Kamis, 27 Juni 2013

STUDI PERMASALAHAN KETAHANAN ENERGI MINYAK DAN GAS BUMI NASIONAL



Oleh :
Ryan Muhammad, SH.
Ketua Bidang Kajian Strategis - Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK)


Minyak dan Gas Bumi merupakan kekayaan alam tak-terbarukan yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia, terutama dalam sektor perindustrian.  Atas dasar itulah Minyak dan Gas Bumi dinilai sebagai sumber energi yang bersifat strategis dalam upaya pembangunan suatu Negara.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, dan lain-lain. Sesuai dengan ketentuan pada Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau biasa disingkat dengan UUD RI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam Tanah Air Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Hak penguasaan negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakannya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pengusahaan bahan galian (tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor (badan usaha) apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.

Energi sumber daya alam Minyak dan Gas, sangat memegang peran penting dalam perekonomian global, maupun nasional. Hal demikian sangat berarti untuk pertumbuhan ekonomi nasional, karena keterkaitannya dengan penerimaan negara, ekspor Minyak dan Gas serta seluruh neraca pembayarannya. Keterkaitan itu sebenarnya dapat dilihat secara signifikan dan empiris dari peristiwa-peristiwa krisis ekonomi global dalam beberapa tahun yang lalu dan berlangsung hingga kini, karena krisis energi dunia. Pembuat kebijakan, maupun para legislator, meski merancang suatu bentuk hukum baru, tentang wilayah kerja, sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Minyak dan Gas, dengan suatu model, yakni kemungkinan pemberian izin prinsip oleh pemerintah, atau pun terhadap pemerintahan daerah, keterkaitannya dengan sistem pemerintahan otonomi daerah, dengan suatu izin. Sehingga akan mudah dilakukan pemantauan, terhadap kemanfaatan dari perspektif perekonomian dan penghasilan devisa negara, terlebih negara dapat mengontrol, karena pemberi izin dapat sewaktu-waktu mencabutnya, bilamana tidak bersesuaian dengan penggunaannya. Hal demikian sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD RI Tahun 1945, yang sangat berfungsi sosial, dalam upaya percepatan negara kesejahteraan, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Negeri ini kaya akan sumber minyak, mineral dan batubara, hasil hutan dan sumber daya laut. Minyak Indonesia berada diurutan ketiga setelah Arab Saudi dan Iran, yaitu setara 4,17 juta barrel per-hari. Indonesia termasuk urutan ke tujuh eksportir gas terbesar di dunia dari 10 negara penghasil gas terbesar di dunia, setelah Australia. Meskipun mempunyai kekayaan alam yang lengkap dan banyak, Pemerintah Indonesia dinilai gagal menggunakannya untuk kepentingan nasional dan rakyatnya sendiri. Sebagian besar kekayaan minyak dan gas bumi dikuasai dan dikelola oleh pihak asing. Lebih dari 85 persen, produksi minyak mentah Indonesia, dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari Amerika Serikat, China, Jepang, dan Eropa. Selanjutnya Pemerintah membeli minyak dari perusahaan-perusahaan asing pada tingkat harga pasar.

Sebelumnya Pemerintah mengeluarkan cost recovery untuk menggantikan seluruh ongkos yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan asing, selama melakukan eksplorasi minyak dan gas bumi. Sebagian hasil minyak Indonesia, juga di-ekspor ke luar negeri, seperti ke Singapura untuk diolah oleh kilang-kilang minyak disana. Singapura memperoleh keuntungan yang berlipat ganda dari surplus yang dihasilkan oleh kekayaan minyak Indonesia. Karena masyarakat Indonesia harus membeli minyaknya sendiri, pada tahap harga pasar yang mahal. Demikian juga dengan gas, sebagian besar perusahaan penghasil gas, adalah perusahaan-perusahaan asing, yang sama dengan perusahaan penghasil minyak. Investasinya dibiayai oleh bank-bank pemerintah Negara industri. Sehingga kegiatan eksploitasi gas dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Negara-negara industri.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi membawa implikasi terhadap masa depan industri minyak dan gas bumi nasional. Liberalisasi yang menjadi nafas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, telah mereduksi kontrol Negara terhadap cadangan dan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dengan merombak Pertamina sebagai perseroan biasa, Negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya minyak dan gas bumi, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi kepada Badan Pelaksana (BP Migas), yang bukan badan usaha tidak menjamin kontrol Negara terhadap kekayaan strategis, yang menguasai hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan Pengatur Hilir (BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir minyak dan gas bumi, telah mengorbankan skala usaha vertikal terpadu (vertically integrated), yang terbukti dapat menjamin kepentingan nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Implikasi yang paling mendasar ialah karena control cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, sudah tidak berada di tangan BUMN Migas, Negara kehilangan alat untuk menjamin keamanan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Bahan Bakar Gas (BBG). Akibatnya krisis bahan bakar minyak dan gas, akan selalu membayangi sektor energi nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi telah merombak fungsi Negara dan pemerintahan, sebagai pelindung dan pelayan hajat hidup orang banyak, menjadi pelayan pasar dan menempatkan rakyat sebagai pemilik kekayaan sumber daya alam, sebagai objek yang tunduk pada mekanisme pasar dan hukum perdagangan dunia. Dilepaskannya harga BBM, sebagaimana dilakukan pemerintah dengan menaikkan harga BBM untuk mengimbangi harga minyak dunia, adalah wujud dari runtuhnya kedaulatan Negara atas kekayaan alamnya sendiri. Rakyat akhirnya dipaksa untuk membayar BBM yang sebagian besar diambil dari perut buminya sendiri, dengan harga yang ditetapkan oleh pasar internasional.

Oleh sebab itu, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi selalu menuai permasalahan, karena mengandung cacat tersembunyi sejak pembentukannya. Negara hukum yang mendasarkan pada segala produk perundang-undangan berdasar pada hukum, tetapi ternyata hukum dan moral tidak digunakan dengan sebagaimana mestinya, dan bahkan lebih kepada pengaruh sesaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar