Minggu, 28 September 2014

RENCANA PENGUJIAN UU PILKADA VIA DPRD KE MAHKAMAH KONSTITUSI HARUS MENGACU PADA PUTUSAN 97/PUU-XI/2013



Tanggal 26 September 2014 RUU Pilkada telah ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR dengan menetapkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Penetapan tersebut menuai penolakan dari Pihak yang memilih Pilkada langsung, dengan langkah yang akan dilakukan untuk langsung menguji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, perlu diperhatikan dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh FKHK, terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah telah mengemukakan bahwa baik Pilkada Langsung maupun Pilkada melalui DPRD adalah demokratis.

Putusan No. 97/PUU-XI/2013, halaman 55-55-56
“[3.12.3] Bahwa pada sisi lain, pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan. Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) maupun sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama masuk kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan daerah adalah tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004)mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah danpenyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah tidak menutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri, tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD atau model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan kewenangannya, pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai pemilihan umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”

Sehingga jika RUU Pilkada yang sudah ditetapkan dalam Paripurna oleh DPR akan diajukan pengujian ke Mahkamah konstitusi jika nanti sudah disahkan/ditanda-tangani oleh Presiden, dengan mengacu pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 maka kecil kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan pemohon yang meminta agar Pilkada melalui DPRD dinyatakan inkonstitusional jika mengacu pada pendapat mahkamah konstitusi diatas.

Persoalannya Materi muatan mekanisme penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam RUU Pilkada melalui DPRD masih jauh dari mekanisme yang demokratis. Oleh karena itu kami segera akan melakukan pengkajian dengan tindak lanjut melakukan pengujian terhadap mekanisme penyelenggaraan Pilkada melalui DPRD ke Mahkamah Konstitusi. Sambil menunggu Presiden menandatanganinya.

Oleh :
Victor Santoso Tandiasa
Ketua Umum FKHK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar