Senin, 16 September 2013

KRISIS KONSTITUSIONAL

Isu mengenai terjadinya krisis Konstitusional sempat santer terdengar saat dinyatakan oleh seorang ahli hukum tata Negara Indonesia, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pada pertengahan bulan Februari yang lalu. Namun seiring dengan perkembangan politik terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai verifikasi partai politik peserta Pemilu 2014, isu itu hilang bak ditelan bumi. Ada indikasi kuat bahwa pernyataan tersebut keluar karena kekhawatirannya melihat kinerja KPU selaku lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam Pemilu akan gagal dalam menyelenggarakan Pemilu 2014. Berikut pesan Yusril yang disampaikan kepada aktual.co pada tanggal 17 Februari :

 “ Sebelumnya, saya telah menulis bahwa jika KPU gagal menyelenggarakan Pemilu maka potensi terjadinya krisis konstitusional di Negara ini sangat besar. Jika terjadi krisis konstitusional yang hebat maka Presiden berdasarkan noodstaatsrech yakni Presiden menggunakan hukum dalam keadaan darurat. Presiden bisa mengeluarkan dekrit perpanjangan masa jabatannya….itulah revolusi hukum yang berawal dari staatnoodrechts dan noodstaatsreecht.” Dari pernyataan itu sangat jelas bahwa adanya krisis konstitusional hanya akan terjadi pasca pemilu 2014 pada saat KPU gagal menyelenggarakan pemilu sedangkan masa jabatan Presiden hanyalah dua periode (Pasal 7 UUD Amandemen).

Dari kondisi itu maka Presiden berhak mengeluarkan dekrit dan berbuat apa saja dengan alasan untuk menyelamatkan bangsa dan Negara. Lanjut Yusril dalam pernyataannya “ MPR yang mengamandemen UUD 1945 tidak memikirkan bahwa perubahan yang mereka lakukan, bisa menimbulkan krisis konstitusional. Saya cintai negeri ini dengan sepenuh hati. Saya tahu akan ada masalah besar seperti krisis konstitusional yang tidak banyak orang memikirkannya.”

Sebagai warga Negara tentunya kita menginginkan yang terbaik buat kehidupan berbangsa dan bernegara kita berdasarkan jalurnya konstitusi. Setidaknya guru besar ilmu Hukum Universitas Indonesia itu telah mengingatkan kepada seluruh anak negeri ini untuk merenungkan adanya krisis konstitusional pasca amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali oleh MPR. Terlepas pernyataan tersebut merupakan pernyataan politik untuk menegur kinerja KPU yang dinilai banyak kekurangan. Tanpa disadari negeri kita saat ini memang sedang dilanda oleh badai krisis konstitusional.

Memang tidak objektif bilamana kita melihat krisis konstitusional itu dalam sudut pandang politik. Tetapi akan objektif jika kita melihat krisis konstitusional itu dalam sudut pandang hukum itu sendiri. Dan dengan berat hati kita harus mengakui bahwa akar dari pada krisis konstitusional itu tepat berada pada saat MPR RI periode 1999-2004 melakukan amandemen sebanyak empat kali (1999-2002). Meskipun tuntutan amandemen itu merupakan agenda Reformasi yang harus dijalankan, namun kita dalam melakukannya tidak dapat meninggalkan dan terlepas dari adanya Pancasila sebagai   Philosofische Grondslag di bangsa ini. Nilai-nilai Pancasila adalah sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis dalam kehidupan bernegara.

Dalam pengertian itu, maka Pancasila merupakan das sollen bagi bangsa Indonesia sehingga seluruh derivasi normative dan praksis berbasis pada nilai-nilai Pancasila (Kaelan, 2007:10). Dalam hubungan ini Pancasila merupakan sumber nilai bagi pembaharuan hukum yaitu sebagai cita hukum, yang menurut Notonegoro berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia (Notonegoro, 1975). 

Staatsfundamentalnorm atau grundnorm yang merupakan suatu cita hukum menurut Custaf Radbru
sh (1878-1949), seorang ahli filsafat hukum mahzab baden, memiliki fungsi regulative dan fungsi konstitutif. Cita hukum memiliki fungsi Regulative adalah berfungsi sebagai tolak ukur, yaitu untuk menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak. Adapun fungsi konstitutif yaitu menentukan bahwa tanpa suatu cita hukum, maka hukum akan kehilangan maknanya sebagai suatu hukum (Attamimi, 1990:68).

Secara pengertian, konstitusi menurut Prof.Dr. Slamet Prajudi Atmosudirjo, S.H adalah hasil atau produk dari pada sejarah dan proses perjuangan bangsa yang bersangkutan (begitu sejarah perjuangannya begitu juga sejarah konstitusinya). Konstitusi suatu negara juga merupakan rumusan dari pada filsafat, cita-cita, kehendak, dan program perjuangan suatu bangsa. Oleh karena itu jika terjadi perubahan yang cukup besar didalam situasi maka konstitusi akan mengalami perubahan dalam rangka daya dan upaya bangsa tersebut untuk mempertahankan kehidupannya secara seefisien-efisiennya. Konstitusi adalah cermin daripada jiwa, jalan pikiran, mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa. Dari konstitusinya dapat diketahui bagaimana suatu bangsa memandang terhadap berbagai permasalahan hidup didunia serta disekelilingnya (Atmosudirjo, 1988).

Secara teoritis dari pendapat para pakar hukum diatas sangat jelas menerangkan bahwa UUD 1945 (teks asli) merupakan konstitusi yang mengandung nilai sejarah dan cita hukum yang tertuang di dalam pembukaannya (Preambule UUD 1945). Penjabaran rinci dari Preambule itu kemudian tertuang sepenuhnya di pasal-pasal dalam batang tubuhnya. 
 
Mutlak adanya jika UUD 1945 itu merupakan manivestasi dari Pancasila sebagaimana hirarki hukum di suatu Negara. Tetapi hal itu dapat terbatalkan kemudian melalui suatu peristiwa politik yang penuh dengan nuansa kepentingan individu dan kelompok. Batang tubuh UUD 1945 yang diamandemen sebanyak empat kali oleh MPR secara tidak langsung telah menghilangkan Pancasila sebagai cita hukum yang melekat di dalam UUD 1945 (teks asli). Namun, apakah masih layak dikatakan UUD amandemen itu merupakan UUD 1945?. Secara teoritis perubahan suatu konstitusi menurut Prof Soeharjo Sastrosoehardjo S.H merupakan perubahan makna atau penafsiran ketentuan dalam konstitusi bahkan juga penambahan-penambahan yang tidak menyimpan dari pokok-pokok pikiran, asas-asas, serta pemerintahan yang terkandung didalamnya. Ketentuan itu diatur di dalam pasal 37 UUD 1945.
 
Jika kita lihat lebih mendalam tentang adanya tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945 karena adanya pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Yang dinilai oleh banyak kalangan pasal ini melegitimasi adanya kediktatoran seperti yang terjadi pada masa Orde baru. Memang sudah selayaknya, pasal itu harus diamandemen paling tidak dijelaskan secara terperinci pada bab penjelasnya atau aturan dibawahnya. Akan tetapi perubahan yang dilakukan dengan amandemen sebanyak empat kali itu terjadi pada setiap pasal (terkecuali pasal 1 ayat 1) beserta penambahan menjadi total keseluruhan 199 butir (pasal dan ayat). Sedangkan sebelumnya hanya berjumlah 73 butir.
 
Proses amandemen yang tidak meletakan Pancasila sebagai koridor itu sejatinya telah meruntuhkan bangunan hukum di NKRI yang terbangun dari tahun 1945. Perjalanan sejarah bangsa yang terangkum dalam Preambule mengisyaratkan bahwa NKRI merupakan bangsa yang memebentuk Negara. Maka dari itu alur di dalam batang tubuhnya mengatur tentang adanya lembaga bangsa yaitu MPR (Pasal 1 ayat 2) dan lembaga Negara (Pasal 4 s/d 25).
 
Dengan dirubahnya pasal-pasal krusial yang berpengaruh pada hilangnya substansi cita hukum dan nilai sejarah telah memperkuat bergantinya UUD 1945 menjadi UUD 2002 (tahun keempat amandemen). Misalnya seperti yang terjadi pada pasal 1 ayat 2, dimana bunyi pada teks asli adalah “kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dirubah menjadi “Kedaulatan ialah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut UUD”. Dengan dirubahnya klausul ini maka Kedaulatan rakyat yang seharusnya dijalankan oleh lembaga yang terdiri dari para wakil rakyat di seluruh Indonesia menjadi dilakukan sepenuhnya menurut UUD (baca: UUD 2002). Berarti atas legitimasi pasal ini memaknakan bahwa UUD 2002 yang sangat multitafsir menjadi absolut dalam tatanan hukum di NKRI. Sehingga peng-absolutan tersebut otomatis menegasikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum serta falsafah bangsa Indonesia. 
 
Para pakar hukum bersepakat bahwa setiap konstitusi dalam setiap Negara memiliki nilai historis yang erat dengan prinsip yang dipegang oleh para pendiri negaranya. Sehingga konstitusi itu memiliki keunikan tersendiri yang membedakan suatu Negara dengan Negara lainnya. Jelaslah dengan adanya MPR di sistem pemerintahan Indonesia merupakan keunikan dari sistem pemerintahan kita yang memang berbeda dengan Negara lain. Prototipe MPR tidak dapat kita ketemukan referensinya dari Negara lain. Dan MPR sendiri berbeda dengan istilah perlemen di Inggris dan Belanda atau house representative di Amerika Serikat sebagaimana banyak para pakar hukum, politisi, dan akademisi mengambil rujukan.
 
Dapat kita ketahui secara prinsip dan filosofi (Sila keempat Pancasila) bahwa MPR merupakan sistem asli bangsa Indonesia yang berdasarkan permusyawaratan perwakilan. Maka dari itu ada istilah bahwa MPR merupakan lembaga bangsa dan tertinggi Negara yang memberi mandat kepada lembaga Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan ketetapannya yaitu UUD dan GBHN (Pasal 3 UUD 1945).
 
Di dalam amandemen UUD 1945, fungsi-fungsi itu ditiadakan sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara. Semua lembaga memiliki peranan yang sejajar dan masing-masing dapat menafsirkan konstitusi. Sehingga kedaulatan rakyat yang dilakukan menurut UUD sering terjadi multi penafsiran yang dijalankan oleh masing-masing lembaga. Dan seakan-akan hukum dari UUD amandemen itu bersifat absolute termasuk dari orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaan itu. Hal itu berakibat pada  semakin semunya kedaulatan rakyat itu sendiri. Dimana, perlahan-lahan kedaulatannya rakyat dikikis habis oleh elit-elit partai yang duduk di pemerintahan beradasarkan legitimasi pemilu. Sistem dan pemerintahan seperti ini merupakan sistem terburuk yang pernah ada dalam sejarah perjalanan Negara kita, bahkan dunia.

Kebanggaan rakyat hari ini mencerminkan keterbelakangannya. Kelompok mayoritas yang saat ini senang ketika Negara ini menjadi Negara demokrasi sebenarnya menindas dirinya sendiri. Melalui legitimasi UUD 2002, penindasan itu semakin terjadi dan bersifat massif. Sekarang apakah kita ingin mempertahankan kondisi ini atau berupaya untuk keluar dari lubang jarum yang penuh simalakama ini? Dan memang semuanya butuh pengorbanan untuk mencapai suatu keadilan. Tinggal kita menghitung pengorbanan mana yang lebih besar.

UUD 2002 sebagai krisis konstitusional memang saat ini terlihat bak bangunan megah dan menjanjikan. Namun, kacamata filosofi sebagai warisan sejarah lebih jeli melihat bangunan itu yang ternyata hanyalah fatamorgana. Bukan berarti orde-orde sebelumnya yang mengklaim menggunakan UUD 1945 kondisinya baik. Tetap masih banyak kekurangan dan masih perlu diperbaiki serta disempurnakan.

Apapun caranya kita harus berupaya untuk keluar dari krisis konstitusional ini yang membawa kehidupan berbangsa dan bernegara kita berada di simpang jalan. Dan jalan itu lebih menuju pada terpelosoknya ke dalam jurang kenistaan dan rendahnya peradaban manusia. Itu menjadi bukti bahwa NKRI dalam keadaan darurat dan berada diujung tanduk. Maka dari itu sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada pakar hukum tata Negara kita yang telah membuka wacana mengenai krisis konstitusional ini dan mengajaknya untuk berfikir dan merenungkannya. Jika memang tidak ada jalan lain selain kembali kepada UUD 1945 maka dengan menghimbau kepada seluruh kaum akademisi, pakar hukum, dan elit politik untuk melihat secara terang dan bijaksana guna kepentingan bangsa dan negara kita kembali kepada UUD 1945, serta mengamandemen pasal-pasal yang memang perlu diamandemen selama masih dikoridor Pancasila. Dari keseluruhan tindakan, sikap, serta keputusan kita yang terpenting adalah mencintai negeri ini dengan ikhlas dan sepenuh hati.  


Penulis : Adityo Nugroho
Penulis adalah Analis di Media Center Kebangsaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar