Minggu, 24 Februari 2013

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENDORONG KEMAJUAN PERADABAN BANGSA

 
Penulis :
Dr. Fokky Fuad, SH., M.Hum
Dosen FH Universitas Al-Azhar Indonesia
 
 
 
ABSTRACT
 
Perguruan tinggi merupakan sarana penciptaan kemajuan peradaban sebuah kaum/bangsa. Perguruan tinggi juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan pasar di satu sisi, dan tridharma perguruan tinggi yang bernuansa ideologis di sisi yang lain. Perguruan tinggi harus mampu medialogkan kedua kutub agar mampu berperan dalam menciptakan kemajuan peradaban bagi bangsanya


PENDAHULUAN

Peradaban suatu bangsa atau kaum berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang ada pada bangsa tersebut. Pilar perkembangan ilmu pengetauan bangsa tersebut adalah perguruan tinggi sebagai sebuah laboratorium peradaban[1]. Perguruan tinggi menjadi sebuah tempat pembelajaran manusia-manusia, tempat menyatunya semua pemikiran, dan tentunya tempat bernaungnya sebuah kebebasan berfikir. Telaah atas peran perguruan tinggi sebagai penopang kemajuan suatu bangsa menjadi penting setidaknya disebabkan oleh dua hal:

Pertama, bahwa perguruan tinggi diyakini sebagai pusat kemajuan suatu kaum atau bangsa, akan tetapi jika diamati secara seksama pertumbuhan jumlah perguruan tinggi acapkali tidak diikuti tujuan-tujuan ideologis dalam perguruan tinggi kaum tersebut. Dalam hal ini perlu dikaji mengapa terjadi perubahan paradigma berfikir terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah pusat ilmu pengetahuan, dimana disitulah setiap orang dituntut mencari, menggali, hingga menemukan jantung pengetahuan. Tujuan ideologis lebih mengemuka dibandingkan tujuan pragmatis, akan tetapi perubahan kebudayaan yang lebih mengutamakan pasar dibanding ilmu, maka terjadi perubahan tujuan, kehendak dan persepsi atas perguruan tinggi. Manusia pasar lebih dikehendaki dibandingkan manusia ilmu. Tuntutan pasar menjadikan perguruan tinggi berubah dari pemusatan ilmu kepada industri.  

Kedua, perguruan tinggi diharapkan mampu merubah kehidupan manusia-manusia sebagai pendukung kebudayaan kaum tersebut. Jika diamati secara seksama terdapat alam kebebasan berfikir yang terbangun dalam perguruan tinggi. Akankah kebebasan akademik tetap bernaung dalam kehidupan perguruan tinggi saat ini. Perguruan tinggi dalam sebuah bangsa menjadi diyakini sebagai jantung ilmu pengetahuan. Transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) terjadi tanpa dipengaruhi oleh tekanan aliran politik, aliran agama, serta dogma ideologis tertentu. Dalam perkembangannya tampaknya terjadi pola pemahaman yang berubah, bahwa perguruan tinggi juga menjadi sarana penekan dogma tertentu atas pihak tertentu kepada pihak lain. Perguruan tinggi menjadi ajang sarana menekan atau memaksakan kehendak suatu kaum.

Berdasarkan dua hal tersebut di atas, dapat kita lihat dua permasalahan yang dihadapi oleh perguruan tinggi: pertama, bahwa bagaimanakah universitas mampu mengemban amanah bagi perubahan kemajuan peradaban suatu kaum sedangkan ia dituntut untuk memenuhi kehendak pasar dalam sebuah mekanisme pasar? Kedua, bagaimanakah peran perguruan tinggi dalam mengoptimalisasi peran mahasiswa sebagai agent of changesebuah bangsa?

 

A.    Perguruan Tinggi antara Peran Ideologis dan Peran Pasar

Perguruan tinggi merupakan mercu suar peradaban. Disebut sebagai mercu suar karena ia menyinari suatu kaum yang sedang berlayar dalam kegelapan malam yang gelap gulita. Perguruan tinggi menjadi pusat kesempurnaan (centre of excellent) dari perkembangan kemajuan peradaban suatu kaum. Perguruan tinggi secara ide dan cita adalah tempat berlabuhnya para terpelajar dan pembelajar untuk mencari, menggali, menemukan kepingan-kepingan pengetahuan yang berserak. Ilmu adalah milik Tuhan, maka kita diminta untuk menggali kepingan-kepingan ilmu pengetahuan yang hilang. Dalam peradaban besar agama-agama dunia: Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, terdapat banyak perintah untuk menggali dan menemukan ilmu pengetahuan.

Pada masa Islam klasik abad pertengahan Islam mencapai kejayaankarena peran penting perguruan tingginya dalam menemukan dan mencari ilmu pengetahuan yang berguna bagi perkembangan peradaban Islam klasik (abad XII). Peradaban barat mengalami kemajuan ketika mereka bersentuhan dengan kemajuan peradaban Islam. Terjadi transfer pengetahuan antara dua peradaban timur dan barat. Pada abad XVI di Eropa muncul enlightment (pencerahan) peradaban dengan ditandai pengagungan ilmu pengetahuan yang membenamkan tahayul ke dalam lubang kematiannya[2].

Kemajuan peradaban masa Islam klasik dan Eropa tidak lepas dari bagaimana peran perguruan tinggi dalam mencerahkan dan membebaskan manusia dari alam tahayul yang menjadikan manusia tertinggal dan berada dalam jurang kebodohan. Perguruan tinggi Islam seperti Universitas Al Azhar Kairo yang berdiri masa Kesultanan Dinasti Syiah Fatimiyah Mesir hingga kemudian berubah menjadi Islam Sunni hinggga kini tetap menjadi pusat kemajuan peradaban Islam bagi dunia[3]. Universitas Genoa Italia, Universitas Paris Perancis menjadi pintu bagi terciptanya transformasi manusia Eropa yang meyakini tahayaul pada awalnya hingga kini berada dalam alam ilmu pengetahuan. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, terdapat pusat perguruan tinggi agama Buddha (Nalanda) yang menjadi pusat ilmu agama Buddha di Asia. Para pelajar dari Cina banyak belajar pada cendekiawan Buddha pada masa itu.

Peran ideologis perguruan tinggi begitu gemilang untuk mengarahkan sekaligus mentransformasi masyarakat dari alam kebodohan dan kegelapan (jahiliyah) menuju alam pencerahan cerdik pandai. Perguruan tinggi Islam Klasik: Universitas Al Azhar Kairo, Universitas Baghdad, dan perguruan tinggi Eropa: Universitas Genoa dan Universitas Paris menjadi sarana ide dan cita perkembangan perubahan kemajuan peradaban dunia. Saat ini perguruan tinggi telah jauh lebih banyak secara kuantitas, Perguruan tinggi Islam: Universitas Al Azhar Kairo, Universitas Madinah, Universitas Ibn Saud. Perguruan Tinggi Eropa: Cambridge Unversity, Oxford University, Universitas Paris, dan sebagainya. Di Asia: Tokyo University, Kyoto University, University Malaya, UI, UGM, ITB, dan sebagainya. Di US: Harvard University, Yale University, MIT, dan sebagainya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah perguruan tinggi tersebut masih mengemban semangat enligtment ataukah cenderung memenuhi permintaan pasar dalam masyarakat kapitalis?

Salah satu parameter penilaian universitas terbaik di dunia adalah: seberapa banyak alumni perguruan tersebut terserap oleh pasar tenaga kerja. Parameter lainnya adalah: seberapa banyak pengajar yang memperoleh prize, seberapa banyak kontribusi tulisan-tulisan dosen perguruan tinggi yang bersangkutan termuat dalam international journal. Seberapa banyak penemuan-penemuan dalam bidang science & technology, serta seberapa banyak international students menempuh pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Dari semua parameter, terdapat satu parameter yaitu terserapnya alumni perguruan tinggi yang bersangkutan dalam pasar kerja. Diterimanya alumni perguruan tinggi dalam bursa pasar kerja menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi. Disinilah kemudian terjadi proses  dominasi pasar terhadap mutu kelulusan perguruan tinggi. Banyaknya tulisan para Profesor yang termuat dalam jurnal ilmiah internasional, tergantikan oleh seberapa besar alumni yang terserap di bursa kerja.

Masyarakat melihat pendidikan tidak lagi sebagai sarana pencerahan fikir akal budi manusia, tetapi dalam bentuk masyarakat kapitalis yang pada akhirnya menuntut terjadinya perubahan paradigma pembangunan perguruan tinggi menjadi sebuah industri. Universitas menjadi industri pendidikan yang mementingkan pasar permintaan dan penawaran. Perguruan tinggi berlomba-lomba untuk menawarkan pendidikan yang berorientasi pasar. Mahasiswa dicetak siap pakai dalam bursa kerja, tidak lagi melihat pada akal budi manusia yang tercerahkan. Dalam proses pasar, maka jurusan Filsafat, Ilmu Budaya, Antropologi akan kalah bersaing dengan Ilmu Ekonomi, Hukum, dan jurusan lainnya yang cenderung lebih siap kerja. Pasarlah yang menetukan pendidikan, dan bukannya perguruan tinggi yang mengarahkan pasar.

Dalam pendidikan yang bercorak dan berorientasi pasar, maka perguruan tinggi menjadi laboratorium yang mencetak mahasiswa-mahasiswa siap pakai. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi laboratorium ide pemikiran, serta pencerahan akal budi manusia. Masyarakat secara tidak sadar menghendaki perubahan perguruan tinggi menjadi sebuah industri pendidikan. Sebuah industri yang bermain dalam mekanisme pasar. Ketika alumni perguruan tinggi ditolak dalam pasar bursa kerja, maka masyarakat akan memilih perguruan tinggi yang lain. Kepentingan sesaat yang mengutamakan nilai ekonomi menggantikan peran akal budi yang tercerahkan.

Dalam masyarakat industri, maka mahasiswa dituntut untuk siap pakai, mahasiswa adalah bagian dari mekanisme mesin-mesin industri. Universitas sebagai laboratorium kehidupan diarahkan untuk mencetak manusia mekanik. Mahasiswa mekanik tidak melihat pada ide akal budi melainkan pada sejauhmana ia mampu mencetak keuntungan ekonomi dalam pertarungan bursa kerja. Sebagai contoh kasus adalah pendidikan tinggi hukum diarahkan pada pendidikan terapan hukum: pembuatan kontrak bisnis, legal opinion & legal due diligence, banking law, corporate law, international trade law, dan semua mata kuliah yang berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan pasar. Secara langsung atau tidak para pemilik modal telah menentukan arah pembangunan pendidikan hukum.

 

B.     Perguruan Tinggi dan Optimalisasi Peran Mahasiswa bagi Bangsa

Mahasiswa adalah agent of change dalam sebuah bangsa, dan dalam perubahan sosial masyarakat yang terjadi di Indonesia, mahasiswa telah terbukti memiliki peran utama dalam merubah kondisi sosial ekonomi dan politik negeri. Mahasiswa Angkatan ’66 telah mampu mendobrak dan menggulingkan Orde Lama, demikian pula dengan Angkatan ’98. Terbukti bahwa pendidikan pada perguruan tinggi telah mampu merubah paradigma berfikir manusia-manusia Indonesia. Pendidikan tinggi menjadi sebuah bentuk dari perubahan peradaban suatu bangsa kearah kemajuan.

Perguruan tinggi dalam hal ini memiliki dua kutub yang saling tarik-menarik: kutub mekanika pasar pada satu sisi, dan kutub ideologis pada sisi yang lain. Tarik-menarik dua kutub yang tampaknya saling berseberangan ini tidak dapat dihindari oleh perguruan tinggi. Tuntutan dunia kerja menjadikan perguruan tinggi tidak dapat lagi tidur dalam lamunan ideologisnya, melainkan berbenah untuk bersaing dengan banyaknya perguruan tinggi yang berorientasi pasar. Pada sisi lain perguruan tinggi juga harus berpegang pada Tridharma Perguruan tinggi yang mengusung nilai-nilai ideologis: pengabdian masyarakat, penelitian, dan pendidikan.

Pembangunan karakter manusia Indonesia berada pada pundak perguruan tingginya. Perguruan tinggi harus mampu menjembatani dua kepentingan dari dua kutub yang tampaknya saling bertolak belakang. Untuk itu perguruan tinggi harus mampu menciptakan paduan dialogis antara pragmatisme permintaan pasar dan  peran akal budi yang bersifat ideologis. Perguruan tinggi tidak dapat bekerja sendiri tanpa peran aktif negara. Negara harus aktif dalam pemberian subsidu pendidikan. Jika perguruan tinggi dilepaskan pada mekanisme pasar, maka perguruan tinggi akan semata-mata memenuhi tuntutan pasar. Mahasiswa akan diarahkan semata-mata pada kebutuhan pasar, pendidikan perguruan tinggi akan diarahkan pada permintaan para pemilik modal. Negara memiliki peran penting dalam proses pembiayaan pendidikan hingga standarisasi pendidikan tinggi. Pendidikan tidak dapat diserahkan kepada tanggungjawab masyarakat karena itu adalah kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masyarakat tidak akan memiliki dana yang cukup untuk membiayai berjalannya pendidikan tinggi, dan itulah peran dan fungsi negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mahasiswa tidak semata-mata dibebankan pada pembiayaan dan lebih difokuskan pada diskusi dan dialog ilmiah, penelitian yang didanai oleh lembaga donor (Pihak III). Perguruan tinggi tidak selayaknya memposisikan dirinya sebagai industri yang menjadikan pendidikan sebagai bisnis mencari uang bagi pelaksana-pelaksana perguruan tinggi. Pelaksana pendidikan berfokus pada pencarian dana Pihak III, sehingga perlu dibentuk university manager yang mengemban tugas tersebut. Dengan terbebasnya mahasiswa dari belitan dan kesulitan pendanaan pendidikan, maka mahasiswa dapat diarahkan pada proses-proses kajian telaah akademik, perdebatan dan diskusi ilmiah dalam forum-forum mimbar kebebasan akademik[4].

Universitas harus memposisikan dirinya sebagai laboratoium peradaban, dalam pengertian bahwa miniatur kehidupan dan ruang sosial dibentuk diciptakan di dalamnya. Mahasiswa yang memiliki peran sentral dalam kehidupan akademik, para tenaga pengajar, para Profesor, mengarahkan mahasiswa untuk berperan aktif dalam kehidupan internal maupun eksternal kampus. Mahasiswa tidak boleh diam dan berpangku tangan terhadap ketidakadilan sosial masyarakat. Mahasiswa harus menjadi corong-corong suara keadilan sosial masyarakat. Mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari kehidupan akademik dan sekaligus dinamika sosial masyarakat. Disinilah mahasiswa menjadi agent of change dari terciptanya perubahan sosial.  

 

Kesimpulan:

Pendidikan tinggi hingga kini masih menjadi pusat pengembangan kemajuan peradaban suatu kaum atau bangsa. Munculnya proses globalisasi juga berdampak pada proses pembelajaran di perguruan tinggi, dalam proses ini muncul kehendak pasar yang menuntut perguruan tinggi berperan aktif dalam memenuhi keinginan pasar. Pada sisi lain terdapat nilai-nilai ide dasar yang menuntut perguruan tinggi berperan dalam proses manusia-manusia yang memiliki karakter sesuai nilai-nilai humanisme.

Kuatnya tarik-menarik antara dua kutub ini membutuhkan peran aktif negara untuk berperan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi dengan tidak melepas perguruan tinggi ke alam pasar bebas. 

 

 

 



 
[1]Peradaban mengandung pengertian kemajuan kecerdasan baik dari sisi ilmu dan kebudayaan. Untuk itu perbedaan kemajuan diantara kebudayaan berbeda-beda. Lihat:<http://www.artikata.com/arti-385257-peradaban.html>, diakses pada tanggal 11 Pebruari 2013
 
[2]Semangat pencerahan dan kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa muncul oleh semboyan Cogito ergo sum (Aku berfikir maka aku ada, I Think therefore I am)yang dikumandangkan oleh Rene Descartes. Descartes mengumandangkan sebuah eksistensi diri manusia yang tampak dari apa yang difikirkannya. Manusia terjalin atas apa yang tertanam dalam pikirannya membebaskannya untuk terus mencari dan menyatakan bahwa segala yang tampak adalah relatif dan perlu difikirkan. Lihat: <http://www.britannica.com/EBchecked/topic/124443/cogito-ergo-sum>, diakses pada tanggal 11 Februari 2013
 
[3]Kemajuan Peradaban Islam tidak lepas dari tingginya peran para ilmuwan/Profesor Islam pada masa Kekhalifahan Islam yang mendorong terciptanya masyarakat yang berpengetahuan. Penemuan-penemuan dan inovasi para ilmuwan seperti Ibn Khaldun, Ibn Sina, Khawarizmi, dan lainnya memberikan sumbangsih besar pada terciptanya bangunan peradaban Islam Klasik. Kemunduran peradaban Islam diawali oleh padamnya pemikiran-pemikiran yang menutup pintu pemikiran ijtihad. Transfer pengetahuan terjadi antara dunia timur kepada peradaban Barat. Lihat: SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM PADA ABAD PERTENGAHAN. Lihat: <http://www.saefudin.info/2008/05/sejarah-islam-abad-pertengahan.html#.URh1-WfoP-I>, diakses pada tanggal 11 Februari 2013
 
[4]Dinamika alam berfikir menemukan tempatnya pada pendidikan tinggi. Mahasiswa sebagai agen perubah mendapati beragam sumber ilmu dan pengetahuan yang berlimpah. Kebenaran ilmu harus terus dicari dengan tidak menjadikan dosen semata-mata sebagai pusat dari segala kebenaran. Bahwa dalam proses globalisasi yang juga tampak pada proses pembelajaran di perguruan tinggi, mahasiswa menerima beragam sumber pengetahuan yang berlimpah mulai: buku, media elektronika, jurnal online, dan lain sebagainya. Lihat: Edhi Setiawan, Cogito ergo sum, <http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/06/cogito-ergo-sum-477270.htm>, diakses pada tanggal 11 Pebruari 2013
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar