Selasa, 08 Oktober 2013

Konstitusi Tidak Melarang Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Konstitusi dan Putusannya




Kisruh yang terjadi di Mahkamah Konstitusi salah satu nya disebabkan karena tidak adanya pengawasan terhadap Hakim Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi baru akan dibentuk ketika ada laporan dugaan penyimpangan kode etik serta perilaku hakim konstitusi dan itupun dibentuk dan ditunjuk oleh Hakim Konstitusi itu sendiri. Sehingga dengan kekusasaan yang begitu besar yang dimiliki, yaitu menjadi penentu pertama dan terakhir dalam menguji UU Terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Kekuasaan yang besar tanpa pengawasan inilah yang menyebabkan Lembaga Penjaga Konstitusi itu akhirnya membuktikan sendiri istilah yang sering kita dengar “Power Tends to Corrupt” yang langsung di duga dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam oprasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK.

Pertanyaannya adalah apakah Konstitusi tidak menghendaki lembaga Komisi Yudisial dapat mengawasi Mahkamah Konstitusi? Dan apakah Konstitusi menghendaki kewenangan Komisi Yudisial hanya sebatas Kode Etik dan Perilaku Hakim?

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dalam pasal ini secara tegas bahwa konstitusi mengamanatkan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakan Kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.

Kehormatan hakim itu tidak hanya pada perilaku tapi yang terutama pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan   proses   pengambilan keputusan   yang   bukan   saja   berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.  Sebagaimana  halnya  kehormatan,  keluhuran martabat merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia  yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. 

Artinya dalam menjaga, menegakan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, Komisi Yudisial seharusnya dimungkinkan untuk mengawasi setiap putusan hakim disetiap tingkat tanpa terkecuali Hakim Konstitusi. Karena Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 dikatakan bahwa : “Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 

Jadi sebenarnya Konstitusi memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial tidak hanya terbatas pada Kode etik dan Perilaku Hakim saja. Namun dimungkinkan juga diberikannya wewenang oleh UU untuk mengawasi putusan hakim peradilan dibawah Mahkamah Agung hingga Hakim Agung dan juga terhadap Hakim Konstitusi. Hanya saja turunan dari UUD 1945 lah yang mempersempit kewenangan Komisi Yudisial dikarenakan adanya Ego antar Lembaga Tinggi Negara serta Political Will para pembentuk UU yang menyebabkan Komisi Yudisial terpenjara pada pemahaman frasa kehormatan dan keluhuran martabat yang kemudian diartikan hanya untuk mengawasi kode etik dan perilaku hakim tanpa bisa menyentuh dan mengawasi setiap putusan Hakim Konstitusi. Oleh karena itu sudah selayaknya DPR bersama Presiden segera melakukan harmonisasi UU terkait dengan sistem pengawasan badan peradilan di Indonesia. 

Kalaupun Presiden ingin mengeluarkan perppu, lebih tepatnya ditujukan pada dua hal : 
Pertama : Wewenang Pengawasan Komisi Yudisial tidak terbatas pada Hakim yang berada dibawah Lembaga Mahkamah Agung tetapi termasuk Hakim Agung hingga Lembaga Mahkamah Konstitusi yaitu terhadap Hakim Konstitusi. 

Kedua : Memaksimalkan wewenang Komisi Yudisial, agar tidak hanya terbatas pada Kode Etik dan Perilaku Hakim namun juga pengawasan terhadap putusan yang bermasalah karena suap. Demi menjaga kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim dan Badan Peradilan di Indonesia. Sehingga cita-cita untuk dapat menegakan hukum dapat terwujud.


Penulis :
Victor Santoso Tandiasa (VST)
Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar