Kamis, 08 Mei 2014

Penerapan Aturan Presidential Thrashold "Inkonstitusional"



Pengaturan mengenai ambang batas Partai politik mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Thrashold) dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 adalah menggunakan dasar hukum Pasal 9, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi :

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Jika kita mengacu pada UUD 1945, pasal 6A ayat (2) berbunyi :

Pasangan calon presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum

Sementara pengertian Pemilihan Umum dalam UUD 1945, pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :

“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

ayat (2) berbunyi :

“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah”.

Artinya, jika mengacu para Konstitusi Republik Indonesia, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pasal 6A ayat (2) dapat diusulkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum, dimana pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional berdasarkan pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) adalah diselenggarakan lima tahun sekali, yang kemudian ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Pelaksanaannya pemilu diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.

Oleh karena pelaksanaan Pemilihan Umum diselenggarakan secara serentak, baik Legislatif maupun Eksekutif, maka otomatis seharusnya penerapan pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 sudah tidak relevan lagi diterapkan, sehingga seharusnya MK pun membatalkan Pengujian Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres walaupun pemberlakuannya akan diberlakukan mulai tahun 2019 dan untuk seterusnya agar selaras dengan putusan MK tentang pemilu Serentak.

Terlepas dari perdebatan penundaan pemberlakuan putusan MK tentang Pemilu Serentak ditahun 2019, secara Konstitusional MK telah memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah diselengarakan secara serentak, artinya saat ini kita memaklumi dan bertahan tetap menyelenggarakan pemilu (Legislatif dan Eksekutif) yang tidak serentak, walaupun itu adalah proses yang Inkonstitusional.

Terkait dengan pendapat mahkamah yang menyatakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah secara serentak dengan mendasarkan pada pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, artinya penerapan pasal mengenai Presidential Thrashold yang diatur pada pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang pilpres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena konstitusi mengamanatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusilkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu.


Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum FKHK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar