Jumat, 26 April 2013

Norma Penghinaan Terhadap Presiden bertentangan dengan Konstitusi


Seperti yang kita ketahui bahwa Pasal Penghinaan terhadap Presiden sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusannya menyatakan bahwa pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan menyatakan permohonan para pemohon, yaitu praktisi hukum Eggi Sudjana dan aktivis Pandopotan Lubis, dikabulkan untuk seluruhnya.
Pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden. "Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Ketiga pasal itu berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap, apabila ketiga pasal itu selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan, sehingga dinilai bertentangan dengan pasal 28, 28E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
Sementara untuk delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberlakukan pasal 310 sampai 312 KUHP apabila penghinaan ditujukan kepada kualitas pribadi, dan pasal 207 KUHP apabila penghinaan ditujukan selaku pejabat.
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal tentang penghinaan terhadap presiden tersebut dengan alasan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. normanya itulah yang bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak boleh dihidupkan lagi. Terkecuali ada perubahan/amandemen Konstitusi (UUD 1945) terhadap pasal yang menjadi batu uji dari pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut. Sehingga dimungkinkan pasal tersebut dimunculkan kembali.
Contohnya : jika dimungkinkan kembali ke UUD 1945 (naskah asli), maka secara otomatis pasal 28 secara keseluruhan yang mengatur tentang HAM yang menjadi dasar batu uji dari pasal penghinaan terhadap presiden tidak ada lagi, baru itu dimungkinkan dimunculkan kembali.
Karena dinegara manapun, tidakada yang pernah menghidupkan kembali norma yang ada dalam pasal dalam suatu perundang-undangan yang telah dianggap bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi, karena itu akan dianggap tidak konsisten.
Dan seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD 1945. Maka sudah tidak relevan lagi untuk memuat pasal 134, 136 bis dan 137 dalam KUHPnya yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum.
Pemberlakuan ketiga pasal itu, juga berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaruan KUHP warisan kolonial, seharusnya tidak lagi memuat pasal-pasal yang normanya sama atau mirip dengan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar