalam hal sifat putusannya yang bersifat erga omnes. Hal demikian disebabkan oleh sifat peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat umum, sehingga memiliki implikasi hukum bukan hanya para pihak, tetapi berdampakjuga kepada masyarakat umum. Sehingga hal demikian menutup celah kepada masyarakat luas yang menginginkan terlibat sebagai pihak terkait/berkepentingan karena merasa dirugikan dengan eksisnya peraturan perundang-undangan tersebut. Hal demikian disebabkan oleh persidangan yang tertutup dan tidak ada persidangan. Tentu hal ini menjadi kontradiksi dengan putusannya yang bersifat erga omnes yang membawa dampak luas kepada masyrakat luas.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa uraian mengenai karakteristik hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan yang berbeda dengan perkara-perkara lainnya, maka sudah seharusnya digelar persidangan dan bersifat terbuka, bukan menyamakan dengan perkara-perkara yang implikasi hukumnya bersifat konkret untuk subjek tertentu. Karena dengan tidak digelarnya persidangan dalam pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dibawah undang-undang dalam perspektif kewenangan Mahkamah Agung, maka menghilangkan marwah dari hakekat peraturan perundang-undangan yang diperuntukan untuk masyarakat luas dan karakteristik hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan.

__________________
Penulis : Kurniawan, SH
Ketua Bidang Kajian Strategis
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)
CP : 081291279141