Selasa, 01 Oktober 2013

”FKHK Menggugat Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang Bersifat Final dan Mengikat ke Mahkamah Konstitusi”

Kewenangan penyelesaian sengketa pemilu dan pemilukada (pasca masuknya pemilukada kedalam rezim pemilu) diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada pasal 24C ayat (1) dikatakan bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Kemudian pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih rinci diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan mengadili terhadap penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur pada pasal 10 ayat (1) huruf d, dan untuk pengaturan terkait sifat putusan Mahkamah Konstitusi  terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 pada pasal 79 ayat (3) yang mengatakan :

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan Mengikat”.

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi inilah yang kemudian menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Sudah terjadi beberapa diantaranya putusan terhadap perselisihan hasil pemilihan umum yang merugikan hak konstitusional warga negara karena menimbulkan kebuntuan dalam upaya mencari keadilan secara konstitusional yang dirampas akibat “human error” hakim konstitusi dalam membuat keputusannya.

Contoh yang baru saja terjadi dalam perkara perselisihan hasil pemilu yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perkara PHPU No. 103/PHPU.D.XI/2013, Dimana KPU Sumba Barat Daya menetapkan pasangan Markus-Ndara sebagai pemenang. Namun, pasangan  Kornelius Kodi Mete - Daud Lende Umbu Moto yang tak terima dengan putusan KPU itu mengajukan gugatan ke MK. Selain itu, Kornelius juga melaporkan dugaan kecurangan yang dilakukan KPU Sumba Barat Daya dan sejumlah PPK karena merasa perolehan suaranya berkurang, sementara suara untuk Markus Dairo Talu - Ndara Tanggu Kaha justru bertambah. Dalam persidangan, Pemohon sudah meminta kepada Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penghitungan ulang terhadap kotak suara yang diduga terjadi penggelembungan, namun Majelis Hakim tidak melakukan penghitungan ulang suara dari dua kecamatan itu, dan memutus sengketa Pemilukada Sumba Barat Daya pada 29 Agustus lalu dengan isi amar putusannya adalah menolak permohonan pasangan Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto, sekaligus menguatkan penetapan perolehan suara KPU yang memenangkan Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha.

Namun setelah itu untuk menelusuri bukti penggelembungan suara Polres Sumba Barat dilakukan penghitungan ulang kotak suara dari dua kecamatan. Hasilnya ada perubahan perolehan suara yang berpengaruh pada pasangan yang ditetapkan sebagai pemenang Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha. Ternyata peraih suara terbanyaknya adalah Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi telah ditolak permohonannya.

Akibat dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum, artinya tidak ada upaya konstitusional lainnya yang dapat memberikan kesempatan bagi pihak yang dirugikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut untuk dapat mengajukan upaya hukum selanjutnya. Karena terjadi kebuntuan upaya hukum secara konstitusional akhirnya ketua KPUD Sumba Barat Daya mengambil keputusan untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan menganulir keputusan penetapan rekapitulasi perolehan suara pasangan calon serta penetapan bupati dan wakil bupati SBD terpilih. Padahal jelas, keputusan KPUD Sumba Barat Daya tersebut melanggar konstitusi, dan dapat di permasalahkan oleh pihak Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha ke PTUN, dan pasti akan menjadi masalah yang sulit diselesaikan dan berpotensi besar menimbulkan konflik horizontal antar para pendukung. Bahkan kami menduga penolakan Majelis hakim untuk menghitung kotak suara yang sudah di dibawa ke jakarta itu pun kemungkinan Mahkamah Konstitusi sudah kemasukan angin.

Peristiwa yang terjadi dalam penyelenggaraan penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Kabupaten Sumba Barat Daya ini hanya merupakan contoh dari banyak kasus pemilukada yang menjadi preseden buruk dalam perkembangan konstitusionalisme di Indonesia, jaminan perlindungan serta kepastian hukum dalam melakukan upaya mencari keadilan telah terampas oleh sifat yang final dan mengikat tersebut. Kami membayangkan jika nanti peristiwa yang dialami masyarakat Sumba Barat Daya terjadi dalam Pemilihan Presiden (pilpres) konflik horizontal dalam skala nasional dipastikan akan terjadi.

Selain itu, sifat putusan yang final dan mengikat ini kemudian menjadi harapan terakhir para calon  kepala daerah yang ambisius merebut jabatan yang penuh dengan kekuasaan untuk dapat menjadi raja kecil di daerah. Sehingga potensi untuk melakukan upaya apapun untuk menang, seperti yang baru saja terjadi rabu, 02 Oktober 2013, sekitar pukul 22.00 KPK melakukan oprasi tangkap tangan terhadap ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait persoalan pemilukada di Kalimantan.

Oleh karena itu Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang merupakan organisasi yang konsen dalam penegakan Konstitusionalisme di Indonesia mengajukan permohonan (gugatan) ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi pasal 79 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 dalam penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar