Jumat, 04 Januari 2013

Kedudukan Serta Fungsi Pancasila Dalam Berbangsa dan Bernegara



I. PENDAHULUAN
Terdapat berbagai macam pengertian kedudukan dan fungsi Pancasila yang masing-masing harus dipahami sesuai dengan konteksnya. Misalnya, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan masih banyak kedudukan dan fungsi Pancasila lainnya. Seluruh kedudukan dan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri secara sendiri-sendiri namun bilamana kita kelompokan maka akan kembali pada dua kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia dan sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.[1]
Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Negara, nilai-nilainya telah ada pada Bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup, yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat dan kebudayaan serta sebagai kausa materialis Pancasila. Dalam pengertian inilah maka antara Pancasila dengan Bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia. Setelah setelah Bangsa Indonesia mendirikan Negara maka oleh pembentuk Negara, Pancasila disahkan menjadi Dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar, sehingga segala cita-cita, gagasan-gagasan, dan ide-ide tertuang dalam Pancasila, maka dalam pengertian inilah Pancasila berkedudukan sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia sekaligus sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan Bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, secara objektif diangkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai Filsafat hidup Bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri.[2]


II. PEMBAHASAN
A.    Pancasila Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia
Proses terjadinya Pancasila tidak seperti ideology-ideologi lainnya yang hanya merupakan hasil pemikiran seseorang saja, namun melalui proses kausalitas yaitu sebelum disahkan sebagai dasar Negara. Nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan sekaligus sebagai Filsafat Hidup Bangsa Indonesia. Dalam pengertian inilah maka bangsa Indonesia sebagai kausa materialis dari Pancasila. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh Bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah laku perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Dari pandangan hidup inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai bangsa, gagasan-gagasan kejiwaan apakah yang hendak diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada Bangsa Indonesia, nilai-nilai Pancasila itu telah tercermin dalam khasanah adat-istiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaannya.[3]
Ketika para pendiri Negara Indonesia menyiapkan berdirinya Negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental, “di atas dasar apakah Negara Indonesia merdeka didirikan?”. Dengan jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejewantahan nilai-nilai yang dimiliki, dihayati, dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahir.[4]
Nilai-nilai itu sebagai buah hasil pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang member corak, watak, dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat atau bangsa lainnya. Kenyataan yang demikian ini merupakan suatu kenyataan objektif yang merupakan Jati Diri Bangsa Indonesia.[5]
  Bangsa Indonesia sejak jaman dahulu kala merupakan bangsa yang religius dalam pengertian bangsa yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia. Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan manifestasi bangsa Indonesia atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa antara lain; sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi, di jaman Neoliticum dan Megaliticum antara lain berupa “Menhir”, yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu, kubur batu, punden berundak-undak yang ditemukan di Pasemah di pegunungan antara wilayah Palembang dan Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali, dan Sulawesi. Menhir yang berupa tiang batu yang didirikan di tengah-tengah tersebut pada prinsipnya merupakan ungkapan manusia atas Zat yang tertinggi, Hyang Tunggal artinya Yang Maha Esa. Selain itu ungkapan atas pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tercermin antara lain; Tuh (Kalimantan), Sang Hyang (Jawa), Ompu Debata atau Debata Malajadi Nasional Bolon (Batak), To Lotang (Bugis), Gae Dewa (Ngada). Selain ungkapan-ungkapan yang menggambarkan akan hubungan antara manusia dengan Zat Yang Maha Kuasa antara lain; bahwa orang yang meninggal dunia itu disebut berpulang atau kembali kepada Sang Penciptanya.[6]
Bangsa Indonesia dalam struktur kehidupan sosialnya, eksistensi (keberadaan) setiap manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial diakui dan dihargai serta dihormati. Dalam kaitannya dengan sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, nilai-nilainya tercermin dalam sikap saling tolong-menolong, menghormati manusia lain, bersikap adil dan menjunjung tinggi kejujuran dan sebagainya. Apa yang dilakukan oleh manusia Indonesia itu tidak hanya untuk kepentingannya sendiri, melainkan juga demi kepentingan manusia lain dan masyarakat, serta pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi, yang tercermin dalam ungkapan “sedumuk bathuk senyari bumi”. Kesemuanya itu sebagai ungkapan cita-cita kemanusiaan dalam masyarakat dan Bangsa Indonesia. Selain itu juga terdapat cita-cita terwujudnya hubungan yang harmonis dan serasi antara manusia dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan Sang Penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Keselarasan dan keharmonisan tersebut sebagai makna dari ungkapan keadilan dan kebenaran manusia sebagaimana terkandung dalam sila ke-2 Pancasila.[7]
Cita-cita dan kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti pengertian-pengertian atau ungkapan-ungkapan “tanah air” sebagai ekspresi pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara. “Tanah tumpah darah” yang mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam sekitarnya, kesatuan antara orang dan bumi tempat tinggalnya. “Bhinneka Tunggal Ika” yang mengungkapkan cita-cita kemanusiaan dan persatuan, sekaligus perwujudan dari cita-cita persatuan dan kesatuan ini dalam sejarah bangsa Indonesia juga terungkap bahwa sejarah mencatat adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat “nasional” yaitu Sriwijaya dan Majapahit.[8]
Semangat gotong-royong, siadapari, masohi, sambatan, gugur gunung, dan sebagainya, mengungkapkan cita-cita kerakyatan, kebersamaan, dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong-royong dan asas kekeluargaan, Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar atau bagian yang terkuat dalam masyarakat, baik politik, ekonomi, maupun sosial-kultural. Negara menempatkan diri dengan seluruh lapisan masyarakat. Rakyat tidak untuk Negara, tetapi Negara adalah untuk rakyat, sebab pengambilan keputusan selalu digunakan asas musyawarah untuk mufakat, seperti yang dilakukan dalam “rembung desa, keraptan nagari, kuria, wanua banua nua.”[9]
Selanjutnya struktur kejiwaan bangsa Indonesia mengakui, menghormati, serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban tiap manusia, tiap golongan dan tiap bagian masyarakat. Sebaliknya setiap anggota masyarakat, setiap golongan dan setiap bagian sadar akan kedudukannya sebagai bagian organik dari masyarakat seluruhnya, dan oleh karena itu wajib meneguhkan kehidupan yang harmonis antara semua bagian. Hubungan antara hak, kewajiban, serta kedudukan yang seimbang itu merupakan cita-cita keadilan sosial. Ide tentang keadilan sosial ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia, cita-cita akan masyarakat yang “gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja”, serta ajaran milenarisme dan messianisme yang menyatakan bahwa masyarakat adil dan makmur akan terwujud dengan datangnya Ratu Adil, dapat membuktikan adanya keadilan sosial tersebut.[10]
Dengan berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa Indonesia, serta di-ilhami oleh ide-ide besar dunia, maka para pendiri Negara kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dan dihayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila yang rumusannya seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[11]
 
B.     Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup (filsafat hidup). Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana bangsa itu memecahkan persoalan-persoalan itu. Tanpa memiliki pandangan hidup maka sesuatu bangsa akan merasa terus-menerus terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri, maupun persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan pandangan hidup yang jelas, sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang semakin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula sesuatu bangsa akan membangun dirinya.[12]
Dalam pandangan hidup itu terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya pandangan hidup sesuatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujdukannya. Karena itulah dalam melaksanakan pembangunan misalnya, kita tidak dapat begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan oleh bangsa lain tanpa menyesuaikannya dengan pandangan hidup dan kebutuhan-kebutuhan bangsa itu sendiri.[13]
Suatu corak pembangunan yang barangkali baik dan memuaskan bagi sesuatu bangsa belum tentu baik pula atau memuaskan bagi bangsa yang lain. Karena itulah pandangan hidup suatu bangsa yang merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian sesuatu bangsa.[14]
Kita merasa bersyukur bahwa para pendahulu kita, para pendiri Republik ini merumuskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita yang kemudian kita namakan Pancasila. Seperti yang ditunjukkan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara kita.[15]
Disamping itu maka bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat.berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Ialah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia itu akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan baik dalam hidup manusia sebagai manusia dengan alam dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan kebahagiaan rohaniah.[16]
Negara Republik Indonesia memang tergolong muda dalam barisan negara – negara di dunia. Tetapi bangsa Indonesia lahir dari sejarah dan kebudayaan yang tua, melalui gemilangnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram, kemudian mengalami masa penderitaan penjajahan sepanjang tiga setengah abad sampao akhirnya bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kembali kemerdekaannya sama tuanya dengan sejarah penjajahan itu sendiri. Berbagai babak sejarah dilampaui dan berbagai jalan telah ditempuh dengan gaya yang berbeda – beda mulai dengan cara – cara yang lemah sampai cara- cara yang keras, mulai dari gerakan kaum cendekiawan yang terbatas sampai pada gerakan yang menghimpun kekuatan rakyat banyak, mulai dari bidang pendidikan kesenian daerah, perdagangan sampai gerakan – gerakan politik.[17]
Bangsa Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasil antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa dating yang secara keseluruhan membentuk kepribadiannya sendiri.[18]
Sebab itu bangsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri yang bersamaan lahirnya bangsa dan negara itu, kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara Pancasila. Bangsa Indonesia lahir dengan kekuatan sendiri, sebab itu percaya pada diri sendiri merupakan salah satu cirri kepribadian bangsa Indonesia.[19]
Karena itulah, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah berjuang, dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa kita dan gagasan besar bangsa kita sendiri.[20]
Karena Pancasila seudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam 3 (tiga) buah UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia 1950. Pancasila itu tetap tercantum didalamnya, Pancasila yang lalu dukukuhkan dalam kehidupan konstitusional itu, Pancasila yang selalu menjadi pegangan bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah bahwa Pancasila memang selalu dikehendaki oleh bangsa Indonesia sebagai dasar kerohanian negara, dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia karena ia sebenarnya telah tertanam dalam kalbunya rakyat, oleh karena itu ia juga merupakan dasar yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.[21]

  1. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang dari BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 adalah dikandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa satu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial, dan kebudayaan.[22]
Landasan atau dasar itu haruslah kuat dan kokoh agar gedung yang berdiri di atasnya akan tegak sentosa untuk selama-lamanya. Landasan itu harus pula tahan uji terhadap serangan-serangan baik dari dalam maupun dari luar. Sidang BPUPKI telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.[23]
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD RI Tahun 1945. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD RI Tahun 1945 itu disebut peraturan-peraturan organic yang menjadi pelaksanaan dari UUD RI Tahun 1945.[24]
Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD RI Tahun 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD RI Tahun 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah, dll) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber hukum (sumber hukum formal, undang-undang, kebiasaan, traktat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).[25]
Disinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan negara dan pemerintah Indonesia. Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri. Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar kehidupan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.[26]

  1. Pancasila Sebagai Jiwa dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah: keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan cirri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.[27]
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin disana-sini, misalanya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota keperibadian itu dapat dipengarui oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan tiap sila dari pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila pancasila itu adalah pencerminan dari bangsa kita.[28]
Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa kita. Apabila pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kira kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.[29]
Akhirnya perlu juga ditegaskan, bahwa apabila dibicarakan mengenai Pancasila, maka yang kita maksud adalah Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:[30]
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa
2)      Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
3)      Persatuan Indonesia
4)     Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5)      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
 
Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang kita gunakan, sebab rumusan yang demikian itulah yang ditetapkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Seperti yang telah ditunjukkan oleh ketetapan MPR No. XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Dikatakan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-sila lainnya. Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang Pancasila.[31]
 
  1. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikrian seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila.[32]

Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Selain itu Pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari seseorang saja, yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sehingga Pancasila pada hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komprehensif. Oleh karena itu ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.[33]
Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri. Namun demikian dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa datang dari luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehingga tidak mencerminkan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut. Ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada awalnya secara kausalitas bersumber dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam adat-istiadat, serta dalam agama-agama bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila berasal dari nilai-nilai pandangan hidup bangsa telah diyakini kebenarannya kemudian diangkat oleh bangsa Indonesia sebagai dasar filsafat negara dan kemudian menjadi ideologi bangsa dan negara. oleh karena itu ideologi Pancasila, ada pada kehidupan bangsa dan terlekat pada kelangsungan hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[34]
Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu dalam ideologi Pancasila mengakui atas kebebasan dan kemerdekaan individu, namun dalam hidup bersama juga harus mengakui hak dan kebebasan orang lain secara bersama sehingga dengan demikian harus mengakui hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia menurut Pancasila berkedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu nilai-nilai ketuhanan senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam hidup negara dan masyarakat. Kebebasan manusia dalam rangka demokrasi tidak melampaui hakikat nilai-nilai ketuhanan, bahkan nilai ketuhanan terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi kebebasan manusia.[35]

  1. Pancasila Sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia
Telah dijelaskan dimuka bahwa sebelum Pancasila ditentukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak jaman dahulu kala, yaitu sejak lahirnya bangsa Indonesia sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun demikian keberadaan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang hidup mandiri di antara bangsa-bangsa lain di dunia bukanlah semata-mata ditentukan oleh ciri-ciri etnis belaka melainkan oleh sejumlah unsur khas yang ada pada bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain.[36]
Bagi bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[37]
1.      Dilahirkan dari satu nenek moyang, sehingga kita memiliki kesatuan darah;
2.      Memiliki satu wilayah dimana kita dilahirkan, hidup bersama dan mencari sumber-sumber kehidupan;
3.      Memiliki kesatuan sejarah, yaitu bangsa Indonesia dibesarkan di bawah gemilangnya kerajaan-kerajaan, Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan sebagainya;
4.      Memiliki kesamaan nasib yaitu berada di dalam kesenangan dan kesusahan, dijajah Belanda, Jepang dan lainnya;
5.      Memiliki satu ide, cita-cita satu kesatuan jiwa atau asas kerohanian, dan satu tekad untuk hidup bersama dalam suatu negara Republik Indonesia.
Dengan lain perkataan, bangsa Indonesia memiliki satu asas kerohanian, satu pandangan hidup, dan satu ideologi yaitu Pancasila, yang ada dalam suatu negara Proklamasi 17 Agustus 1945.[38]
Bagi bangsa Indonesia adanya kesatuan asas kerohanian, kesatuan pandangan hidup, kesatuan ideologi tersebut itu adalah amat bersifat sentral, karena suatu bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui ke arah mana tujuan bangsa itu ingin dicapai maka bangsa itu harus memiliki satu pandangan hidup, ideologi maupun satu asas kerohanian.[39]
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang dengan sendirinya memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang berbeda-beda pula. Namun demikian perbedaan itu harus disadari sebagai sesuatu yang memang senantiasa ada pada setiap manusia (suku bangsa) sebagai makhluk pribadi, dan dalam masalah ini bersifat biasa. Namun demikian dengan adanya kesatuan asas kerohanian yang kita miliki, maka perbedaan itu harus dibina ke arah suatu kerjasama dalam memperoleh kebahagiaan bersama. Dengan adanya kesamaan dan kesatuan asas kerohanian dan kesatuan ideologi, maka disinilah letak fungsi dan kedudukan asas kerohanian Pancasila sebagai asas kerohanian proses sebagai asas persatuan, kesatuan dan asas kerjasama bangsa Indonesia. Dalam masalah ini maka membina, membangkitkan, memperkuat, dan mengembangkan persatuan dalam pertalian kebangsaan menjadi sangat penting artinya, sehingga persatuan dan kesatuan tidak hanya bersifat statis namun harus bersifat dinamis.[40]
Perbedaan adalah merupakan bawaan dari manusia sebagai makhluk pribadi. Namun demikian bahwa sifat manusia adalah sebagai individu dan makhluk sosial, dan kedua sifat kodrat manusia tersebut harus senantiasa ada dalam keseimbangan yang serasi dan harmonis yang harus dilaksanakan penjelmaannya dalam hidup bersama yaitu dalam suatu negara Indonesia. Hal inilah yang sering disebut sebagai asas kekeluargaan (gotong-royong). Maka perbedaan-perbedaan tersebut itu tidaklah mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, karena memiliki daya penarik ke arah kerjasama yang saling dapat ditemukan dalam isi perbedaan dan sintesa yang memperkaya masyarakat sebagai suatu bangsa. Maka bagi bangsa Indonesia dalam filsafat yang merupakan asas kerohanian Pancasila, merupakan asas pemersatu dan asas hidup bersama. Dalam masalah ini Pancasila dalam kenyataan objektifnya sebagai suatu persatuan dan kesatuan yang telah ditentukan bersama setelah Proklamasi Kemerdekaan sebagai dasar filsafat negara.[41]


III. PENUTUP
Pancasila merupakan ideologi, falsafah, pedoman, pandangan hidup, serta sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Pancasila diyakini oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai suatu landasan berbangsa dan bernegara dan diyakini sebagai unsur pemersatu bangsa yang terdiri dari berbagai jenis suku bangsa, agama, dan ras.
NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang sangat kental pluralismenya, dikarenakan Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai jenis suku bangsa, agama, dan ras. Indonesia juga merupakan negara kesatuan yang terdiri dari ribuan kepulauan yang memiliki beraneka ragam kekayaan alam di dalamnya.
Dari semua perbedaan tersebut, bukanlah menjadi suatu ancaman maupun hambatan bagi Indonesia untuk bersatu dan hidup bersama menuju kesejahteraan umum, perbedaan bukanlah suatu hal yang mutlak untuk tidak dapat bersatu. Akan tetapi, dari perbedaan tersebut dapat dijadikan suatu formulasi untuk mengisi kekurangan satu sama lain dalam upaya menuju kesejahteraan umum dengan semangat persatuan dan kesatuan.
Dalam bingkai NKRI, perbedaan itu memang ada, namun pada dasarnya kita sama, yaitu sama-sama sebagai “manusia”. Lebih tepatnya lagi, meskipun kita berbeda-beda, namun pada hakikatnya kita adalah sama, yaitu sama-sama “makhluk Tuhan”.
Unsur Ketuhanan, manusia Indonesia adalah manusia yang berketuhanan, itulah sebabnya manusia Indonesia memiliki pola pikir yang religius. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan kepercayaan lainnya merupakan berbagai jenis agama yang dipeluk oleh seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun agamanya berbeda, namun pada dasarnya kita sama, yaitu sama-sama percaya dan yakin kepada sila kesatu dalam Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila kesatu dalam Pancasila itulah yang mempersatukan kita dalam perbedaan kepercayaan atau keyakinan dalam kehidupan beragama. Karena pada dasarnya Tuhan mengajarkan kita sebagai manusia untuk saling mencintai dan mengasihi terhadap sesama manusia. Dan kita yakin dan percaya bahwa setiap agama, apapun agama tersebut pasti selalu mengajarkan nilai-nilai kemuliaan kepada kita sebagai manusia. Oleh sebab itu, berbeda keyakinan dan kepercayaan bukanlah suatu masalah yang dapat memecah belah persatuan, melainkan dapat menjadi suatu unsur kemuliaan dalam toleransi antar umat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Unsur Kemanusiaan, manusia adalah makhluk Tuhan yang sempurna, karena Tuhan memberikan karunia berupa akal dan pikiran kepada manusia untuk hidup dan menyembah kepada-Nya. Tuhan mengajarkan kita sebagai manusia untuk hidup rukun, adil, dan saling mencintai sesama. Sila kedua dalam Pancasila, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” telah mengamanatkan kita hal yang serupa. Oleh sebab itu kita sebagai manusia diwajibkan untuk menjadi manusia yang beradab. Beradab dalam hal ini berarti kita sebagai manusia diwajibkan untuk saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong antar sesama. Apabila hal tersebut telah berjalan, maka niscaya nilai-nilai persaudaraan diantara kita sebagai manusia akan terwujud dengan sendirinya.
Unsur Persatuan, manusia Indonesia pada dasarnya merupakan kumpulan manusia yang memiliki watak bergotong-royong dalam kebersamaan, selalu mengedepankan asas gotong-royong dan kebersamaan dalam setiap mencapai suatu tujuan bersama. Oleh sebab itu unsur persatuan dan kesatuan adalah ciri khas manusia Indonesia dalam setiap menjalankan pekerjaan maupun dalam mencapai tujuan bersama. Manusia Indonesia percaya dan yakin apabila kita semua bersatu padu, maka seberat apapun pekerjaan akan terasa ringan, serta niscaya segala tujuan yang akan kita inginkan akan tercapai bersama-sama. Oleh sebab itu sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia” mengamanatkan kita sebagai manusia Indonesia untuk bersatu padu dalam mencapai tujuan bersama.
Unsur Musyawarah & Mufakat, Pada dasarnya setiap manusia hidup memiliki tujuan, namun dalam bingkai persatuan, setiap manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan bersama. Musyawarah adalah unsur terpenting dalam pengambilan keputusan guna tercapainya mufakat. Manusia Indonesia terbiasa dan percaya bahwa musyawarah merupakan metode yang tepat dalam upaya menentukan arah tujuan bersama. Arti musyawarah yang sesungguhnya tidak mengenal adanya suara mayoritas maupun minoritas, karena adanya suara mayoritas dan minoritas hanya menjadikan suatu masalah dan bom waktu dalam tubuh suatu bangsa, karena dapat menimbulkan polemik atau pertentangan antara kaum mayoritas dan kaum minoritas. Oleh sebab itu musyawarah dalam pengertian sila ke-empat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, mengajarkan kita agar setiap permusyawaratan memperhatikan dan menjalankan segala aspirasi dari setiap anggota masyarakat Indonesia dengan bijaksana, demi terwujudnya keadilan sosial.
Unsur Keadilan Sosial, melihat dari ke-empat unsur diatas, apabila ke-empat unsur diatas telah dilaksanakan dengan baik, niscaya keadilan sosial akan tercapai oleh kita bersama, karena keadilan sosial adalah cita-cita terbesar atau tujuan utama dari dibentuknya negara Indonesia. Sila kelima dalam Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengamanatkan hal yang serupa. Keadilan sosial merupakan suatu tujuan akhir manusia Indonesia yang menginginkan kemajuan bangsa, perlindungan hak asasi manusia, jaminan atas kepastian hukum yang berkeadilan, serta kesejahteraan umum. Semua tujuan tersebut dapat kita capai bersama selama kita dapat memahami, menjiwai, serta menerapkan amanat dari Pancasila itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Manusia adalah makhluk Tuhan, dan sudah pastinya bahwa manusia Indonesia adalah “makhluk yang berketuhanan”. Agama adalah pedoman setiap manusia dalam menjalankan nilai-nilai kemuliaan di muka bumi. Setiap agama apapun pada dasarnya mengajarkan kita kepada kebajikan, dan kita sebagai manusia senantiasa menjalankan ajaran agama kita masing-masing sebaik mungkin. Ketika kita telah menjalankan nilai-nilai kemuliaan tersebut dengan baik, maka dengan sendirinya kita menjadi manusia yang arif dan bijak. Manusia yang bijak adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai “kemanusiaan”, saling menghormati, menghargai, dan mencintai sesama manusia. Dan ketika kita sudah menjadi manusia yang bijak dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka dengan sendirinya semangat “persatuan dan kesatuan” akan terbentuk. Dengan menjiwai asas gotong-royong, kebersamaan, dan persaudaraan demi upaya mencapai tujuan bersama. Dalam mencapai suatu tujuan bersama tersebut, alangkah baiknya kita menentukan arah tujuan bersama tersebut dengan metode “musyawarah” dengan mengedepankan nilai-nilai kebijaksanaan demi tercapainya suatu “permufakatan”. Ketika kita telah menjalankan segala upaya diatas dengan amanah dan bijaksana, maka tujuan akhir kita sebagai manusia Indonesia, yaitu “keadilan sosial” akan terwujud dengan sendirinya, demi cita-cita bangsa Indonesia, yaitu “keadilan dan kemakmuran”.

___________________________________________________________________________________

Penulis : Ryan Muhammad, SH
Ketua Penelitian dan Pengembangan Organisasi
___________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin Salam. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1996.
Kaelan. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma. 2002.
Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. 2010.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


 
[1] Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 46.
 
[2] Ibid, hlm. 46 – 47.
 
[3] Ibid, hlm. 47.
 
[4] Ibid.
 
[5] Ibid, hlm. 47 – 48.
 
[6] Ibid, hlm. 48.
 
[7] Ibid. hlm. 48 – 49.
 
[8] Ibid, hlm. 49.
 
[9] Ibid, hlm. 49 – 50.
 
[10] Ibid, hlm. 50.
 
[11] Ibid.
 
[12] Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hlm. 44.
 
[13] Ibid, hlm. 44 – 45.
 
[14] Ibid.
 
[15] Ibid.
 
[16] Ibid.
 
[17] Ibid, hlm. 45 – 46.
 
[18] Ibid, hlm. 46.
 
[19] Ibid.
 
[20] Ibid.
 
[21] Ibid.
 
[22] Ibid, hlm. 47.
 
[23] Ibid.
 
[24] Ibid.
 
[25] Ibid, hlm. 47 – 48.
 
[26] Ibid, hlm. 48.
 
[27] Ibid.
 
[28] Ibid, hlm. 48 – 49.
 
[29] Ibid, hlm. 49.
 
[30] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 
[31] Burhanuddin Salam, Op. Cit, hlm. 50 – 51.
 
[32] Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 112.
 
[33] Ibid.
 
[34] Ibid, hlm. 122 – 123.
 
[35] Ibid, hlm 123.
 
[36] Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Paradigma, 2009), hlm. 62 – 63.
 
[37] Ibid, hlm. 63 – 64.
 
[38] Ibid, hlm. 64.
 
[39] Ibid.
 
[40] Ibid.
 
[41] Ibid, hlm. 64 – 65.

1 komentar: